Share

Rencana Karenina

[Kemarin, mereka merayakan hari pernikahan yang keempat dan mereka sudah dikaruniai dua orang anak kembar. Otw tiga, sebab Dira sudah hamil lagi yang ketiga]

Ucapan Rita tadi kembali terngiang di benak. Berarti benar dugaanku jika perempuan hamil dan ngidam di rumah ibu tadi sama dengan perempuan yang fotonya diunggah Rita barusan. Mereka sama-sama hamil dan sama-sama dekat dengan Mas Arga.

Kenapa Mas Arga membohongiku selama ini? Kenapa dia tak jujur jika sudah menikah sebelumnya? Kenapa pula ibu dan Dina ikut menutupi kebohongan ini? Apa tujuan sebenarnya?

Pantas saja selama ini Mas Arga tak pernah membahas soal anak padaku, ternyata dia sudah memiliki anak dari perempuan lain. 

Pantas saja dia selalu menenangkanku saat aku risau karena tak kunjung hamil, ternyata bukan karena dia tak ingin anak, tapi karena dia sudah punya anak dari perempuan itu. Bodohnya aku tak pernah menyadari ini sebelumnya. 

Pantas saja ibu tak pernah sekalipun ribut soal cucu padaku, ternyata karena dia sudah memiliki cucu dari menantunya yang lain dan itu bukan aku. 

[Sayang, tunggu aku di rumah ya. Kubawakan oleh-oleh kesukaanmu]

Pesan dari Mas Arga tiba-tiba muncul di layar. Aku sengaja tak membalas. Pikiranku benar-benar kacau dan tak bisa berpikir jernih. 

[Sayang, kamu oke kan?]

Lagi-lagi aku tak membalasnya. Cinta dan kepercayaanku pada Mas Arga yang sebelumnya terlalu tinggi, kini mulai merosot jauh. 

Aku masih tetap mencintainya, hanya saja kini mulai tak mempercayainya. Apalagi sekadar kata-kata cinta yang dikirimkannya lewat handphone.

Bukankah sekarang dia tengah bersama istrinya? Boleh jadi mereka masih bermesraan di atas ranjang, teganya Mas Arga masih sempat merayu perempuan lain. Mungkin, seperti itu pula yang dilakukannya padaku selama ini? 

Tapi ... selama di sini, Mas Arga jarang sekali berurusan dengan handphone. Tiap kali pulang kerja, dia meletakkan handphonenya begitu saja. Tak ada rahasia di sana, bahkan tanpa password segala. 

[Sayang, kamu kenapa? Tumben nggak balas pesanku] 

[Sayang, kamu baik-baik saja kan? Lagi masak ya? Masak apa, baunya harum sampai Jogja] 

Air mata kembali menetes membaca deretan pesan darinya yang tak satupun kubalas. Dia pasti kebingungan sebab biasanya aku selalu cepat membalas pesannya, apalagi tiap kali dia keluar kota sebab aku tak ingin membuatnya khawatir dan curiga.

Mas Arga sepertinya terlalu sempurna di mata istri pertamanya. Dia bahkan dijuluki suami romantis. Di mataku pun sama saja. Dia memang sangat romantis. 

Namun mengapa keromantisannya itu justru dia gunakan untuk meluluhkan hati banyak wanita? Kenapa dia tak bisa setia, padahal selama ini dia dijuluki suami setia dan penyayang keluarga? 

Aku masih tak habis pikir, bagaimana status pernikahan Mas Arga dengan istri pertamanya jika pernikahanku dengannya jelas-jelas sah di mata agama dan negara. Pernikahan kami pun disaksikan keluarga besar bahkan ibu kandungnya. Tapi kenapa aku bisa dijadikannya yang kedua? 

Selama tiga tahun menikah, waktu Mas Arga nyaris dia curahkan hanya untukku saja. Lantas bagaimana cara Mas Arga membagi waktu untuk keluarganya yang lain? 

Keluarga yang kini kusadari seharusnya memiliki jatah waktu yang jauh lebih banyak dibandingkan aku. Aku yang hanya sendiri, sementara mereka nyaris berempat.  

[Wah, mau juga punya suami seperti Mas Arga itu. Romantis, penyayang keluarga, tanggungjawab dan setia. Ah sudahlah. Btw aku baru berpisah dengan suamiku dua bulan lalu, Ren]

Aku kembali membaca komentar Rita di aplikasi biru itu. Mengulang pertanyaanku sebelumnya yang mungkin mengusik hatinya. Jujur aku tak tahu kisah rumah tangganya yang ternyata telah kandas.

