Share

Lizzie Sakit

Bryan mengantarkan wanita yang ditolongnya itu ke Unit Gawat Darurat (IGD) di rumah sakit terdekat. Setelah mendaftarkan identitasnya, ia pamit pergi dan berjanji akan datang lagi ke sana esok hari pada perawat. Setelah itu ia langsung menuju ke tempat penitipan anak di mana Lizzie ia titipkan.

“Maafkan aku, Nyonya Katty, aku sangat terlambat. Aku tidak akan mengulangi keterlambatanku ini. Maaf sekali karena sudah banyak merepotkanmu.” sambil menunduk, Bryan meminta maaf pada pemilik Day Care tersebut.

“Sudahlah, Tuan Bryan. Telingaku sakit mendengarmu meminta maaf. Kau sudah menceritakan semuanya padaku dan aku bangga karena pria hebat yang kukenal penyayang bayinya, juga merupakan seorang pria penolong tanpa takut.” balas wanita lima puluh tahunan itu, “Lalu bagaimana kelanjutannya? Itu artinya kau tidak memiliki pekerjaan lagi, kan?”

Nyonya Katty terlihat cemas setelah mendengar semua yang diceritakan Bryan padanya. Di mata Nyonya Katty, Bryan adalah sosok pria sempurna. Ia tampan, gagah, penyayang, dan jujur. But, no body is perfect. Bagi wanita hampir tua itu, Bryan hanya kekurangan uang untuk membahagiakan dirinya dan juga putrinya.

“Jangan khawatir, Nyonya. Aku masih menjadi pegawai di toko ayam goreng, kan? Lagi pula aku masih memiliki gaji dari konstruksi, jadi untuk membayar jasa Day Care-mu, aku masih sangat sanggup. Doakan saja agar aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik agar aku tidak menyusahkanmu dengan Lizzie sampai malam hari seperti ini.” Bryan menjawab jujur dan itu membuat Nyonya Katty tersenyum.

“Hmm, ya. Semoga hanya hal baik yang akan datang pada kalian berdua. Pulanglah sekarang, ini sudah terlalu larut untuk Lizzie. Atau biarkan saja dia di sini sampai besok malam saat kau selesai bekerja?” Nyonya Katty menawarkan bantuan.

“Tidak, Nyonya. Aku merindukan bayi cantikku. Aku juga sudah memesan taksi, dia menunggu di depan gerbang. Mungkin besok aku akan datang menitipkan Lizzie sore hari karena dari pagi ke siang aku ingin bermain bersama putriku.” sambil tersenyum menatap wajah polos bayinya yang tertidur, ia menolak tawaran pemilik Day Care itu dengan santun.

“Kami pulang, Nyonya Katty. Terima kasih untuk hari ini.” sambungnya berpamitan.

“Ya, hati-hati di jalan. Ah, aku hampir lupa. Sepertinya Lizzie sedikit demam. Dia agak rewel hari ini. Tapi kau cukup memberinya susu seperti biasa, maka dia akan lebih tenang. Mungkin dengan bersama ayahnya, Lizzie akan semakin lebih baik.” Nyonya Katty menambahkan pesan.

“Baik, Nyonya. Aku pamit dulu.” Bryan menjawab setelah mendengar dan mengerti arahan pengasuh putrinya itu. Ia pulang bersama putrinya ke rumah kontrakan kecil mereka yang hangat.

Namun, kecemasan kecil Nyonya Katty mulai terjadi. Bryan yang baru selesai membersihkan rumahnya lalu menyusul si bayi di ranjang, harus rela menahan kantuk. Lizzie terbangun dan mulai rewel. Rengekkan kecil Lizzie berangsur menjadi tangisan kencang. Lizzie seperti tidak nyaman dengan apapun yang dilakukan ayahnya, termasuk susu yang diberikan.

“Lizzie sayang... ayolah, Nak. Minum dulu susunya. Jangan terus dimuntahkan. Kau akan lemas dan ayah semakin bingung.” sambil menggendong dan terus berusaha membuat putrinya nyaman di pelukannya, Bryan mencoba yang terbaik. Tapi sayangnya Lizzie tetap menangis kejar.

“Kau juga deman, Sayang. Bagaimana ini?” gumamnya cemas, tapi sebisa mungkin Bryan mencoba mengatasi kepanikannya. Ia terus menimang putrinya dengan kelembutan sampai Lizzie yang mulai kelelahan menangis, perlahan tertidur.

Di setiap setengah jam, Lizzie terbangun dan menangis. Hal itu membuat Bryan semakin mengkhawatirkan keadaan bayinya. Bryan memutuskan membawa bayinya ke rumah sakit terdekat, yang merupakan rumah sakit di mana ia meninggalkan wanita yang ia tolong sebelumnya.

Melihat kedatangan Bryan lagi ke sana, perawat di IGD yang mencatat identitasnya tadi ikut bertanya bingung, “Tuan, kenapa kau kembali secepat ini? Ini masih jam tiga dini hari. Dan bayi siapa ini?”

