Jane seketika menyentuh sebelah pipinya yang memar. Ia pun berbaling, “Ah, ini karena aku terbentur pintu lemari. Bukan satu hal besar yang harus dibahas saat ini.”
“Ok, baiklah.” Bryan menjawab langsung saat ingat kalau wanita di hadapannya itu bukanlah siapa-siapa baginya, “Lalu, kenapa kau mencariku, Nona?”
Jane merogoh isi tasnya. Ia mengeluarkan dan menyerahkan sebuah amplop coklat tipis pada Bryan, “Aku ingin membalas jasamu yang sudah menolongku tadi malam. Kalau bukan karenamu, mungkin saja aku sudah akan...”
“Jangan diteruskan. Itu tidak perlu diingat dan aku juga melakukan itu karena rasa kemanusiaan. Tidak usah membalas apapun padaku, Nona.” Bryan berucap tegas tanpa membuka isi amplop tersebut.
“Tidak apa. Tolong lihat dan terima saja isinya. Aku yang akan merasa buruk kalau tidak melakukan ini untukmu, Tuan.” Jane memaksa hingga Bryan tidak enak hati untuk tidak membuka isi amplop di tangannya.
Bryan menaikkan sebelah alisnya saat melihat isi amplop, ‘Selembar cek?’ gumamnya dalam hati. Tapi setelah ia melihat nominal yang tertulis di sana, Bryan melebarkan matanya seketika.
“Lima belas juta? Apa-apaan ini, Nona?” Bryan bertanya heran.
“Itu adalah rasa terima kasihku padamu, Tuan. Bagaimana? Apa nominalnya kurang? Aku bisa menambahkannya lagi untukmu. Sini, biar kusobek yang ini dan akan kubuatkan yang baru.” ucapan Jane semakin membuat Bryan terperangah.
Bryan mencubit pangkal hidungnya yang berdenyut sebelum berucap lagi pada Jane, “Bukan itu maksudku, Nona. Aku memang tidak bisa menerima ini karena aku menolongmu dengan tulus. Sekalipun aku miskin, aku tidak boleh memanfaatkan keadaan. Kuminta, ambil ini lagi dan simpanlah. Terserah kau ingin membuangnya ke mana, yang jelas aku tidak mungkin menerima ini.”
Harga diri Bryan begitu tinggi hingga ia tidak berpikir dua kali untuk menolak, sekalipun ia harus mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ASI untuk Lizzie. Akan tetapi Jane juga akan merasa lebih buruk kalau ia tidak melakukan apapun pada Bryan sebagai ungkapan balas budi.
“Tapi aku juga tidak akan diam tanpa membalas budi. Kalau tidak ingin kuberi uang, tolong katakan apa yang bisa kulakukan untukmu, Tuan... hmm.”
“Bryan Frank. Kau bisa memanggilku Bryan, Nona. Dan sekali lagi kukatakan kalau kau tidak perlu membalas apapun padaku.” Bryan masih tegas dalam pendiriannya, “Jika tidak ada hal lain lagi, aku permisi. Ini sudah masuk jam kerjaku, Nona.”
Bryan bangkit dari duduknya dan sedikit menunduk pada Jane untuk berpamitan. Itu membuat Jane segera berpikir keras.
“Lalu bagaimana tentang kau yang dipecat si botak brengsek itu? Aku juga bertanya pada suster di IGD tentangmu, tapi dia mengatakan kalau kau meninggalkanku di rumah sakit karena anakmu. Apa tidak ada hal yang bisa kulakukan untukmu, Tuan Bryan? Ayolah, jangan membuatku merasa buruk karena tidak melakukan apapun.”
“Aku tidak suka berhutang budi. Bagaimana kalau pertolonganmu akan kubayar lewat bayimu saja.” ucap Jane kembali menawarkan balas budinya.
Bryan berdiri mematung mendengar tentangnya yang memang bermasalah setelah pemecatannya sebagai kuli dan ia juga harus mencari uang lebih untuk Lizzie. Tapi setelah itu pria baik tersebut tersenyum miris dan menoleh lagi pada Jane.
“Terima kasih karena sudah peduli, tapi aku akan baik-baik saja, Nona. Selamat malam.” ucap Bryan yang kemudian berlalu menuju dapur toko ayam goreng tersebut.
Jane tidak percaya kalau di dunia yang kacau ini masih ada orang baik yang tulus menolong orang lain. Ia ingin menerima penolakan Bryan tapi hatinya menolak karena tidak bisa melakukan apapun pada penolongnya. Terlebih, kin Bryan kehilangan pekerjaannya setelah menolongnya dari pria bajingan malam itu.
