"Ya ampun aku gak nyangka bisa ketemu Mas Hans di sini," ucapnya senang.Aku tersenyum, antara senang juga kaget melihatnya kembali. "Mas Hans suka olahraga di sini juga?" tanyanya lagi dengan mata berbinar."Eum ... Iya kalau lagi sempet, Mas juga gak nyangka bisa ketemu kamu di sini," jawabku sambil tertawa kecil dengan ekspresi senang.Dinda tersenyum, senyumnya terlihat begitu manis. Semanis gula Jawa, membuat jantungku bertalu-talu lebih cepat dari biasanya.Kenapa aku merasa grogi kayak gini ya? Ada suatu perasaan yang tidak biasa."Aku pikir setelah acara kemarin kita gak bakalan ketemu lagi," ucapnya dengan ekspresi terlihat merajuk, menggemaskan.Aku tersenyum, ah ternyata Dinda berpikir sama sepertiku. "Mungkin kita jodoh," kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku."Ah, Mas Hans bisa aja." Kedua pipi putih Dinda langsung terlihat bersemu merah, mungkin malu atau karena cuaca yang panas."Oh iya kemarin aku lupa minta nomor HP kamu," ucapku langsung karena tak ingin men
Fokusku pun langsung teralihakan pada ponsel. "Eum ... Maaf, Bu," ucapku sembari meraih ponsel dari saku celana."Iya silahkan!"Aku pun langsung melihat ke layar ponsel ada sebuah pesan masuk, ternyata Dinda yang mengabarkan kalau dirinya sudah sampai 20 menit yang lalu, dan minta maaf baru bisa kasih kabar. Aku sengaja belum membalasnya, nanti saja kalau sudah sampai di rumah.Usai membaca pesan dari Dinda aku pun kembali melanjutkan obrolan dengan Bidan Desi."Jadi ada apa dengan istri saya, Bu? Kenapa bisa sampai pingsan?" tanyaku penasaran."Istri Bapak tidak apa-apa, hanya saja tadi istri Bapak pingsan karena kelaparan. Sepertinya istri Bapak sedang melakukan diet, apa Bapak tahu?" tanya Bidan Desi."Eum ... Saya kurang tahu, Bu," jawabku. Ah, Almira bikin malu saja pingsan gara-gara kelaparan, apa kata orang? Dikira aku tidak perhatian sama istri."Sebaiknya jika ingin diet, lakukan dengan benar, jangan sampai tidak makan sama sekali," ucap Bidan Desi."Ah, iya baiklah, Bu nan
Aku langsung berbalik, seraya berkata. "Bisa kamu ulang kalimat terakhir yang tadi kamu ucapkan?"Dahi Dimas langsung terlihat berkerut, dan menatapku dengan heran. "Eum ... Maksudku kenapa kamu mengucapkan itu padaku? Bukannya itu untuk orang tersayang?" tanyaku penasaran.Ekpresi wajah Dimas semakin terlihat bingung mendengar ucapanku. Tapi, bukankah yang kukatakan benar? Karena, hanya Almira yang selama ini sering mengucapkannya padaku."Karena yang sering mengucapkan kalimat itu hanya istriku, bukankah itu artinya cuma untuk pasangan?" tanyaku lagi melihat Dimas yang terlihat masih bingung.Dimas langsung tertawa kecil. "Kamu ini ada-ada aja Hans, Fii Amanillah itu bisa kita ucapkan pada saudara semuslim kita saat akan pergi, karena artinya semoga engkau dalam perlindungan Allah SWT," jawab Dimas.Di luar jam kantor biasanya kami saling panggil nama, karena bagi kami itu membuat pertemanan terasa lebih akrab."Atau berdasarkan yang pernah saya baca Fii Amanillah juga bisa kita u
"Bukannya itu suara Mira, Ma?" tanyaku ke Mama dengan perasaan tak karu-karuan."Sepertinya begitu," jawab Mama malah terlihat santai. "Kenapa kamu terlihat tegang begitu?" tanya Mama."Gimana kalau Mira dengar, Ma?""Udah gak usah panik gitu biasa aja," ucap Mama menenangkanku.Iya juga ya kenapa aku jadi tegang dan panik begini? Udah kayak maling yang ketangkap basah. "Waalaikumsalam." Mama langsung menjawab salam Almira. Tidak lama kemudian, Almira menyingkap tirai yang menyekat antara ruang keluarga dan dapur.Almira nampak tersenyum ramah ke Mama. Lalu, berjalan ke arah kami. "Sejak kapan kamu datang?" tanyaku penasaran."Aku baru sampai kok, Mas. Ada apa?" tanyanya balik.Aku menggeleng. "Ti-tidak, tidak apa-apa," jawabku merasa lega."Oh iya ini Mira bawain pindang ikan patin kesukaan Bapak sama Mama. Tadi, sekalian Mau bareng Mas Hans eh dia malah duluan," ucap Almira sembari membuka rantangnya satu persatu.Pindang ikan patin merupakan kuliner khas penggugah selera yang ber
