‘Plak!’ sekali lagi, tamparan diterima wanita yang ditolong Bryan sebelumnya. Setelah mendatangi tempat kerja Bryan berdasarkan informasi yang didapatkan dari perawat tentang pria penolongnya, ia pulang ke apartemennya. Akan tetapi, bukannya mendapatkan perhatian dari suaminya, ia malah menerima kemarahan.
Jane Rossalie Hyde, 35 tahun. Wanita cantik yang ditolong Bryan itu ternyata sudah menikah. Dia juga merupakan seorang Manajer di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion ternama bernama AoS Fashion. Sedangkan pria yang menampar Jane adalah Harry Skinner, suami sekaligus atasan Jane yang menjabat CEO di sana.
"Dari mana saja kau sepanjang malam dan baru kembali sekarang, ha?! Apa kau tahu bagaimana aku menghadapi para pemegang aset yang bertanya bagaimana keputusan rencana pembangunan mall baru kita? Karena kau aku jadi kehilangan muka!" Harry habis-habisan memarahi istrinya tanpa kasihan pada Jane yang memegangi pipinya yang merah.
Dengan mata merah yang menahan tangis, Jane berani menatap suaminya dan bertanya, "Kenapa langsung memukulku dan tidak bertanya penyebab aku tidak pulang?"
"Oh, jadi kau punya alasan? Ok, mari kita dengarkan omong kosongmu." dengan melipat tangan di dada, Harry berlagak ingin tahu.
"Ini bukan omong kosong. Manager konstruksi yang kutemui itu bajingan. Dia menjebakku, entah apa yang dimasukkannya ke dalam minumanku hingga aku lemas dan pingsan. Setelah aku membuka mata, aku baru sadar aku sudah di tempat berbeda dan melihatnya ingin menyentuhku dengan tatapan menjijikkan."
"Kalau saja tadi malam tidak ada pertolongan padaku, mungkin saja aku sudah diperkosa pria bajingan itu, kau tahu?!" air mata yang sudah sangat ditahan Jane akhirnya tumpah.
“Oh, jadi tubuhmu sudah disentuh pria itu?” Harry bercemetuk mengejek hingga membuat Jane menghentikan tangisnya seketika dan menatapnya, “Buka semuanya.”
Jane semakin bingung, “Apa yang kau katakan?”
Bukannya menjawab, Harry malah menarik tangan Jane dengan kasar dan melangkah ke arah kamar mereka.
“Buka semua pakaianmu dan tunjukkan di mana saja pria bajingan itu menyentuhmu! Kau kira aku bodoh, akan begitu mudahnya percaya pada omong kosongmu? Kucing mana yang akan melewatkan daging segar yang sengaja disuguhkan?” Harry membentak sambil mengguncang tubuh Jane.
“Harry, hentikan!” Jane menolak dan melawan. Tapi apa boleh buat, tenaga wanita lemah itu tentu tidak cukup menahan sikap kasar suaminya.
Sekalipun sudah menolak, meronta, dan berusaha menjelaskan agar Harry percaya padanya, tapi suaminya yang sudah ditutupi cemburu itu tidak mungkin disadarkan saat ini. Kekasaran Harry yang muncul sejak kejadian naas saat itu kembali Jane rasakan.
“Harry, hentikan. Kumohon. Kau menyakitiku...” Jane merintih memohon.
Tidak seperti selayaknya istri yang digauli dengan kasih sayang oleh suaminya, Jane malah merasa seperti sedang diperkosa. Harusnya yang keluar dari mulut Jane adalah lenguhan kenikmatan, tapi kali ini adalah tangis kesakitan dan meminta tolong agar suaminya berhenti. Harry begitu kasar dan tidak peduli apakah istrinya itu sakit atau tidak saat mereka melakukan itu.
Setelah selesai mengasari istrinya sendiri, tubuh Jane didorong kasar ke ranjang dengan tatapan jijik, “Ingat, kau itu istriku. Jangan pernah kau memiliki secuilpun pikiran untuk meninggalkanku dan lari dengan pria lain. Aku akan membunuhmu! Ah tidak. Yang benar adalah aku akan membunuhmu lalu mengakhiri diriku sendiri.”
Setelah mengatakan itu, Harry masuk ke dalam kamar, meninggalkan Jane yang menangis terisak sambil menutupi tubuh polosnya dengan seprai ranjang yang sudah berantakan. Sampai Harry selesai dari kamar mandi dan pergi meninggalkan kamar mereka, barulah tangisan tanpa suara Jane mereda. Perlahan, ia menutup matanya dalam kesedihan.
