Aku menajamkan penglihatan, foto yang di kirim Ata, berulangkali aku zoom. Dari sisi mana pun perempuan itu sangat mirip dengan Melody. Tanganku gemetaran.Ya Allah, apa Melody tertekan, stres lalu berubah menjadi perempuan seperti itu?"Ta, kamu masih di sana? tolong ikuti perempuan itu." Aku langsung melakukan panggilan telepon kepada Ata. Ga ada waktu lagi untuk berkirim pesan."Ga, Ndra. Dia sudah naik sebuah mobil mewah dan meluncur cepat. Aku ga sempat memperhatikan karena keberadaannya ada diseberang jalan."Aku mendengkus. Gimana cara menyelidikinya kalau begini?"Jadi, hanya foto itu aja, Ta?" "Iya, sorry, Bro. Aku juga ga nyangka istri kamu yang berkerudung itu nekat mengubah penampilan seperti itu.""Bukan, Ta! itu bukan Melody! Melody tak mungkin menjadi wanita ga bener! dia wanita yang tau agama." kilahku. Tak terima Ata menghakimi Melody seperti itu."Maaf, Ndra. Aku pikir setahun kamu abaikan dia, membuat jiwanya sakit. Apalagi setelah kesalahanpahaman yang terjadi di
Setengah jam berlalu, rasa sakit sudah mulai hilang, walau berat dibagian tengkuk masih aku rasakan. Jam ditangan menunjukkan angka dua. Aku belum sholat. Gegas aku menyalakan mobil dan meninggalkan tempat itu. Tak jauh dari rumah Ayah Melody, ada mesjid. Aku akan sholat dulu disana. Walau sudah lewat waktunya. Mesjid sudah sepi, hanya beberapa driver ojek online yang rebahan di pelataran bangunan suci itu. Tak apa yang penting berniat untuk beribadah. Tak lupa berdoa agar masalah ini cepat teratasi.Usai sholat aku kembali melanjutkan perjalanan. Tinggal beberapa jarak lagi aku akan sampai dirumah mertuaku. Ingin kesana, tapi takut jika Ayah Melody akan terpancing emosinya. Tapi, aku penasaran apakah Melody ada disana atau tidak. Khawatir jika Ayah menyembunyikan anak perempuannya itu karena kecewa padaku. Mengingat itu aku melajukan mobil ke sana, mengintai dari jauh.Rumah minimalis itu tampak sepi, tapi pintunya terbuka lebar. Dua buah mobil parkir di depan rumah Ayah Dahlan. Yang
Hari sudah gelap, badanku sudah lemas rasanya tubuh ini tak bertulang. Seharian aku mutar-mutar mencari Melody. Beberapa orang di dekat kampus Melody dulu, yang kuperlihatkan foto istriku itu, sama sekali tak mengenalnya. Aku memutuskan ke rumah Mama badanku sungguh tak nyaman aku takut tinggal sendirian. Jika nanti mati, siapa yang akan tau.Mobilku sampai dihalaman rumah Mama. Pintu langsung terbuka. Mama dan Mbak Widya menatap ke arahku. Baru saja aku turun dari mobil. Pandanganku tiba-tiba saja berputar. Badan terasa berat, aku terhempas ke tanah. Hanya samar-samar suara Mama dan Mbak Widya memanggil-manggil namaku cemas.***"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Ndra." suara Mama menyambut kesadaranku."Ini dimana, Ma?""Rumah sakit, Ndra. Kamu pingsan kemarin. Kamu ini gimana toh, Ndra. Seharian mesti ga makan?" sungut Mama."Mencari istri ya harus mikirin kesehatan juga, Ndra. Kalau kamu begini gimana mau mencari Melody! pikir kesehatan kamu!" potong Mbak Widya yang mendekat ke bib
"Aku kan sakit, Ta.""Iya, tapi taunya Pak Ryan kamu itu ngayap di jalan-jalan. Kayak orang bingung." ketus Ata.Aku mengeryitkan kening. Kenapa Pak Ryan bisa tau."Pak Ryan tau dari mana?""Dia melihat kamu, Ndra. Beberapa hari ini Pak Ryan memang ada perlu bolak balik ke PT. Inti Mas. Dia lihat mobil kamu."Aku terdiam. Mau memberi alasan apa lagi setelah ini."Besok kamu harus masuk, Ndra.""Ga bisa, Ta. Istriku belum ketemu.""Wah, bisa-bisa kamu di pecat!"Aku membuang napas kasar. Pekerjaan ini penting bagiku.Ata mendekat lalu duduk dibibir ranjang kemudian meraih tanganku. Aku terkejut, menatap lelaki itu tanpa suara. Apa-apaan Ata? "Tenang aja, Ndra. Yakin masalah kamu, akan segera selesai. Pokoknya kamu besok harus masuk, aku pamit dulu." lelaki itu melepaskan tanganku lalu menepuk pundak sekilas dan bangkit meninggalkan senyum yang penuh misteri.Darahku berdesir. "Astaghfirullah ..." desisku.Motor Ata sudah terdengar menjauh, aku baru hendak bangkit ketika terdengar sua
