Share

BAB 6 : Surat Perjanjian Pernikahan

Tok tok tok!

Danila mengetuk pintu itu. Ruang kerjanya Hugo, sebab sebelumnya dia sempat meminta Danila untuk menemuinya ke sana. Dengan langkah gontai, Danila membuka pintunya.

Kriek!

“T-tuan? Anda memanggil saya?” ujar Danila hati-hati bertanya. Kepalanya menyembul ke dalam pintu itu. Terlihat dari kejauhan sana, Hugo tengah duduk diatas kursi kerjanya seraya menatap pada layar monitor komputer miliknya.

“Ya, masuklah!” sahut Hugo.

Danila berjalan mendekatinya dengan wajah tertunduk. Seperti enggan untuk menatap ke arahnya. Namun....

“Ada apa dengan wajahmu?” sambung Hugo bertanya, suaranya terdengar dingin. Bahkan tatapan matanya pun juga sama halnya. Spontan Danila menggelengkan kepalanya pelan.

“T-tidak apa-apa, tuan.” Danila menyahuti ucapannya. Walau sebenarnya ia gugup dan takut ketika berhadapan dengan orang itu.

“Aku tidak akan berlama-lama mengatakannya. Lihat dan bacalah dengan seksama!” tutur Hugo seraya melemparkan sebuah map berwarna cokelat keemasan. Danila terperanjat, ia ragu mengambilnya. “Ambillah! Itu adalah surat perjanjian kontrak tertulis, antara kau denganku,” lanjutnya berkata.

DEG!

Danila meneguk salivanya, ia tidak menyangka bahwa pernikahannya benar-benar akan berjalan bukan dengan kemauannya. Bahkan harus ada perjanjian kontrak didalamnya. Ragu-ragu Danila mengambil dan membuka map itu. Ada sebuah lembaran surat yang sudah tertempel oleh materai.

Satu persatu kalimat dibaca Danila. Disana tertulis peraturan-peraturan apa saja yang harus dia patuhi dan terapkan selama menjadi istri kedua untuk Hugo. Dan semua aturannya hanya menguntungkan salah sepihak saja. Itu pun sepenuhnya jatuh pada Hugo semata. Danila tidak setuju dengan aturan-aturannya.

Danila berdecak kesal, dia lantas membanting map coklat itu diatas meja Hugo.

“Aku tidak setuju dengan aturan-aturannya. Bagaimana mungkin, itu hanya menguntungkan kau saja?!” cerca Danila dengan ekspresi yang berbeda dari sebelumnya.

Wajah datar dan dingin itu tetap tidak berubah pada ekspresi Hugo saat ini. Dia lantas beranjak bangun, lalu berdiri menyamai Danila.

“Kau lupa dengan siapa kau berhadapan sekarang? Apa kau tidak takut? Kalau aku melakukan sesuatu yang berbahaya dan bisa merugikan perusahaan Ayahmu?” gertak Hugo dengan kata-kata tajamnya.

Danila membelalakkan kedua matanya. Tatapan emosionalnya berubah tertunduk lagi ke bawah. Yang dikatakan pria kejam itu benar. Danila tidak bisa melawan perintahnya. Lalu apa yang dia bisa lakukan sekarang?

Hanya menurut dan mengikuti kemauan Hugo. Maka hidupnya serta keluarganya akan baik-baik saja kedepannya.

Danila mengepal kuat kedua tangannya, dia benci pada Hugo. Tatapannya sedu menatap ke bawah sana. Agak lama, ia mengerjapkan kedua matanya sampai ia rasa cukup untuk berekspresi seperti itu. Danila kembali mendongakkan pandangannya menatap pria yang ada dihadapannya sekarang.

“Baik. Aku akan mengikuti semua aturan-aturannya. Tapi aku juga boleh memberikan peraturanku sendiri!” ucap Danila menyerah. Gurat senyum mengukir tipis diwajah Hugo.

Ya, senyum kecut dan liciknya!

“Silakan. Kau bebas melakukan apa pun yang kau inginkan. Asalkan itu tidak mencemarkan namaku menjadi buruk.” Hugo membalas perkataannya.

Danila mengambil kembali surat perjanjian itu. Dari awal lagi ia membacanya hingga ke bagian kalimat terakhir yang dekat dengan materai.

“Apa ini? Peraturan ini pasti dibuat olehnya sendiri, kan? Dasar harimau gila!” gerutu Danila mengumpatnya dalam hati.

“Kau sudah baca semuanya? Hafalkan itu, karena aku tidak mau kau terus menerus membacanya seperti orang bodoh!” celetuk Hugo.