Dalam pejaman matanya, kilas balik pertemuan manis hingga lamaran sederhana Harry padanya kembali terputar bak film yang sedang dibintanginya dimainkan di hadapannya.
“Jane, apa makanannya enak? Maaf, karena aku belum bisa mengajakmu berkencan di tempat yang lebih indah dan romantis.” Harry bertanya dengan lembut sambil sesekali menoleh pada Jane karena ia sedang menyetir.
Jane mengangguk sambil tersenyum bahagia, “Di manapun atau seperti apa tempatnya, asalkan bersamamu bagiku semuanya indah.”
Keduanya saling memandang dengan tatapan penuh cinta dan berakhir saat Harry menepikan mobilnya lalu terlihat mencari sesuatu di saku jasnya. Ia membuka sabuk pengamannya dan memosisikan duduknya untuk menghadap Jane.
Dari saku jasnya, Harry mengeluarkan sebuah kotak merah kecil berbahan baldu dan membuka serta menunjukkan isi kotak tersebut. Sebuah cincin bermata berlian kecil yang cantik seketika membuat air mata bahagia lolos dari mata Jane.
“Jane, aku sangat mencintaimu. Maafkan aku yang menurutmu masih sangat kurang dibandingkan dengan banyak pria kaya yang terang-terangan melamarmu. Tapi aku beruntung karena kau menerima perasaan tulusku padamu.”
“Jane, untuk mengakhiri kekhawatiranku karena belum memilikimu dan untuk memulai misiku untuk membahagiakanmu, menikahlah denganku dan hiduplah selamanya bersamaku. Aku berjanji akan membahagiakanmu bahkan kau tidak akan mengeluh kekurangan cinta dariku selamanya. Aku mencintaimu, Jane...”
Itu adalah salah satu momentum indah yang pernah Jane alami bersama Harry. Masa berpacaran selama dua tahun mereka akhiri dengan pernikahan yang bahagia. Jane bahkan langsung hamil setelah sebulan menjadi istri Harry. Akan tetapi, kehamilan itu gugur dikarenakan kualitas sel pembuahan milik Harry bermasalah.
Namun, karena ikatan keduanya begitu kuat, mereka mampu bertahan sekalipun harus mengalami keadaan yang sama sampai di lima tahun pernikahan mereka.
Hingga pada akhirnya Jane hamil untuk kesekian kalinya dan kehamilannya kali ini berhasil melewati trimester ketiga sampai nyaris mendekati waktu persalinan.
Hari di mana Jane sudah merasakan sesak seperti akan melahirkan. Keduanya begitu antusias menyambut bayi mereka. Harry dengan suka cita mengantarkan Jane ke rumah sakit untuk persalinan.
Namun naas tidak berbau. Mobil mereka mengalami kecelakaan fatal, tapi Jane berhasil dilarikan ke rumah sakit dan melahirkan anaknya secara caesar. Sayang seribu sayang, bayi yang ia lahirkan ternyata sudah tidak bernyawa sebelum dilahirkan.
Sementara Harry harus menerima kenyataan pahit bahwa dirinya divonis tidak bisa memiliki anak lagi setelah kerusakan pada sel reproduksinya.
Meski begitu Jane tidak meninggalkan Harry dan terus membesarkan hati suaminya itu agar tidak merasa rendah diri.
Jane juga mengusulkan pada suaminya agar mengadopsi bayi dari panti asuhan saja, tapi itu malah membuat Harry tersinggung. Dengan mengadopsi anak orang lain membuat Harry merasa kecil dan tidak berguna karena tidak bisa menghamili Jane.
Sejak saat itu sikapnya berubah drastis. Harry yang dulunya begitu lembut dan penyayang, sampai saat ini sudah berubah menjadi Harry yang kasar dan pencemburu berat.
Meski begitu sakit dan lelah menerima kenyataan kalau dirinya tidak akan pernah hamil lagi karena Harry berubah, Jane tetap menyayangi suaminya dan mengerti kondisi Harry yang juga hancur. Sekalipun sikap kasar Harry adalah konsekuensi dari cintanya itu.
Hari sudah gelap saat Jane kembali membuka mata dari tidur panjangnya. Ia kembali teringat janjinya pada Stu, karyawan toko ayam goreng yang ia datangi untuk mencari pria penolongnya.
Malam itu juga, Jane kembali mendatangi toko penjual ayam goreng tepung tempat Bryan bekerja, dan beruntungnya mereka bertemu.
"Selamat malam, Tuan Bryan. Kurasa kau masih ingat padaku." Jane menyapa sambil mengulurkan tangannya pada Bryan, "kedatanganku ke sini untuk berterima kasih."