Aku kembali melajukan kendaraan, sementara Almira dari balik kaca spion kulihat ia tengah berdiri menunggu taksi. Mungkin aku sudah keterlaluan. Tetapi, mau bagaimana lagi aku sudah janji pada Dinda yang separuh hatiku sudah terlanjur dimilikinya. Separuhnya lagi, entah masih ada untuk Almira atau sudah tidak bersisa, yang jelas saat ini aku belum bisa melepaskannya begitu saja, aku masih butuh dirinya.Sekitar 20 menit akhirnya aku tiba di tempat Dinda bekerja. Aku pun segera turun dan menelponnya. Tidak lama kemudian, Dinda keluar sembari tersenyum manis ke arahku."Ayo, Mas!" ajak Dinda.Aku pun mengikuti langkahnya, entah mengapa aku merasa lebih nyaman saat bersamanya berbeda saat bersama Almira. "Tunggu sebentar ya, Mas aku ganti baju dulu," ucap Dinda saat kami sudah sampai di ruang tempat latihan yoga. Aku mengangguk, Dinda pun segera pergi ke ruang ganti.Selang beberapa menit, Dinda pun keluar. "Maaf, Mas lama nunggunya," ucapnya sembari tersenyum."Enggak kok," jawabku iku
Sekilas aku menatap ke Dinda yang terlihat heran melihat penampilan Almira. Ia mengamati Almira dari ujung kaki hingga ujung kepala. Aku pun heran kenapa Almira benar-benar berubah.Baju daster motif batik warna coklat tua yang sudah mulai lusuh menjadi pilihan Almira. Tak lupa dengan kerudung salem menutupi kepalanya."Apa kabar Mbak?" sapa Dinda kemudian dengan ramah sembari tersenyum."Baik, kamu sendiri apa kabar?" tanya Almira balik."Saya juga baik, oh iya saya ada sesuatu buat Mbak," ucap Dinda sembari meraih paper bag di atas meja. Lalu, memberikannya pada Almira."Terima kasih, tidak usah repot-repot," jawab Almira, terlihat begitu tenang dengan senyum tipis menghiasi bibirnya. Meski ia tahu siapa Dinda, tapi aku tidak melihat aura kemarahan di wajahnya entah dulu waktu mengandung ingadam apa Emaknya sampai bisa melahirkan anak setenang Almira. Aku pikir mereka akan adu jotos, jambak-jambakan, atau saling melempar kata yang menyakitkan kayak di tivi yang sering aku lihat, ta
Setelah beberapa menit di perjalanan akhirnya aku tiba di rumah. Memasukkan mobil ke garasi. Lalu, langsung masuk ke rumah."Mas, bisa kita bicara sebentar?" Pertanyaan Almira yang tiba-tiba langsung membuatku terperanjat."Mira ... Ngagetin aja, kalau Mas jantungan gimana?" tanyaku kesal gara-gara detak jantung memompa lebih cepat, seperti akan melompat ke luar."Mau bicara apa sih? Besok ajalah, ini udah malam. Mas capek mau istirahat," ucapku ketus sembari melepas kancing lengan baju, lalu kugulung batas siku."Jadi bener, Mas mau menikah dengan perempuan itu? Maksudku Dinda," tanya Almira tanpa basa-basi lagi.Aku menghela nafas dan membuangnya dengan masygul, menurutku pertanyaan Almira sebenarnya tidak perlu dijawab karena dia sudah tahu jawabannya."Memangnya kalau benar kenapa?" tanyaku balik."Apa alasan kamu ingin menikah lagi, Mas? Apa selama ini aku tidak cukup baik dalam melayanimu?" Almira bertanya dengan suara tertahan, ada kekecewaan dari nada bicaranyaSejenak aku ter
Sudah satu Minggu lebih semenjak Almira memilih bekerja. Seperti ucapnnya ia selalu melakukan tugas sebagai mana biasanya. Menyiapkan sarapan dan beres-beres rumah. Almira selalu melakukan itu sebelum berangkat kerja.Hari ini, aku sengaja menyempatkan diri ke rumah Mama setelah pulang kerja."Apa Mama bilang perempuan itu pasti akan nurut," ucap Mama semringah saat tahu Almira setuju kalau aku akan menikah lagi."Tapi, Bapak yang keberatan!" Tiba-tiba Bapak muncul dari arah ruang keluarga saat aku dan Mama tengah asyik bercakap.Aku dan Mama sontak menoleh, perlahan Bapak mendekat ke arah kami yang tengah duduk di meja makan. Wajah Bapak terlihat tak suka."Bapak ini ngomong apa toh, wong anak kita yang ngejalani kehidupannya," protes Mama keberatan dengan ucapan Bapak. Aku yang tadinya sempat ciut, seolah mendapat angin segar mendengar Mama yang terang-terangan membelaku.Bapak langsung menatap ke arahku seperti ingin mendengar langsung jawabanku."Sudahlah tidak perlu diributkan o