“Bisa kau tidak bertanya sekarang, Suster? Bayiku perlu pertolongan, dia demam tinggi dan terus memuntahkan susunya. Aku bingung.” Bryan langsung berujar dan dengan segera suster tersebut bergerak sigap. Tidak lama, dokter jaga juga datang dan memeriksa Lizzie.

“Dokter, bagaimana keadaan bayiku? Apa dia baik-baik saja?” raut wajah Bryan jelas cemas. Ia bahkan hampir menangis melihat putrinya yang sudah tertidur setelah sebelumnya banyak perlawanan dan jerit kesakitan saat akan diinfus.

“Sebelumnya maafkan aku karena ingin bertanya, apa benar si kecil adalah bayimu? Lalu di mana ibunya? Aku ingin bertanya beberapa hal tentang bayi ini.” Dokter bertanya.

Bryan mengangguk, “Ya, dia bayiku, Dokter. Usianya baru menginjak empat bulan. Dokter bisa tanyakan padaku karena ibunya sedang tidak bisa ke sini.”

Sebelah alis sang dokter terangkat saat memindai kejujuran ucapan Bryan, “Baiklah. Tolong beritahukan tanggal lahir si bayi, berat badan dan tingginya saat, kelainan bawaan lahir, berikut imunisasi dasar apa saja yang sudah diberikan pada si kecil. Ini harus dijawab agar kita bisa memberikan penanganan yang sesuai untuk si kecil.”

“Harus sampai sedetail itu, Dokter?” Bryan bertanya dan sang dokter segera mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari tulisannya. Tapi setelah terdiam sesaat, Bryan mulai menjawab.

Karena memang Bryan sosok pria penyayang yang benar mencintai kekasihnya serta bayi mereka, satu hal kecil pun tentang Lizzie luput dari pandangannya. Itu semua karena sayang yang besar dan tahu kalau Shelly sendiri tidak peduli pada bayi mereka dan hanya mementingkan bentuk tubuhnya selepas melahirkan. Bahkan untuk vaksin dasar saja, Bryan lah yang membawa bayinya ke dokter sendirian.

Mendengar penjelasan Bryan tentang Lizzie membuat dokter sedikit tercengang. Ia tidak menyangka pria tegap berwajah sangar itu adalah seorang ayah siaga bagi putrinya, membuat sang dokter semakin percaya istilah ‘Jangan melihat orang hanya dari tampangnya.’

“Baiklah, Tuan Bryan, ini cukup. Besok pagi hasil pemeriksaan darah si kecil akan keluar. Aku akan memberitahukan secara detail apa yang dialami si kecil. Lizzie sudah diinfus dan dia akan lebih tenang.” Dokter menyampaikan.

“Baik, Dokter. Terima kasih banyak. Aku akan menunggu.” Bryan menjawab dan kembali menjaga putrinya setelah dokter dan perawat berlalu dari sana.

Dipandangi olehnya wajah si kecil Lizzie yang pucat. Bryan sangat sedih mengapa putrinya yang sekecil itu harus menderita seperti ini.

Sambil menyentuh tangan Lizzie yang kecil, Bryan bermonolog sambil menyandarkan kepalanya di dekat si kecil, “Lizzie sayang, demi apapun, ayah rela menanggung sakitmu, Nak. Biar ayah saja yang kesakitan asalkan kau tetap sehat.”

Perlahan tapi pasti, Bryan memejamkan matanya yang lelah di samping putrinya.

Esok paginya, dokter kembali untuk menjelaskan gejala kesehatan yang terganggu pada Lizzie. Kesimpulan yang disampaikan dokter adalah Lizzie di usianya yang masih sangat kecil, mengalami berbagai gangguan kesehatan dan rendahnya berat badan dikarenakan kekurangan asupan ASI. Jadi, Bryan harus mengusahakan sebisa mungkin bayinya itu mendapatkan ASI lagi.

“Baik, Dokter. Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk bayiku. Terima kasih, Dokter.” ucapnya pada sang dokter, setelah itu ia menatap isi pesan Nyonya Nancy di ponselnya yang sempat ia baca tapi belum ia balas.

‘Bryan, aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi atasanku mengirimkan surat pemecatanmu pagi ini. Apa yang terjadi?’

Bryan meremas ponselnya dan menunduk. Ia bergumam bingung, “Di mana aku mendapatkan pekerjaan utama lagi setelah ini? Lizzie membutuhkan ASI yang harganya juga tidak sedikit. Bagaimana ini?”

Namun, lamunan bingungnya itu tidak bertahan lama karena ponselnya segera berdering, pertanda panggilan masuk.

“Bryan, ada seorang wanita cantik mencarimu. Tapi kubilang kau akan datang petang nanti, jadi dia akan kembali lagi saat malam.” Stu mengabarkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status