Namun, Bryan hanya terdiam saat memperhatikan wajah Jane yang sepertinya berbeda dari saat ia menolongnya.
"Apa si botak itu datang lagi dan memukulmu, Nona? Pipimu tidak seperti
itu tadi malam." Bryan bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Jane.
Jane seketika menyentuh sebelah pipinya yang memar. Ia pun berbaling, “Ah, ini karena aku terbentur pintu lemari. Bukan satu hal besar yang harus dibahas saat ini.”“Ok, baiklah.” Bryan menjawab langsung saat ingat kalau wanita di hadapannya itu bukanlah siapa-siapa baginya, “Lalu, kenapa kau mencariku, Nona?”Jane merogoh isi tasnya. Ia mengeluarkan dan menyerahkan sebuah amplop coklat tipis pada Bryan, “Aku ingin membalas jasamu yang sudah menolongku tadi malam. Kalau bukan karenamu, mungkin saja aku sudah akan...”“Jangan diteruskan. Itu tidak perlu diingat dan aku juga melakukan itu karena rasa kemanusiaan. Tidak usah membalas apapun padaku, Nona.” Bryan berucap tegas tanpa membuka isi amplop tersebut.“Tidak apa. Tolong lihat dan terima saja isinya. Aku yang akan merasa buruk kalau tidak melakukan ini untukmu, Tuan.” Jane memaksa hingga Bryan tidak enak hati untuk tidak membuka isi amplop di tangannya.Bryan menaikkan sebelah alisnya saat melihat isi amplop, ‘Selembar cek?’ gumam
‘Dia memang seorang pria baik. Temannya tidak berbohong padaku. Ekspresi pria ini saat mengurusi bayinya juga tidak seperti sedang berakting.’ Jane membatin sambil memperhatikan Bryan yang tengah mengurusi Lizzie yang rewel karena popok basahnya diganti.Dari tempatnya duduk, Jane bisa melihat Bryan dan Lizzie dari kamar yang pintunya terbuka. Ia juga terus mengamati ruangan yang cukup kecil untuk ukuran rumah dan di setiap mata memandang selalu ada barang-barang keperluan bayi.Melihat itu, senyum Jane yang sempat mengembang kembali layu membayangkan bagaimana jika di rumahnya ada bayi. Itu pasti akan sangat ramai dan hubungannya bersama Harry tidak akan seburuk sekarang.Lamunan Jane buyar setelah tangisan Lizzie yang dibawa keluar kamar oleh Bryan mendominasi ruangan. Jane segera menghapus air mata yang terasa menggenang di pelupuk matanya.“Maafkan aku, Nona. Sepertinya aku belum bisa bicara dengan tenang denganmu. Bayiku baru selesai sakit, jadi dia sedikit rewel.” Bryan berucap
Bryan mencoba menenangkan dirinya dari kebingungan atas kalimat mengejutkan Jane. Sambil menepuk lembut Lizzie di gendongannya, Jane menceritakan identitas lain tentangnya sebagai pendonor ASI.Tentang kecelakaan yang mengharuskannya menerima kenyataan harus kehilangan bayinya yang berharga. Tentu saja tanpa menjelaskan apa yang dialami oleh Harry yang tidak bisa memiliki anak lagi.“Aku ingin mengenang bayiku. Jadi aku memutuskan ingin membagi ASI-ku pada bayi yang membutuhkan. Dengan berbagi milikku seperti ini, aku merasa tidak kehilangan momentum di mana aku menyusui bayiku sendiri.” dengan senyum yang hangat pada Lizzie yang tertidur pulas, Jane mengatakan itu tanpa malu.“Aku ingin memberikan yang berlebih dariku pada bayi-bayi yang kekurangan ASI di luar sana. Entah itu karena ibu yang tidak bisa menyusui bayinya atau apapun itu. Aku hanya ingin membantu.” sambungnya menjelaskan.“Tapi, apa suamimu tidak marah, Nona—, ah, maksudku Nyonya. Apa suamimu tahu tentang profesi lainmu
Di hari yang sama Bryan diterima bekerja sebagai sopir Harry atas penilaian asisten CEO tersebut. Tapi tentu saja, semua persetujuan itu mengacu dari rekomendasi Jane.Setelah kembali dari kantor AoS Fashion, Bryan segera kembali ke apartemen majikan barunya untuk menjemput Lizzie. Benar saja, si kecil tampak segar dan ceria setelah ditinggalkan bersama Jane.Bryan juga senang karena putrinya tidak hanya disusui, tapi ia juga diberi stok ASI segar oleh Jane yang cukup untuk Lizzie semalaman. Ayah hebat itu berulang kali berterima kasih pada Jane karena banyak bantuan berharganya itu begitu berarti bagi Bryan.***Hari berganti dengan cepat. Harry yang baru saja bangun dari tidur lelahnya setelah bermain gila semalaman bersama Milan, mulai mencari ponselnya.Sebagai petinggi perusahaan tentu saja dirinya harus up-to-date dengan berita yang rutin diberikan dari asistennya. Harry mulai membaca pesan yang mengantri untuk dibuka, dan setelah cukup banyak membaca, ia memutuskan untuk menghu