Jane merasa harus menunggu sebentar lagi untuk bicara dengan Bryan, tapi yang ditunggu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Jelas saja tidak bertemu, karena Bryan memang sudah melakukan pekerjaannya, mengantarkan pesanan ayam goreng pelanggan toko tersebut.
“Permisi, Nona.” Seorang pria yang berpakaian karyawan toko tersebut menyapa Jane. Dia adalah Stu, “Apa kau masih ingin menunggu Bryan di sini?”
Jane menoleh padanya, “Hmm, ya. Aku belum selesai bicara dengannya. Memangnya kenapa?”
Stu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia terlihat kesulitan akan menjelaskan maksudnya pada Jane.
“Begini, Nona. Aku bukannya ingin ikut campur dengan urusan anda dengan temanku Bryan. Tapi...” Stu bicara lagi dan kini menoleh pada barisan pelanggan yang berdiri di depan kasir, “Aku hanya ingin bertanya, apa anda akan memesan sesuatu sambil menunggu?”
Sebelah alis Jane terangkat, “Memangnya kenapa?”
“Di sana, di depan kasir. Sudah banyak pelanggan yang menunggu meja kosong karena mereka ingin makan. Sementara anda di sini hanya duduk menunggu temanku tanpa mengorder apapun. Maafkan aku jika terdengar tidak sopan, tapi aku tidak tahu bagaimana mengatakan ini dengan baik kalau sebaiknya anda...”
“Baiklah, aku mengerti. Maafkan aku karena mengganggu waktu kalian. Aku akan pergi.” Stu terhenti saat Jane menjawab seketika. Wanita cantik dengan tinggi semampai itu berdiri dan akan melangkah. Tapi Stu menahannya lagi.
“Nona, setengah jam lagi waktu istirahatku. Aku bisa memberitahumu tentang Bryan, karena sepertinya kau tulus untuk membantu temanku itu. Yakinlah, aku tidak ingin meminta apapun. Aku hanya ingin membantumu membalas budi dan membuat temanku memiliki jalan keluar dari masalahnya.” Stu tersenyum memberitahukan itu pada Jane.
Sementara itu di tempat berbeda, ada Bryan yang dengan sigap mengantarkan pesanan-pesanan ayam goreng tepung yang masih mentah pada langganan tetap toko mereka, ditambah lagi dengan pesanan eceran via aplikasi pesan antar.
Bryan meminggirkan sepeda motornya di sisi kiri jalan yang sepi. Ia duduk di sebelah pot besar berisi bunga Bougenville yang menghiasi bahu jalan. Sambil menyesap kopi kalengan yang baru dibelinya, Bryan kembali memikirkan tawaran balas budi Jane tadi.
‘Lima belas juta bukan uang yang sedikit. Itu banyak dan bisa mencukupi kebutuhan bulananku bersama Lizzie selama tiga bulan. Jika kuambil, upah antar ayam goreng akan menutupi biaya tambahan membeli ASI di rumah sakit. Semuanya akan berjalan baik dalam beberapa bulan ke depan sementara aku mencari pekerjaan baru.’
‘Tapi kalau itu benar kuambil, lalu apa bedanya aku dengan bajingan yang akan melecehkan wanita itu? Bukankah aku sama brengseknya dengan si botak?’
Bryan terus memikirkan Jane dan uang tadi sambil berulang kali menoleh pada kendaraan yang sesekali melintas di jalan. Sampai isi kopi kalengan di tangannya habis, barulah Bryan menghela napas kasar dan bangkit dari sana.
“Aku harus menjemput Lizzie. Aku tidak ingin kemalaman lagi dan merepotkan Nyonya Katty. Putriku juga membutuhkanku.” gumamnya sendirian dan mulai menghidupkan mesin motornya lagi menuju Day Care milik Nyonya Katty.
Setelah berterima kasih dan memosisikan gendongan bayinya dengan benar, Bryan segera kembali ke rumahnya. Dari pengantar ayam tepung, kini Bryan berganti peran menjadi ayah siaga bagi putri kecilnya yang cantik.
Keadaan Lizzie sudah lebih baik setelah demamnya reda. Sesuai anjuran dokter untuk meminum ASI, Bryan membeli ASI yang dijual di rumah sakit dan benar saja, si kecil memang terlihat lebih nyaman tertidur, mungkin karena perutnya kenyang dengan makanan yang sesuai untuknya.
Akhirnya, Bryan bisa tidur lebih nyenyak dan hanya sesekali terbangun untuk memberi ASI lagi untuk Lizzie sesuai jam. Tubuh si ayah hebat itu kembali bugar di pagi hari dan ia siap mengantarkan Lizzie ke Day Care lagi karena ia akan mencari pekerjaan baru.
