Share

Chapter 2 : Wedding

Suara alunan biola yang indah terdengar di aula kerajaan Hillary ditambah dengan keindahan bunga Anyelir pink disetiap sudut ruangan menambah kesan cantik.

Tamu dari kerajaan lain sudah duduk ditempatnya masing-masing dan beberapa rakyat Hillary yang datang untuk menyaksikan Raja mereka yang akan mengucapkan ikrar suci pernikahan dihadapan Tuhan. Semua tamu serentak menggunakan pakaian dengan dress code berwarna putih yang melambangkan kesucian.

King Hillary sudah gagah dengan baju rajanya. Dengan tatapan mata yang tajam ia terus menatap lurus pintu putih yang nantinya akan dibuka.

Ceklek..

Pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok wanita yang menggunakan gaun pernikahan berwarna putih dan penutup kepala yang senada.

"Nona Earwen anda sudah siap?" tanya Briana pelayan pribadi princess Earwen.

Earwen mengangguk ia menatap lurus ke depan yang sudah ada King Edmund yang akan menggandengnya untuk menghadap pendeta, sekaligus orang yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.

Princess Earwen menggenggam erat bunga baby's breath, ia menarik sudut bibirnya hingga menampakkan senyum manisnya. Princess Earwen berjalan pelan di altar, tanpa didampingi sosok ayah dihari, bahagianya? Princess Earwen berusaha menampakkan raut wajah ceria. Anak mana yang tidak sedih saat di hari pernikahannya tidak ada satupun keluarga kerajaan Loyren yang hadir melihatnya. Sebegitu tidak artinya kah ia di mata orang tuanya?

Para tamu berdiri dan bertepuk tangan kecil dan melemparkan kelopak bunga ke arah Princess Earwen. Dan sampailah Princess Earwen didepan King Edmund dengan tatapan yang sama, tajam dan menghunus. King Edmund mengulurkan tangannya dan disambut dengan tangkapan tangan Princess Earwen. Mereka berdua berjalan menghadap pendeta secara bersamaan.

"Apakah kalian sudah siap?" tanya pendeta tersebut dengan senyum ramahnya. Edmund dan Earwen mengangguk tanpa melepaskan tautan mata mereka yang saling memandang.

Sang pendeta menyatukan tangan kedua mempelai dan mengikatnya dengan kain berwarna putih. Kain tersebut memancarkan cahaya berwarna kuning keemasan ke atas langit.

"Silahkan ucapkan janji kalian," ucap sang pendeta.

"Saya Edmund Melviano Windsor mengambil engkau Earwen Freya Laurels menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya," ucap King Edmund dengan mata menyorot tajam ke arah Princess Earwen.

""Saya Earwen Freya Laurels mengambil engkau Edmund Melviano Windsor menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya," ucap Earwen dengan pandangan terkunci oleh manik hitam milik Edmund.

Pendeta tersebut menyerahkan cincin pernikahan mereka. "Silahkan pasangkan cincin tersebut ke jari manis istri anda."

King Edmund menyelipkan cincin dijari manis milik Earwen dan dilakukan sebaliknya oleh princess Earwen. Semua tamu bertepuk tangan bahagia, kini tiba saatnya King Edmund membuka penutup kepala Princess Earwen.

Dengan perlahan King Edmund membuka penutup tersebut, Princess Earwen tersenyum manis hingga menampakkan kedua lesung pipinya, Edmund sempat terpana menatap sosok dihadapannya dengan cepat ia memasang wajah datarnya.

"Silahkan anda mencium mempelai untuk menyempurnakan janji pernikahan anda," ucap pendeta itu sambil tersenyum ramah

Edmund menatap dalam bola mata hazel milik Earwen. Edmund menangkup tengkuk Earwen dan menempelkan bibirnya dengan pelan. Semua tamu bersorak kegirangan melihatnya. King Edmund menyudahi ciuman mereka dan berbalik menatap tamu, dengan sangat amat terpaksa Edmund menarik bibirnya untuk tersenyum berbanding terbalik dengan Earwen yang merona dan tersenyum ke arah tamunya tanpa terpaksa.

"Selamat atas pernikahan anda yang mulia raja dan yang mulia ratu," ucap pendeta tersebut dan berjalan turun karena tugasnya sudah selesai.

Kedua mempelai yang sudah sah di mata Tuhan dan Negara tersebut berjalan pelan di atas red carpet. Tangan Earwen melingkar indah ditangan Edmund. Para tamu berbondong-bondong mengucapkan selamat untuk Raja dan Ratu Hillary tersebut.

