Share

BAB 5 : Mencoba Gaun Pengantin

Danila meneguk salivanya, sebab Haga hampir tidak menganggap keberadaannya disini. Namun....

"Haga, kau belum menyelesaikan tugasmu? Ayo selesaikan dulu sekarang," panggil Hugo sang ayahanda pada anak genius itu. Danila mengerutkan keningnya sesaat.

Tugas? Anak sekecil itu punya tugas apa memangnya? Bukankah anak-anak pada umumnya hanya bermain saja? Makan, tidur dan main. Lalu menonton film kartun kegemaran mereka. Tapi Haga, ternyata berbeda dengan anak-anak lainnya.

Danila mengikuti ke mana langkah kaki Haga si anak genius itu pergi. Rupanya dia memasuki ke sebuah ruang kamar. Mungkinkah itu adalah kamarnya? Baru saja, Danila ingin mendekat ke dalam sana. Untuk membangun kedekatannya dengan Haga. Tapi Hugo, si manusia bermulut pisau itu langsung memanggilnya.

"Kau mau kemana?" tanya Hugo menepis langkah kaki Danila.

"Eh, a-aku ...," ucap Danila terbata dan menggantung.

"Kau harus masuk ke ruang ganti. Kamarnya ada di atas sana," titah Hugo pada Danila.

"Ruang ganti?" tanya Danila. Spontan, Hugo mengangguk pelan.

"Designer baju untuk pengantin sudah menunggumu diatas. Cepat pergi dan pakailah."

Apa? Baju pengantin? Secepat itu 'kah?

Danila pun mengangguk paham, dan berjalan pergi menuju lantas atas. Ia tidak menyangka akan secepat itu hari pernikahannya tiba. Ya, dua hari mendatang. Tepatnya jatuh pada kalender Rabu.

Langkah kaki Danila mulai menaiki tangga yang beralaskan karpet cokelat kayu. Aroma ruangan di dalam rumah Hugo begitu harum. Wangi semerbak bunga lavender yang sangat menenangkan. Bahkan suhu ruangnya pun tampak sejuk, karena AC-nya ada disetiap sudut ruang.

Rumah yang nyaman, belum tentu orang-orangnya membuat Danila nyaman, bukan?

"Halo, cantik! Kamu pasti Danila, ya? Wah, secantik namanya ya. Mirip dengan penyanyi pop yang melegenda itu," sapa seorang wanita kepada Danila.

Danila hanya tersenyum canggung. Sebab dia tidak mengetahui siapa orang itu. Tapi sepertinya, wanita itu bukan design biasa. Bisa dilihat dari penampilannya yang begitu mewah serta elegan.

"Terakhir kali, aku membuat gaun pernikahan untuk tuan Hugo saat lima tahun yang lalu. Yah, kamu pasti tahu, kan? Mantan Istrinya yang sudah tiada. Tapi sekarang, tuan Hugo kembali menjadikanku sebagai designer untuk gaun pernikahan calon pengantinnya yang kedua," celotehnya berkata pada Danila.

Danila bingung harus menjawab apa. Hanya senyuman kecil yang mengukir tipis pada bibirnya. Dia bahkan baru datang ke tempat ini, tapi langsung di sambut begitu.

"Entah apa yang dia katakan, aku sebenarnya juga tidak peduli. Aku kan, menikah dengan pria itu karena perjodohan kedua keluarga kami. Aku juga sadar akan posisiku di hati orang itu. Dan lagi, kekasihku hanya Bagas. Bukan Hugo!" decak Danila dalam hati kesal.

Bagaimana tidak, Danila seperti dibanding-bandingkan dengan mantan istri Hugo yang sudah tiada itu. Awalnya ia sempat terkagum pada sosok Hugo. Seorang CEO muda, kaya dan tampan menjemputnya ke sekolah dengan menaiki sebuah helikopter. Bukankah sangat mengagumkan? Namun, ekspektasi tidak seindah realitanya.

Danila yang semulanya kagum, dan berpikir untuk menerima perjodohan mereka. Tapi setelah mengetahui sifat asli Hugo, semua itu tak lagi terlintas dalam benaknya. Kekagumannya pada sosok Hugo yang sempurna. Berubah menjadi benci padanya.

"Tuan Hugo itu, sangat mencintai Istri pertamanya. Aku kira, dia tidak akan menikah lagi. Karena tuan Hugo pernah membuat pernyataan pada konferensi pers peluncuran produk terbarunya. Tapi setelah aku tahu tuan Hugo ingin menikah lagi, rasanya masih belum percaya. Ku pikir hanya sekadar gurauan. Namun, ternyata benar-benar kenyataan. Sudah selesai! Cantik, kan?" celotehnya lagi seraya memakaikan gaun pengantin itu di tubuh Danila.