Namun, ketika ia masih bersiap menyediakan peralatan dan kebutuhan Lizzie yang akan dibawa, suara ketukan pintu terdengar berulang dan itu membuat Bryan terganggu.
Ia segera berjalan ke depan dan membuka pintu, “K-kenapa kau ada di sini?”
“Bukannya aku sudah bilang padamu kalau aku tidak suka berhutang budi. Pertolonganmu akan kubayar lewat bayimu saja dan kurasa kau membutuhkanku dalam masalahmu.” ucap Jane menekankan pendiriannya tanpa ragu.
‘Dia memang seorang pria baik. Temannya tidak berbohong padaku. Ekspresi pria ini saat mengurusi bayinya juga tidak seperti sedang berakting.’ Jane membatin sambil memperhatikan Bryan yang tengah mengurusi Lizzie yang rewel karena popok basahnya diganti.Dari tempatnya duduk, Jane bisa melihat Bryan dan Lizzie dari kamar yang pintunya terbuka. Ia juga terus mengamati ruangan yang cukup kecil untuk ukuran rumah dan di setiap mata memandang selalu ada barang-barang keperluan bayi.Melihat itu, senyum Jane yang sempat mengembang kembali layu membayangkan bagaimana jika di rumahnya ada bayi. Itu pasti akan sangat ramai dan hubungannya bersama Harry tidak akan seburuk sekarang.Lamunan Jane buyar setelah tangisan Lizzie yang dibawa keluar kamar oleh Bryan mendominasi ruangan. Jane segera menghapus air mata yang terasa menggenang di pelupuk matanya.“Maafkan aku, Nona. Sepertinya aku belum bisa bicara dengan tenang denganmu. Bayiku baru selesai sakit, jadi dia sedikit rewel.” Bryan berucap
Bryan mencoba menenangkan dirinya dari kebingungan atas kalimat mengejutkan Jane. Sambil menepuk lembut Lizzie di gendongannya, Jane menceritakan identitas lain tentangnya sebagai pendonor ASI.Tentang kecelakaan yang mengharuskannya menerima kenyataan harus kehilangan bayinya yang berharga. Tentu saja tanpa menjelaskan apa yang dialami oleh Harry yang tidak bisa memiliki anak lagi.“Aku ingin mengenang bayiku. Jadi aku memutuskan ingin membagi ASI-ku pada bayi yang membutuhkan. Dengan berbagi milikku seperti ini, aku merasa tidak kehilangan momentum di mana aku menyusui bayiku sendiri.” dengan senyum yang hangat pada Lizzie yang tertidur pulas, Jane mengatakan itu tanpa malu.“Aku ingin memberikan yang berlebih dariku pada bayi-bayi yang kekurangan ASI di luar sana. Entah itu karena ibu yang tidak bisa menyusui bayinya atau apapun itu. Aku hanya ingin membantu.” sambungnya menjelaskan.“Tapi, apa suamimu tidak marah, Nona—, ah, maksudku Nyonya. Apa suamimu tahu tentang profesi lainmu
Di hari yang sama Bryan diterima bekerja sebagai sopir Harry atas penilaian asisten CEO tersebut. Tapi tentu saja, semua persetujuan itu mengacu dari rekomendasi Jane.Setelah kembali dari kantor AoS Fashion, Bryan segera kembali ke apartemen majikan barunya untuk menjemput Lizzie. Benar saja, si kecil tampak segar dan ceria setelah ditinggalkan bersama Jane.Bryan juga senang karena putrinya tidak hanya disusui, tapi ia juga diberi stok ASI segar oleh Jane yang cukup untuk Lizzie semalaman. Ayah hebat itu berulang kali berterima kasih pada Jane karena banyak bantuan berharganya itu begitu berarti bagi Bryan.***Hari berganti dengan cepat. Harry yang baru saja bangun dari tidur lelahnya setelah bermain gila semalaman bersama Milan, mulai mencari ponselnya.Sebagai petinggi perusahaan tentu saja dirinya harus up-to-date dengan berita yang rutin diberikan dari asistennya. Harry mulai membaca pesan yang mengantri untuk dibuka, dan setelah cukup banyak membaca, ia memutuskan untuk menghu