Princess Daisy adik king Edmund datang menghampiri mereka. "Selamat kakak dan kakak ipar."

"Terimakasih," ucap Earwen sambil tersenyum sekilas.

Acara berjalan hingga dini hari dan tiba saatnya untuk mereka istirahat. Disinilah Earwen berada di kamar milik King Edmund yang bernuansa hitam dan putih menandakan kesan misterius tapi suci. Earwen duduk dipinggir kasur dengan masih menggunakan gaun pengantin yang berat, pikirannya menerawang jauh saat kejadian di altar tadi. Earwen memegangi bibirnya, first kiss nya telah diambil suaminya. Semburat merah menghiasi pipinya, oh Earwen sangat malu bagaimana ia menghadapi king Edmund nanti? Tapi bom besar menghantam kepalanya. Earwen melupakan pernikahan ini adalah hitam dan putih tidak ada campur tangan cinta diantara mereka. Edmund hanya memanfaatkannya, mungkin suatu hari ia akan diusir dari sini dan menjadi rakyat biasa karena keluarganya tidak mungkin sudi menerimanya kembali.

Ceklek...

Pintu terbuka dan menampakkan sosok bertubuh tinggi. "Bisakah kau pergi? saya muak melihat kau."

Ucapan Edmund mengiris luka di hati Earwen, Ia bangkit dan mengangguk tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulut Earwen. Pernikahan ini bukan anugerah melainkan awal hidup Earwen yang penuh siksa.

Earwen menutup pelan pintu kamar tersebut, "Halo kakak ipar," ucap Princess Daisy

"Hai," sapa Princess Earwen.

"Diusir ya? makanya kakak ipar itu harus tau diri, disini kakak ipar cuma numpang loh suatu hari mungkin nanti kakak ipar jadi rakyat jelata."

Earwen tertohok dengan ucapan adik iparnya, bagaimana bisa gadis yang baru berusia lima belas tahun mengucapkan kata-kata yang menyakitkan seperti itu?

"Saya permisi," ucap Earwen, ia tidak peduli dengan Princess Daisy. dirinya sudah capek dan tidak mau mendengar omong kosong.

"Lady," ucap Briana yang tengah membereskan kamar Earwen.

"Kenapa kau memanggilku Lady?" tanya Earwen.

"Ah maaf saya terbiasa dengan sebutan Lady, jika anda tidak suka saya bisa menggantinya." Briana memilin-milin tangannya, ia takut.

"Tidak saya suka itu, tolong siapkan air hangat," titah Earwen.

Briana menghela nafas berat, untung saja Earwen tidak mempersalahkannya. Karena jika iya, itu akan mengancamnya dari pelayan tingkat satu. Untuk menjadi pelayan tingkat satu Briana harus merelakan semuanya, masa muda yang bahkan belum ia cicipi demi mengabdi kepada Kerajaan Hillary.

"Baik, apakah anda perlu bantuan?" tanya Briana.

Earwen yang kebetulan tengah kesulitan dalam melepaskan gaunnya itu menengok ke arah Briana. "Bisa tolong bantu melupakannya?"

"Tentu Lady." Briana tersenyum dan menarik resleting gaun milik Earwen

"Terimakasih." Earwen melepaskan gaun tersebut dengan bantuan Briana.

Briana mengangguk dan undur diri meninggalkan Lady-nya yang mungkin akan berendam air hangat.

Sedangkan di kamarnya Edmund tengah berkutat dengan setumpuk proposal-proposal yang perlu ia baca satu persatu sebelum ditandatangani.

"Yang Mulia? Biar saya saja yang menanganinya, ini hari pernikahan anda jadi manjakan lah tubuh anda," ucap Jack saat menatap pria kaku yang sialnya seorang Raja.

"Memanjakan huh? Jack pernikahan ini hanya terpaksa, ingat?" Edmund kembali berkutat dengan lembar-lembar kertas yang lebih menarik di matanya.

Jack memutar bola matanya kesal. Sebelum akhirnya ia merampas semua proposal dari pangkuan Edmund.

Edmund melayangkan tatapan protes ke arah Jack. "Kembalikan atau saya akan membakar semua wine fermentasi kesukaan kau di gudang!" ancam Edmund.

Jack mengindikkan bahunya acuh, ia berjalan begitu saja meninggalkan Edmund.

"Saya tidak ingin anda kecewa menyia-nyiakan malam istimewa anda," ucap Jack sebelum tenggelam di balik pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status