“Sampai jumpa lagi. Hati-hati di jalan!” Nyonya Betty berujar pada teman-temannya yang baru saja keluar dan meninggalkan unit apartemen Jane. Setelah itu sang ibu mertua menutup pintu dan bergegas berjalan menuju kamar tamu. Namun, beberapa saat kemudian suara bel pintu terdengar lagi. Ia kembali melangkah untuk membuka pintu karena mengira kalau panggilan itu masih temannya yang mungkin saja tertinggal sesuatu di ruang tamu. Tapi saat melihat siapa yang berdiri di sana, Nyonya Betty segera mengerutkan dahi. Ada seorang pria berpenampilan biasa atau lebih tepatnya lusuh jika di penglihatannya. Ditambah lagi, pria itu juga menggendong bayi. Tentu saja itu Bryan. “Siapa kau?” Nyonya Betty langsung bertanya curiga. “Hi, Nyonya. Namaku Bryan. Aku ingin menemui Nyonya Jane. Apakah dia ada?” Bryan menjawab sopan tanpa lupa menundukkan kepalanya sejenak sebagai penghormatan, sekalipun ia belum tahu siapa wanita paruh baya berpenampilan ‘wah’ di hadapannya. Asalkan keluar dari apartemen b
“Aku pulang…” terdengar sapaan Harry dari depan pintu yang terbuka lalu tertutup kembali, “Astaga… lelah sekali. Jane, kau di mana?” sambungnya menggerutu. “Aku di sini.” Jane terdengar gembira saat menjawab. Tapi itu bukan karena kepulangan suaminya, tapi senyuman si kecil Lizzie padanya lah yang membuatnya senang. Namun jelas sekali hal itu membuat Harry seketika mengerutkan dahi, “Anak siapa itu?” tanyanya serius. Senyuman Jane pun redup. Entah mengapa nada bicara suaminya tidak enak didengar, “Kenapa kau pulang terlambat? Aku menunggumu. Kau sangat tahu kalau mama sulit sekali kuberi penjelasan.”
“Dari bawah. Kaos kaki? Sudah. Sepatuku? Bagus, sudah mengkilap. Sekarang yang bagian atas. Ah, dasiku kurang rapi.” Bryan bergumam sendirian saat menilai penampilannya di depan cermin, “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Hari ini memang bukan yang pertama kalinya Bryan bekerja untuk Jane dan Harry, karena kemarin ia sudah mengantongi kesan baik dari para bos barunya. Tapi hari ini dirinya akan resmi bekerja, mengantar jemput Harry dari apartemennya ke kantor. Sudah pasti penampilan sopir CEO AoS Fashion haruslah rapi. “Aku siap.” ujarnya mantap sebelum menoleh dan mendekat pada ranjang, di mana Lizzie yang sudah cantik dan wangi tertidur. Bryan mulai mengangkat—menggendong—Lizzie ke pelukannya, “Ayah akan bekerja dulu, Nak. Kau harus tetap menjadi a
“Stu, aku sudah di depan bar ini. Kau sudah memastikan kasir bar itu sudah tahu kalau aku yang akan datang, kan?” Bryan terlihat bicara dengan seseorang di sambungan telepon, “Baiklah, aku masuk sekarang.” sambungnya lalu menutup panggilan. “Ada-ada saja. Kenapa aku masih harus berpura-pura menakuti orang seperti ini lagi?” Bryan menggerutu sebelum masuk ke sebuah bar yang buka selama 24 jam. Kedatangan Bryan ke sana karena Stu meminta tolong padanya untuk menagih uang pesanan ayam olahan yang sudah satu minggu tidak dibayarkan kasir bar pada toko ayam goreng di tempat Bryan bekerja sebelumnya. Di samping itu, yang biasa menagih ke pelanggan memanglah Bryan. Postur tubuhnya yang besar bak binaragawan dan tampangnya yang tegas mampu menakuti para pelanggan yang sulit membayar. Bryan berjalan masuk, langkahnya langsung tertuju pada meja bartender karena hanya di sanalah ia menemukan pekerja bar tersebut, “Hai!” sapan