Danila berkaca didepan cermin besar. Ia sempat tertegun menatap keindahan tubuhnya yang mengenakan gaun itu. Namun segera dia tepis. Sebab pernikahan yang ia langsungkan bersama Hugo bukan atas dasar cinta dan kebahagiaan. Melainkan keterpaksaan, karena sebuah perjanjian dua keluarga mereka berdua.

"Kamu cukup beruntung, bisa dipilih menjadi pendamping hidupnya yang kedua. Ada begitu banyak wanita diluaran sana yang memperebutkan hati tuan Hugo. Tapi belum pernah ada satu pun diterima. Lalu setelah aku tahu calon Istri keduanya masih berumur delapan belas tahun, aku sedikit tidak menyangka, sih." Designer itu terus membicarakan tentang Hugo, juga tak lazim untuk memujinya terus menerus. Membuat Danila muak dan teringin segera pergi dari sana.

Danila tidak banyak bicara dan mengeluarkan kata-kata. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai calon pengantin pada umumnya. Meski terpaksa, Danila harus tetap menerimanya. Karena Hugo tidak segan akan menghancurkan perusahaan keluarganya.

"Maafkan aku, Bagas. Sepertinya kita berdua memang harus putus. Aku tidak ingin perusahaan keluargaku hancur. Tuan Hugo adalah orang yang berbahaya. Tak mudah bagiku untuk bisa lepas dari jeratannya begitu saja," tutur Danila dalam hati sedu.

Helaan napas keluar panjang dari dalam mulutnya Danila. Bersamaan dengan kehadiran Hugo yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu ruang itu.

"Eh, tuan Hugo? Coba lihatlah, nona Danila sangat cantik, kan? Gaunnya pas sekali untuk tubuhnya yang ideal," ujar designer wanita itu pada Hugo. Setelah menyadari kehadiran pemilik rumah sedang menatap ke arah Danila yang ada di depannya sekarang. Sontak, Danila membalikkan tubuhnya melihat Hugo dengan perasaan takut serta gugup.

Namun siapa sangka, Hugo tidak menunjukkan ekspresi wajah kesalnya. Dia terus memperhatikan Danila dari ujung rambut hingga kaki. Danila yang ditatap begitu tak mengetahui bahwa Hugo sedang memperhatikan dirinya. Sebab pandangan Danila sedari tadi terus menunduk ke bawah lantai.

"Bagus kalau itu cocok dengannya. Kau turunlah ke bawah setelah mengganti kembali bajumu. Aku tunggu kau di ruang kerjaku!" Titah Hugo berbicara pada Danila.

"B-baik," balas Danila seadanya. Ia tampak mengerjapkan kedua mat matanya sesaat. Embusan napasnya terdengar berat. Danila segera mengganti bajunya dengan seragam SMA yang dia pakai sebelumnya.

Danila bergegas keluar dari dalam ruang tadi. Setelah selesai mengganti pakaiannya kembali. Ia tidak tahu, dimana ruang kerjanya Hugo berada. Mau tidak mau Danila harus bertanya-tanya kepada pelayan di rumah ini. Tapi siapa sangka, Danila juga bertemu lagi dengan Haga. Si anak genius itu.

"Haga, kamu mau kemana? Hem ... Kakak boleh tanya, tidak? Ruang kerja Ayah Haga ada disebelah mana?" Sapa Danila ramah pada Haga. Namun ekspresi wajah Haga begitu sinis menatapnya.

"Untuk apa kau bertanya padaku?" cetus Haga membalas dingin. Danila tergelak kaget tak menyangka. Bisa-bisanya anak sekecil itu sudah menunjukkan sikap arogan serta dinginnya pada orang lain.

"Karena Haga adalah Anaknya. Maka dari itu, Kakak mencoba bertanya pada Haga," lanjut Danila berusaha untuk sabar dan meredam segala emosinya pada anak berumur tiga tahun itu.

"Memangnya kau tidak punya mata? Cari saja sana sendiri! Jangan pernah berpikir bahwa aku bisa menerimamu di rumah ini dengan mudah. Dan lagi, apa kau pantas? Menjadi Ibu baruku, sama sekali tidak!" Decak Haga mengumpat Danila. Dia langsung pergi meninggalkan Danila setelah mengatakan kata-kata pisaunya seperti ayahnya.

Antara sedih dan lucu, Danila bingung harus merasakan perasaan yang bagaimana. Sebab tubuh kecil Haga yang begitu mungil sangat tidak cocok dengan perkataannya yang tajam. Kaki kecil Haga berjalan di hentakkan begitu keras. Danila menggeleng pelan, memperhatikan tingkah anak itu.

"Aku pun sebenarnya tidak ingin menjadi Istri untuk Ayahnya. Apalagi menjadi Ibunya di rumah ini. Tapi takdir yang memutuskan semuanya. Aku ... hanyalah pemeran dari skenario Tuhan," gumam Danila pelan. Lalu kembali melanjutkan tujuannya untuk pergi mendatangi Hugo di ruang kerjanya.

Apa sebenarnya yang ingin di katakan Hugo pada Danila?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status