Share

BAB 3. KEKECEWAAN MENDALAM

“Dia ....” Kayshan melihat manik mata Farhana, lalu membuang muka sambil berkata, “Sepupuku.”

Farhana mencelos. Selain karena ucapan semalam, pengakuan sarkas Kayshan barusan menambah luka hatinya dan membuat Katrin besar kepala.

“Oh, cuma sepupu.” Wanita itu memandang remeh sembari menyunggingkan senyum sinis pada Farhana. “Benalu, ya!” kekehnya sambil bersedekap menyandar pada tiang tangga.

Farhana melotot, tangannya mengepal sambil menghentakkan kaki. “Mau lagi, huh?!” gertaknya ke arah wanita tak tahu malu itu sampai membuatnya menutupi kepala dengan kedua lengan.

Melihat lawannya ketakutan, Farhana tertawa. Tidak lama, dia masuk ke kamarnya dan membanting pintu untuk meluapkan emosi.

Brak!

Punggung keturunan alim itu bersandar di balik panel. Beberapa bagian tubuhnya sakit akibat berkelahi tadi. Namun, hatinya lebih berdenyut nyeri.

Dia melorot terduduk di lantai sambil memukuli dada yang mulai sesak, berharap bisa mengurangi kadar perihnya.

“Nggak boleh cengeng, Hana. Masa sarjana psikologi letoy,” ucapnya sendu, sambil tersenyum nanar memandang jendela yang tertutup vitrase.

Dia kembali bangkit, melangkah gontai dan menjatuhkan diri menelungkup di atas kasur masih mengenakan gamis panjangnya.

Rencana meminta izin pada Kayshan tertunda gara-gara peristiwa semalam. Pagi ini, Farhana dikejutkan oleh kehadiran Katrin di meja makan yang sedang sarapan dengan Kayshan di pagi buta.

Pakaian keduanya terlihat casual padahal ini masih hari kerja. Mereka tak memedulikan kehadiran Farhana ketika gadis itu menarik kursi dan duduk bergabung di ruang makan.

“Abang mau ke mana?” tanya Farhana hati-hati, sambil menuang lemon hangat dari teko kecil yang tersedia.

“....”

Tak ada jawaban. Hanya suara denting alat makan yang beradu dengan pinggan.

“Keluar kota, ya? Sampai kapan?” sambung Hana melihat mereka bergantian, masih berusaha mencairkan suasana.

Beberapa menit menunggu, tak juga membuat mereka bicara. Farhana bagai tak kasat mata.

Akhirnya, dia pun hanya memutar-mutar cangkir, mendadak tidak berselera dengan semua menu di hadapan.

Tak lama, Kayshan melipat napkin dari atas pangkuan lalu bangun. “Ayo,” ujarnya pada Katrin. Dia membantu menarik kursi sang gadis agar lekas beranjak dari sana. “Nanti telat.”

Farhana ikut berdiri, dia mengimbangi langkah suaminya yang terburu menuju depan unit. “Aku izin kuliah online, ya?”

“Astaga!!!” sahut Kayshan jengah, terus berjalan melintasi ruang keluarga bersisian dengan Katrin.

“Enggak mau buang waktu. Kalau dipadatkan, paling satu semester lagi selesai,” beber Hana cepat agar tak kehilangan kesempatan membujuk.

Kayshan tidak membalasnya, dia bergegas menekan tuas pintu dan membukanya lebar agar Katrin segera keluar dari sana.

Farhana memberanikan diri menahan panel aluminium itu saat Kayshan akan menutupnya. “Tunggu.” Cegah Hana memohon pada pria di hadapan. “Kalau Abang butuh waktu untuk memikirkan permintaan tadi, silakan. Tapi, setidaknya beritahu tujuan kalian, dan berapa hari?” sambung sang nyonya muda, memandang sendu manik mata Kayshan.

“Bukan urusanmu!” balas Kayshan dingin sembari menarik daun pintu dengan kasar hingga Farhana terhentak maju.

Bruk!

Nyonya muda memejam, lagi-lagi mengusap dadanya. Semua ini membuatnya mendadak lelah.

“Makan dulu, ah. Nahan perasaan juga butuh tenaga,” ujarnya menyemangati diri sendiri. “Lepas ini hubungi dosen, minta solusi.”

Namun setelahnya, keheranan terjadi ketika dia mendapat kabar dari staf administrasi kampus bahwa permohonan cutinya disetujui oleh dosen. Padahal, dia tak pernah mengajukan form tersebut.

“Gimana ini?” oceh Farhana. Dia berdiri di depan cermin, makin bingung melakukan aktivitas bila terkurung di sini.

