Setelah menikah dengan Mas Hans, aku pikir akan bahagia. Bagaimana tidak, kami menikah karena saling mencintai. Dia adalah tipe penyanyang dan perhatian. Tapi, nyatanya tidak. Awal menikah iya, bahkan hampir bisa dipastikan setiap pasangan merasa bahagia.Apalagi saat Mas Hans tahu aku hamil, aku merasa menjadi perempuan paling bahagia, dia begitu memanjakanku. Semua apa yang kuinginkan selalu dipenuhinya."Mas bangun," ucapku sembari menggoyang tubuhnya."Eum ... Ada apa Sayang," ucapnya dengan mata masih terpejam. Lalu, menarikku ke dalam pelukannya."Coba lihat ini," ucapku sembari menunjukkan tespack.Mas Hans langsung memicingkan matanya menatap ke arah benda yang kutunjukkan. Lalu, dengan cepat mengubah posisi berbaringnya dengan sembari mengucek mata. Lalu, mengambil tespacknya."Kamu hamil?" tanyanya masih tak percaya dengan binar bahagia.Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Mas Hans langsung memeluk tubuhku dengan erat dan menghujani dengan ciuman."Ya Allah terima kasih, mak
Malamnya aku pulang, lampu di teras terlihat mati. Tidak seperti biasanya, kemana Almira kenapa lampu di teras tidak dinyalakan? aku memberengut kesal sembari turun untuk membuka pintu gerbang. Bahkan ia tidak menyambut kepulanganku seperti biasanya. Kemana dia?Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 22 lebih 30. Setelah membuka pintu pagar, aku kembali ke mobil dan memasukkan mobil ke garasi.Usai kembali menutup pagar,aku melangkah menuju pintu utama, dan membukanya dengan kunci cadangan yang kubawa. Begitu masuk aku langsung menekan saklar lampu yang terhubung ke teras, ternyata lampunya yang bermasalah, mungkin sudah waktunya untuk di ganti.Aku mendesah pelan, berjalan menyusuri rumah yang nampak tak berpenghuni. Kemana Almira? Sampai di kamar aku juga tak menemukannya, apa dia pergi karena kejadian tadi siang? Aku menggeleng pelan, tidak. Tidak mungkin Almira bukan tipe perempuan seperti itu, kalau pun pergi dia pasti pamit. Jujur, ada pe
"Astaga Almira ...," ucapku begitu melihat penampilannya begitu-begitu saja.Aku pun langsung mengusap wajah dengan kasar, pulang-pulang berharap bisa melepas segala lelah malah dapat pemandangan yang membuat malas. Bagaimana tidak, perempuan yang sudah kunikahi hampir dua tahun ini benar-benar telah menjelma menjadi Almira yang berbeda.Tubuhnya tidak terawat, lemak dimana-mana bahkan wajahnya terlihat lebih tua dari usianya."Suami pulang itu harusnya kamu sambut dengan tampil cantik, bersih, wangi," jelasku saat memandangi penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. Setidaknya dia bisa pakai pakaian yang pantas dan tidak beraroma bumbu dapur kayak gini. Aku menggerutu kesal.Perempuan yang tengah mengenakan baju daster lusuh dan longgar itu hanya tertunduk, wajahnya terlihat lesu dan lelah. Padahal kerjaannya cuma di rumah, sedangkan aku seharian di luar kerja banting tulang."Maaf, Mas!" Hanya kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulutnya, sembari mengambil tas kerja yang ada di
"Ya ampun aku gak nyangka bisa ketemu Mas Hans di sini," ucapnya senang.Aku tersenyum, antara senang juga kaget melihatnya kembali. "Mas Hans suka olahraga di sini juga?" tanyanya lagi dengan mata berbinar."Eum ... Iya kalau lagi sempet, Mas juga gak nyangka bisa ketemu kamu di sini," jawabku sambil tertawa kecil dengan ekspresi senang.Dinda tersenyum, senyumnya terlihat begitu manis. Semanis gula Jawa, membuat jantungku bertalu-talu lebih cepat dari biasanya.Kenapa aku merasa grogi kayak gini ya? Ada suatu perasaan yang tidak biasa."Aku pikir setelah acara kemarin kita gak bakalan ketemu lagi," ucapnya dengan ekspresi terlihat merajuk, menggemaskan.Aku tersenyum, ah ternyata Dinda berpikir sama sepertiku. "Mungkin kita jodoh," kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku."Ah, Mas Hans bisa aja." Kedua pipi putih Dinda langsung terlihat bersemu merah, mungkin malu atau karena cuaca yang panas."Oh iya kemarin aku lupa minta nomor HP kamu," ucapku langsung karena tak ingin men