Saat sampai di depan jalan rumah Ayah Melody, benar saja seorang wanita berkerudung menatapku dengan senyum manisnya. Hatiku begitu berdesir. Senyum yang seminggu ini aku nantikan.Melody?Senyumku merekah, wajah cantik Melody terus melempar senyum.Tiiiiiiin!"Woi! cari mati lu! berhenti sembarangan!" umpat seseorang yang mengendarai motor yang kemudian mendahuluiku.Aku yang tersentak, segera menepikan kendaraanku. Pandangan kembali menatap kearah rumah Melody. Sepi, tak ada orang. Ternyata hanya halusinasiku saja. Kembali melanjutkan perjalanan dengan hati yang kecewa. Mungkin saking inginnyabertemu, bayang-bayang Melody seakan ada di pelupuk mataku.Sejam kemudian aku sampai dikantor. Awalnya semua normal, hingga aku dipanggil Pak Ryan keruangannya."Kemana saja kamu akhir-akhir ini, beralasan sakit tapi nyatanya kamu berkeliling kota seperti orang yang tak punya pekerjaan. Setelah ini tak ada toleransi lagi atas kelalaian kamu!"Hardik Pak Ryan."Sekarang segera buat laporan pema
"Bu, Bu. Maaf, saya bisa bertemu dengan Bu ..." aku mengingat-ingat nama pemilik rumah yang tadi dia sebutkan."Bu Nada?" tanyanya melanjutkan."Iya bener, Bu Nada." "Buat apa? wong ada keperluan kok. Bu Nada sibuk, ga bisa diganggu!" ketusnya lalu melanjutkan langkah."Bu, plis!"Aku berharap itu Melody sedang mengganti identitas diri."Ada apa, Bik?" suara perempuan dari dalam sana."Ada orang yang nyari perempuan bernama Melody, Non."Dari celah pagar aku dapat melihat perempuan dengan baju dres hitam ketat yang membungkus tubuhnya itu. Rambut sebahu dan dandanan yang elegan. Selain wajahnya semua terlihat bukan Melody. Melody tak mungkin memakai pakaian seperti itu. Suara sepatu beradu dengan lantai terdengar mendekat. Wangi parfum juga makin jelas tercium. Pagar terbuka, sosok perempuan yang sangat mirip dengan Melody menatapku dengan kedua tangan terlipat di dada."Kamu sudah dengar kan, tadi pembantu saya bilang tak ada yang namanya Melody disini!""Dek, apa itu kamu?" aku ma
Aku membuka lemari kecil yang ada dekat ranjang. Mengelus benda yang selalu menemanikudisaat rasa itu tiba.Perlahan aku membuka pakaianku. Disaat-saat perasaan itu mengebu, aku melempar alat itu ke ranjang. Terduduk dengan tangan meremas rambut."Aaarrrgggh!"Aku meraung menahan rasa sakit yang datang seiring rasa yang aku coba tahan. Perlahan bangkit menuju mobil, obat-obatanku masih tersimpan disana. Rasa sakit ini benar-benar menusuk-nusuk dari dalam. Tertatih aku sampai dan bergegas membuka mobil lalu meraih tas hitam yang selalu aku bawa-bawa.Ya Allah, Astaghfirullah ...Aku pun meneguk satu buah obat dan duduk didalam mobil untuk sesaat, merasai sakit yang mulai sedikit demi sedikit menghilang.Ponsel disaku celana berbunyi, Athaya!Astaga! aku lupa tadi Pak Ryan memintaku untuk membuat laporan."Ndra! kamu dimana? Pak Ryan marah-marah!""Aku lupa, Ta. Tadi, langsung pulang karena sakit kepalaku kambuh.""Ah, kamu gimana sih! Pak Ryan nanyain laporan yang kamu buat? sudah jad
"Kalau begitu menurut Mama, Mama urus anak Mama ini sendirian. Mama tak pernah mau mendengarkan kata orang, tak usah Mama menikahi dia dengan perempuan mana pun, kasian. Kalau hanya akan menyakiti hati saja." Mbak Widya mulai melemah."Bersyukur kamu bisa menikah dengan Melody, jika istri kamu bukan dia. Mungkin aib kamu sejagat raya orang sudah tahu!" lanjut Mbak Widya.Dia menatapku tajam lalu meninggalkan rumah dengan membawa amarah. Aku kembali meremas rambutku. Kenapa masalah ini makin runyam."Sudahlah, Ndra. Kamu ga usah khawatir. Penyakit kamu ga bahaya, kok. Nanti juga sembuh. Kalau udah pulih, sepuluh perempuan seperti Melody bisa Mama carikan untuk kamu." Mama duduk disampingku lalu mengusap punggungku lembut. Tapi, bukan kenyamanan yang aku rasakan, justru hati makin tak tenang.***Aku kembali kerumah Mama. Kata Mama sampai aku mendapatkan pengganti Melody, Mama yang akan menjagaku. Aku terenyuh, tapi bukan itu yang kuinginkan. Usia bukan usia anak-anak lagi, kebutuhan ju