“Sampai jumpa lagi. Hati-hati di jalan!” Nyonya Betty berujar pada teman-temannya yang baru saja keluar dan meninggalkan unit apartemen Jane. Setelah itu sang ibu mertua menutup pintu dan bergegas berjalan menuju kamar tamu. Namun, beberapa saat kemudian suara bel pintu terdengar lagi. Ia kembali melangkah untuk membuka pintu karena mengira kalau panggilan itu masih temannya yang mungkin saja tertinggal sesuatu di ruang tamu. Tapi saat melihat siapa yang berdiri di sana, Nyonya Betty segera mengerutkan dahi. Ada seorang pria berpenampilan biasa atau lebih tepatnya lusuh jika di penglihatannya. Ditambah lagi, pria itu juga menggendong bayi. Tentu saja itu Bryan. “Siapa kau?” Nyonya Betty langsung bertanya curiga. “Hi, Nyonya. Namaku Bryan. Aku ingin menemui Nyonya Jane. Apakah dia ada?” Bryan menjawab sopan tanpa lupa menundukkan kepalanya sejenak sebagai penghormatan, sekalipun ia belum tahu siapa wanita paruh baya berpenampilan ‘wah’ di hadapannya. Asalkan keluar dari apartemen b
“Aku pulang…” terdengar sapaan Harry dari depan pintu yang terbuka lalu tertutup kembali, “Astaga… lelah sekali. Jane, kau di mana?” sambungnya menggerutu. “Aku di sini.” Jane terdengar gembira saat menjawab. Tapi itu bukan karena kepulangan suaminya, tapi senyuman si kecil Lizzie padanya lah yang membuatnya senang. Namun jelas sekali hal itu membuat Harry seketika mengerutkan dahi, “Anak siapa itu?” tanyanya serius. Senyuman Jane pun redup. Entah mengapa nada bicara suaminya tidak enak didengar, “Kenapa kau pulang terlambat? Aku menunggumu. Kau sangat tahu kalau mama sulit sekali kuberi penjelasan.”
“Dari bawah. Kaos kaki? Sudah. Sepatuku? Bagus, sudah mengkilap. Sekarang yang bagian atas. Ah, dasiku kurang rapi.” Bryan bergumam sendirian saat menilai penampilannya di depan cermin, “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Hari ini memang bukan yang pertama kalinya Bryan bekerja untuk Jane dan Harry, karena kemarin ia sudah mengantongi kesan baik dari para bos barunya. Tapi hari ini dirinya akan resmi bekerja, mengantar jemput Harry dari apartemennya ke kantor. Sudah pasti penampilan sopir CEO AoS Fashion haruslah rapi. “Aku siap.” ujarnya mantap sebelum menoleh dan mendekat pada ranjang, di mana Lizzie yang sudah cantik dan wangi tertidur. Bryan mulai mengangkat—menggendong—Lizzie ke pelukannya, “Ayah akan bekerja dulu, Nak. Kau harus tetap menjadi a
“Stu, aku sudah di depan bar ini. Kau sudah memastikan kasir bar itu sudah tahu kalau aku yang akan datang, kan?” Bryan terlihat bicara dengan seseorang di sambungan telepon, “Baiklah, aku masuk sekarang.” sambungnya lalu menutup panggilan. “Ada-ada saja. Kenapa aku masih harus berpura-pura menakuti orang seperti ini lagi?” Bryan menggerutu sebelum masuk ke sebuah bar yang buka selama 24 jam. Kedatangan Bryan ke sana karena Stu meminta tolong padanya untuk menagih uang pesanan ayam olahan yang sudah satu minggu tidak dibayarkan kasir bar pada toko ayam goreng di tempat Bryan bekerja sebelumnya. Di samping itu, yang biasa menagih ke pelanggan memanglah Bryan. Postur tubuhnya yang besar bak binaragawan dan tampangnya yang tegas mampu menakuti para pelanggan yang sulit membayar. Bryan berjalan masuk, langkahnya langsung tertuju pada meja bartender karena hanya di sanalah ia menemukan pekerja bar tersebut, “Hai!” sapan
“Apa katamu? Kau menyuruhku menguntit apa saja yang dilakukan supirmu? Yang benar saja. Memangnya apa yang membuatnya penting di matamu?” dengan ekspresi kesalnya, Milan mengutarakan keberatan. Ia harus mengikuti apa saja yang dilakukan supir Harry, tentu saja itu lelucon.Milan bahkan menyibakkan selimut yang menutupi tubuh polosnya setelah bercinta dengan Harry. Sambil mendengus kesal ia memberi kalimat penolakan lagi, “Kau kira waktuku sangat tidak berharga?” sambungnya sambil memunguti pakaiannya yang berceceran di lantai.Sementara itu Harry juga memosisikan tubuhnya untuk duduk–bersandar di bantalan ranjang, “Kalau kau keberatan, tolong carikan aku orang yang mau membuntutinya. Aku akan membayarnya, tenang saja.”Harry terlihat lebih santai. Ia bahkan mulai menghidupkan rokoknya sambil memperhatikan Milan berpakaian, “Benar. Cari saja orang lain karena kau harus menem