[Maaf atas pertanyaanku, Rit. Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu, aku tak tahu bagaimana kisah rumah tanggamu. Namun yang aku tahu, kamu itu perempuan yang kuat dan hebat]

Kukirimkan balasan untuknya. Semoga Rita memaklumi ketidaktahuanku ini. Kedua mataku terpejam. Bulir bening kembali menetes ke pipi. 

Bayang-bayang cinta yang selalu dilimpahkan Mas Arga, kesetiaan yang selama ini kupuja, perhatian yang tak pernah terlupa dan tanggungjawab yang biasanya selalu kurasa, detik ini justru membuatku nelangsa. 

Teganya dia membohongiku selama tiga tahun bersama. Mungkinkah istri pertamanya juga tak tahu jika suaminya memiliki istri lain di kota yang berbeda? 

Atau ... mungkinkah dia jauh lebih peka dan merasakan keganjilan suaminya? Sementara selama ini aku terlalu bodoh, sebab tak curiga apa-apa. 

Aku terlalu percaya dengan Mas Arga sebab dia selalu ada untukku setiap waktunya. Aku tak pernah merasa kesepian, karena dia selalu mencurahkan cinta dan kasih sayangnya untukku. 

Dia tak pernah bosan mengirimiku pesan atau menelpon saat dia keluar rumah. Seolah sangat paham cara berkomunikasi saat berpergian demi menepis rasa curigaku. Sebegitu lembutnya dia menjaga perasaanku. 

Bagaimana mungkin aku curiga jika justru akulah yang dijadikannya istri kedua? Padahal jelas aku yang sah di mata agama dan negara. Sesakit apapun hasilnya, aku memang harus menyelidiki semuanya. 

[Maaf, Rit. Boleh nomor whatsappmu? Barang kali kamu ke Jakarta, kita bisa ketemu]

Kembali kutinggalkan komentar di sana dengan harapan cukup besar agar Rita membagikan nomor handphonenya. 

Dengan begitu, bisa jadi aku banyak mendapatkan informasi tentang Mas Arga dan keluarga kecilnya di sana. Apalagi Rita tak hanya teman bagi Dira, tapi juga tetangganya yang mungkin banyak momen dilewati bersama. 

Dira ... iya, itu nama perempuan itu. Namun Dina memanggilnya ibunya Arvin. Ah, ternyata mereka satu orang yang sama. 

Selama ini aku memang cukup tertutup tentang kehidupanku sendiri. Tak terlalu suka mengumbar kemesraan di media sosial, karena itu pula banyak temanku yang tak tahu bagaimana kehidupanku selepas sekolah dulu. 

Rita pun sama, tak tahu siapa suamiku dan bagaimana keluargaku. Terlebih di media sosial memang tak pernah sekalipun kuposting foto bersama Mas Arga. 

Sesekali hanya foto tanganku dengannya yang saling menggenggam, sebagai tanda kesetiaan. Kesetiaan yang selama ini diagungkannya, ternyata hanya semu belaka. 

[Boleh banget, Ren. Aku kirim di messenger ya]

Sepuluh menit kemudian Rita baru membalas komentarku. Dia mengirimiku nomor handphonenya via messenger. Aku pun mengirimkan nomorku balik. 

Kurasa lebih nyaman dan intens jika bertukar pesan lewat w******p dibandingkan dengan berkomentar di media sosial lainnya.

[Aku save ya, Rit. Thanks] 

Rita pun mengiyakan dan sama-sama menyimpan namaku di kontaknya. Tak banyak hal yang kutanyakan pada Rita soal temannya itu. 

Aku tak ingin membuatnya curiga, hanya saja aku akan terus memantau dan menanyakan tentang mereka secara halus hingga tak ada kecurigaan sedikitpun di hatinya. 

[Ohya, Ren. Senin depan aku dan Putri ke Jakarta. Liburan kenaikan kelas kali ini dia ingin berlibur ke rumah tantenya. Kalau kamu ada waktu, kita bisa bertemu. Nanti aku kabari waktu dan tempatnya, bagaimana?]

Kembali kubaca pesan dari Rita. Senyumku mengembang. Ada banyak hal dan harapan yang harus kususun beberapa hari ke depan saat bertemu Rita. 

[Oke, Rit. Sampai bertemu di Jakarta ya. Pengin ketemu juga dengan putri kecilmu, pasti cantik seperti mamanya]

Aku mengiyakan rencana Rita. Baguslah, lebih cepat membongkar semua ini rasanya jauh lebih baik dibandingkan harus pura-pura tak tahu apa-apa.

Untuk bertanya pada Mas Arga pun rasanya hati ini tak kuat menahan sesaknya. Kemungkinan besar, dia juga akan mengelak dan beralasan aneka warna. Aku tak ingin dibohongi lagi untuk ke sekian kalinya. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status