Kemudian, sebuah ide gila membawanya melakukan pembelian pada peralatan menyulam. Padahal, gadis itu minim sekali akan skil dasar sebagai wanita. Jangankan menyulam, memegang pekerjaan rumah saja tidak pernah.

Aktivitasnya sehari-hari sebagai keturunan emas Tazkiya–sebuah pondok pesantren ternama hanyalah belajar, melakukan kegiatan sosial, juga mengaji kitab.

Circle Farhana tidak pernah jauh dari rutinitas pondok, kampus dan organisasi sosial. Itulah sebab dia tak terpikir untuk menggali hobi lain.

Untuk itu, seminggu belajar menyulam, Farhana baru menguasai dua jenis tusukan. Namun, karena bertekad tidak ingin mati tanpa kegiatan di rumah ini, dia terus berusaha hingga tak jarang sampai tertidur di lantai beralas karpet ditemani gulungan benang, seperti saat ini.

Tak lama, tidurnya terganggu ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan kasar.

“Engmm, a-ada orang!” desah seorang wanita yang sedang dicumbu di depan pintu.

Farhana membola, buru-buru menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Innalillahi! Keluar!” serunya sambil bangun.

“Babu Kay yang baru, ya! Pinjam kamar bentar,” sambung sang pria, yang mulai menanggalkan pakaiannya di depan Farhana.

Bukannya pergi, pasangan itu malah tanpa malu-malu langsung bercumbu di atas ranjang, tak memedulikan keberadaan Farhana. Hal itu seketika membuatnya mual. Dia pun terpaksa pergi.

“Woy, tolong tutup pintunya!”

Bruk!

Ternyata di luar kamar, justru lebih parah. Ruangan gelap, musik beat berdentum keras, dan dia melihat beberapa botol kosong di atas meja sofa. Bau alkohol bercampur dengan asap rokok membuat dada Farhana sesak sampai terbatuk-batuk.

Dia mengibaskan tangannya di depan wajah sambil mencari Kayshan. Farhana berjalan pelan ke arah dapur merambati dinding berharap para manusia asing tak menyadari keberadaannya.

“Heh, sini!” titah seorang pria yang berdiri di dapur.

Farhana celingukan, barangkali bukan dia yang dipanggil. Dirinya mengunci mulut rapat, kuatir salah ucap dan berujung fatal.

“Babu baru, ya?”

Farhana tetap diam. Kenapa semua orang di rumah ini mengatakan kalau dia adalah seorang pembantu rumah tangga? Apakah penampilannya sangat kuno?

“Buatkan kopi dan antar ke depan.” Pria itu langsung pergi tanpa menunggu jawaban sang gadis yang berdiri mematung.

Nyonya muda terpaksa membuat minuman tersebut menggunakan kopi instan. Dia bahkan harus membaca aturan pakai yang tertera di belakang sachet itu lebih dulu. “Ckckck Hana, bikin ginian aja dadakan baca!”

Beberapa menit kemudian, Farhana membawa minuman tadi ke ruang tamu. Di sana, dia tiba-tiba ditarik seseorang hingga terduduk di pangkuannya. Kopi panas itu pun tumpah mengenai wajah si pria.

“Argh!” erangnya kepanasan. “Goblok!” umpat si pelaku pada Farhana.

Farhana gegas bangkit lalu melayangkan tamparan pada pria itu. Plak!

Binar mata bulat itu memerah, sementara tangannya gemetar menahan sakit. Dia tak pernah dilecehkan seperti ini. Tidak ada yang berani memandangi apalagi menyentuh Farhana.

Namun, dua pria di sana malah terpancing atas sikap berani Farhana. Sorot mata ketakutan itu amat langka dijumpai pada gadis metropolitan.

Mereka merangsek mendekat hendak mengungkung sang gadis. “Uhh, yang ini masih polos kayaknya. Kamu mau uang, Sayang?!”

Putri Yai Ahmad itu mundur perlahan. Netranya melirik cepat ke kanan-kiri mencari celah. Setitik harapan muncul, pintu depan terlihat tak menutup rapat. Farhana buru-buru menendang tungkai pria yang hampir menjamahnya dan berlari hendak menyambar pintu.

Namun, tangannya belum sempat menyentuh handle, pintu itu sudah terbuka. Seorang yang dia kenal berdiri di sana.

Entah harus menangis atau bahagia, Farhana menghambur keluar dan berdiri di balik tembok apartemen Kayshan.

Kepalanya menunduk, tangannya mengepal gemetaran di depan dada.

“Ada apa ini?”

.

.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
QIEV
Apanya yang beda, hayoooo?
goodnovel comment avatar
Chaira Fajira
hemmm beda dari yang lain... knp kaya jadi di club yaa......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status