“Hei, dia bilang aku bodoh? Dasar harimau gila! Maumu sebenarnya apa, sih? Dia memang sengaja sepertinya membuat peraturan begini. Apa ini? Dia menyuruhku agar menyiapkan semua pakaiannya, lalu menyambutnya pulang setelah bekerja, tidak boleh mengusik kehidupannya? Kalau itu aku terserah padanya. Dan apalagi yang ini? Aku tidak boleh membuat Haga putra kecilnya terusik apalagi terganggu. Memangnya aku mengganggunya? Kami bahkan tak pernah berbicara lembut,” tutur Danila berceloteh dan kembali mengumpat Hugo dalam hatinya.

Mengumpatnya dalam hati adalah kesenangan bagi Danila semata. Bisa mengeluarkan semua unek-uneknya.

“Sudah selesai bacanya? Aku akan pergi. Kau masih ingin berdiam diri didalam sini atau ikut pergi denganku?!” sanggah Hugo berkata. Danila tergelak kaget, sebab ia hampir saja lupa. Bahwa ia harus segera pulang dan memberitahu pada kedua orang tuanya.

Bahwa pernikahannya dengan Hugo akan dilaksanakan lusa. Ia juga harus beritahukan hal itu pada Bagas. Dan secepatnya Danila mengakhiri hubungannya dengan kekasihnya. Sebab tidak mungkin dia akan terus bertahan pada hubungan itu.

Hugo pasti akan melakukan sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar gertakannya yang mengancam. Danila tidak ingin keluarganya sengsara hanya karena keegoisan dirinya.

“A-aku ikut! T-tolong antarkan aku kembali ke rumahku,” ujar Danila memohon.

“Hem ...,” sahut Hugo hanya dengan deheman.

“A-apa?” balas Danila bingung, dia tidak paham dengan bahasa Hugo.

“Aku bilang, ya. Apa kau tidak dengar tadi?” sungut Hugo sedikit emosional menjawabnya. Danila mengerutkan keningnya sesaat.

“Kapan dia bilang begitu? Bukankah dia hanya berdehem? Aneh!” gumam Danila menggerutu dalam hati.

Hugo berjalan keluar dari dalam ruangan itu. Diikuti Danila yang mengekor dibelakangnya. Mereka bersiap untuk pergi lagi. Namun, sesampainya mereka didepan pintu, Haga si bayi genius itu tiba-tiba menghalangi langkah kaki keduanya. Betapa imut dan lucunya Haga. Danila begitu gemas melihat tubuhnya yang kecil.

“Haga! Kamu sedang apa di sini?” sapa Danila ramah. Dia teringin menyentuh wajah imut Haga, namun langsung ditepis oleh balita berumur tiga tahun itu.

“Apa kau punya hak untuk menyentuhku?!” cerca Haga dengan kata-kata tajamnya.

“Astaga, aku hampir saja lupa. Dia kan, sama seperti Ayahnya. Sama-sama bermulut tajam dan menyebalkan!” gerutu Danila dalam hati.

“Haga, masuklah ke dalam. Ayah akan pergi dan pulang sore nanti,” ujar Hugo menyuruh putra kecilnya pergi dan masuk. Namun Haga menggeleng cepat, dia sepertinya merengek tak ingin ayahnya pergi lagi.

“Tidak! Ayah tidak boleh pergi lagi! Aku bahkan belum bermain dengan Ayah?” gumam Haga dengan ekspresi sedunya. Matanya berkaca-kaca menatap wajah Hugo sang ayah.

Danila tidak tega melihat pemandangan itu. Seketika hatinya terenyuh menatap Haga. Tapi tiba-tiba Hugo sang ayah berjongkok menyamakan posisi tubuh kecilnya. Helaan napas terdengar panjang keluar dari dalam mulut Hugo.

“Haga, Ayah harus kembali ke perusahaan. Biasanya kau tidak begini pada Ayah. Ada apa? Apa kau kesulitan menghadapi pelajaranmu?” tanya Hugo dengan suara yang berbeda. Spontan Danila mendelik menatap ke arahnya dibawah sana.

“A-apa?! Seorang Hugo bisa bersikap lembut begitu? Eh, tapi kan dia memang anaknya. Seharusnya tidak heran, kan? Kalau dia baik pada Haga si kecil itu,” celoteh Danila dalam hatinya menerka-nerka.

Haga menggeleng kepalanya pelan. Kedua tangan kecilnya merentang dan memeluk sang ayah dengan erat. Anak sekecil itu memang masih membutuhkan kasih sayang yang banyak dari kedua orang tuanya. Sayangnya, Haga harus menerima kenyataan pahit. Bahwa ia hanya mempunyai satu orang tua saja, yakni ayahnya.

Sebab ibunya telah meninggal setelah berjuang melahirkannya.

Namun kini, Danila hadir sebagai ibu sambung untuknya. Akankah Haga bisa menerima Danila seperti ibu kandungnya sendiri?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status