Fokusku pun langsung teralihakan pada ponsel. "Eum ... Maaf, Bu," ucapku sembari meraih ponsel dari saku celana."Iya silahkan!"Aku pun langsung melihat ke layar ponsel ada sebuah pesan masuk, ternyata Dinda yang mengabarkan kalau dirinya sudah sampai 20 menit yang lalu, dan minta maaf baru bisa kasih kabar. Aku sengaja belum membalasnya, nanti saja kalau sudah sampai di rumah.Usai membaca pesan dari Dinda aku pun kembali melanjutkan obrolan dengan Bidan Desi."Jadi ada apa dengan istri saya, Bu? Kenapa bisa sampai pingsan?" tanyaku penasaran."Istri Bapak tidak apa-apa, hanya saja tadi istri Bapak pingsan karena kelaparan. Sepertinya istri Bapak sedang melakukan diet, apa Bapak tahu?" tanya Bidan Desi."Eum ... Saya kurang tahu, Bu," jawabku. Ah, Almira bikin malu saja pingsan gara-gara kelaparan, apa kata orang? Dikira aku tidak perhatian sama istri."Sebaiknya jika ingin diet, lakukan dengan benar, jangan sampai tidak makan sama sekali," ucap Bidan Desi."Ah, iya baiklah, Bu nan
Aku langsung berbalik, seraya berkata. "Bisa kamu ulang kalimat terakhir yang tadi kamu ucapkan?"Dahi Dimas langsung terlihat berkerut, dan menatapku dengan heran. "Eum ... Maksudku kenapa kamu mengucapkan itu padaku? Bukannya itu untuk orang tersayang?" tanyaku penasaran.Ekpresi wajah Dimas semakin terlihat bingung mendengar ucapanku. Tapi, bukankah yang kukatakan benar? Karena, hanya Almira yang selama ini sering mengucapkannya padaku."Karena yang sering mengucapkan kalimat itu hanya istriku, bukankah itu artinya cuma untuk pasangan?" tanyaku lagi melihat Dimas yang terlihat masih bingung.Dimas langsung tertawa kecil. "Kamu ini ada-ada aja Hans, Fii Amanillah itu bisa kita ucapkan pada saudara semuslim kita saat akan pergi, karena artinya semoga engkau dalam perlindungan Allah SWT," jawab Dimas.Di luar jam kantor biasanya kami saling panggil nama, karena bagi kami itu membuat pertemanan terasa lebih akrab."Atau berdasarkan yang pernah saya baca Fii Amanillah juga bisa kita u
"Bukannya itu suara Mira, Ma?" tanyaku ke Mama dengan perasaan tak karu-karuan."Sepertinya begitu," jawab Mama malah terlihat santai. "Kenapa kamu terlihat tegang begitu?" tanya Mama."Gimana kalau Mira dengar, Ma?""Udah gak usah panik gitu biasa aja," ucap Mama menenangkanku.Iya juga ya kenapa aku jadi tegang dan panik begini? Udah kayak maling yang ketangkap basah. "Waalaikumsalam." Mama langsung menjawab salam Almira. Tidak lama kemudian, Almira menyingkap tirai yang menyekat antara ruang keluarga dan dapur.Almira nampak tersenyum ramah ke Mama. Lalu, berjalan ke arah kami. "Sejak kapan kamu datang?" tanyaku penasaran."Aku baru sampai kok, Mas. Ada apa?" tanyanya balik.Aku menggeleng. "Ti-tidak, tidak apa-apa," jawabku merasa lega."Oh iya ini Mira bawain pindang ikan patin kesukaan Bapak sama Mama. Tadi, sekalian Mau bareng Mas Hans eh dia malah duluan," ucap Almira sembari membuka rantangnya satu persatu.Pindang ikan patin merupakan kuliner khas penggugah selera yang ber
Aku kembali melajukan kendaraan, sementara Almira dari balik kaca spion kulihat ia tengah berdiri menunggu taksi. Mungkin aku sudah keterlaluan. Tetapi, mau bagaimana lagi aku sudah janji pada Dinda yang separuh hatiku sudah terlanjur dimilikinya. Separuhnya lagi, entah masih ada untuk Almira atau sudah tidak bersisa, yang jelas saat ini aku belum bisa melepaskannya begitu saja, aku masih butuh dirinya.Sekitar 20 menit akhirnya aku tiba di tempat Dinda bekerja. Aku pun segera turun dan menelponnya. Tidak lama kemudian, Dinda keluar sembari tersenyum manis ke arahku."Ayo, Mas!" ajak Dinda.Aku pun mengikuti langkahnya, entah mengapa aku merasa lebih nyaman saat bersamanya berbeda saat bersama Almira. "Tunggu sebentar ya, Mas aku ganti baju dulu," ucap Dinda saat kami sudah sampai di ruang tempat latihan yoga. Aku mengangguk, Dinda pun segera pergi ke ruang ganti.Selang beberapa menit, Dinda pun keluar. "Maaf, Mas lama nunggunya," ucapnya sembari tersenyum."Enggak kok," jawabku iku