Sebuah pesan masuk ke handphone Mas Arga. Nomor tanpa nama yang membuatku semakin yakin jika hubungan Mas Arga dengan ibunya Arvin atau Dira itu memang istimewa.
[Mas Arga, maaf aku melanggar perjanjian kita. Barusan Arvin demam dan kini dilarikan ke klinik. Dia selalu panggil nama kamu. Sudikah kamu balik Jogja lagi satu atau dua jam saja nggak apa-apa, aku takut Arvin kenapa-kenapa] Aku tak membukanya, hanya membaca lewat notifikasi di layar. Namun itu sudah cukup jelas jika Mas Arga memang terlalu peduli dengan keluarganya yang lain. Ini terlalu menyakitkan buatku. Bisa saja perempuan itu sengaja menjadikan anak-anak dan kehamilannya sebagai tameng untuk menjerat perhatian dan tanggungjawab lebih dari Mas Arga kan? Sebab selama ini dia jauh lebih memprioritaskan aku dibandingkan mereka. Atau ... sekarang mereka akan balas dendam padaku? Padahal jelas selama ini pun aku tak tahu jika Mas Arga menduakanku. Kuletakkan kembali handphone Mas Arga ke atas nakas lalu kembali ke pembaringan. Beraneka pikiran memenuhi benak. Aku nyaris tak tidur semalaman karena memikirkan masalah ini. Sekitar satu jam sebelum adzan subuh berkumandang, aku baru terlelap makanya aku tak tahu jika Mas Arga sudah pergi ke masjid saat adzan berkumandang. Sepulang dari masjid barulah dia membangunkanku. "Tumben kamu kesiangan, Sayang. Kamu sakit?" tanyanya saat duduk di tepi ranjang setelah membangunkanku. Dia pegang keningku lalu menggeleng pelan."Nggak demam kok. Kamu sakit apa?" tanyanya lagi. Namun aku tak menyahut. Seperti hari-hari sebelumnya, tiap kali di rumah Mas Arga jarang sekali mengurusi handphonenya. Sepertinya sejak semalam pun dia belum membuka pesan itu sebab kulihat tadi masih sama seperti semalam. Ada beberapa pesan yang masuk pun belum dia baca. Padahal aku penasaran bagaimana ekspresinya saat membaca pesan dari perempuan itu. Baru sehari di rumah, mungkinkah Mas Arga akan balik lagi ke Jogja demi perempuan itu? "Nggak sakit apa-apa kok, Mas. Mungkin kurang tidur sebab semalam aku insomnia," balasku lirih. Mas Arga pun manggut-manggut lalu mencium keningku seperti biasanya tiap aku bangun tidur. Sepertinya Mas Arga memang merasa tak pernah terjadi apa-apa. Dia tak peka jika aku telah berbeda. "Aku ke kamar mandi dulu, Mas. Mau sholat subuh," balasku sembari beranjak dari tempat tidur. Mas Arga pun tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Kamar utama ini memang terhubung dengan satu kamar mandi dalam, sementara samping dapur ada juga kamar mandi kedua. Aku memilih kamar mandi dalam untuk cuci muka sekalian wudhu. Baru keluar beberapa langkah, kulihat ekspresi Mas Arga agak berbeda. Dia tampak cemas lalu segera mengetik balasan. Aku yakin dia sudah membaca pesan dari Dira. Terlihat jelas kegugupannya kali ini. Saat melihatku sudah berdiri di belakangnya, dia kembali tersenyum dan pura-pura baik-baik saja lalu pamit keluar agar aku bisa shalat subuh. Meski penasaran apa yang dia lakukan, tapi aku tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk shalat. Aku lakukan kewajibanku terlebih dahulu. Setelahnya baru keluar menuju dapur sembari menyambar handphone dari atas meja rias. Kupikir ada Mas Arga di sana, tapi ternyata dia nggak ada. Di ruang keluarga pun nggak ada. Makin penasaran aku pun keluar untuk mencarinya. Kutemukan dia di samping mobil sembari duduk membelakangiku. "Sudah kubilang berulang kali, jangan menghubungiku dengan nomor ini apalagi saat jam kantor selesai. Kamu tahu kan, aku nggak ingin membuat Karen curiga dan kecewa. Selama empat tahun ini kamu bisa menyembunyikan semuanya, kenapa hari ini kamu melanggar perjanjian kita, Dira? Kamu ingin rumah tanggaku hancur? Aku sangat menyayangi Karen sebab dia cinta pertamaku." Jantungku seolah terpacu lebih cepat dibandingkan biasanya. Dadaku memanas, ternyata dugaanku selama ini keliru, kupikir Dira belum tahu tentangku tapi dari ucapan Mas Arga aku yakin jika perempuan itu tahu siapa aku dan bagaimana statusku. Kupikir dia sama sepertiku yang tak tahu Mas Arga memiliki istri di kota lain. Ternyata dia berbeda. Hanya aku saja yang tak tahu apa-apa sementara dia tahu semuanya. Mas Arga masih saja menelpon. Tak takutkah dia jika tiba-tiba aku datang dan memergoki semuanya seperti detik ini? Apakah karena rumah ini adalah rumah pemberiannya hingga dia merasa bebas melakukan apapun di sini, sekalipun rumah ini sudah atas namaku? "Iya aku tahu, Dira. Kamu pasti sangat bingung dan khawatir. Aku paham tapi kamu juga harus tahu kalau kemarin aku baru saja dari Jogja. Aku nggak mungkin balik ke sana lagi kan? Aku nggak mau Karen curiga," balas Mas Arga lagi. Aku tak tahu apa yang diucapkan perempuan itu namun aku mendengar ucapan Mas Arga meski cukup lirih. "Ada ibu dan Dina. Kamu minta tolong saja sama mereka seperti biasanya. Soal Arvin, besok aku telepon dia setelah sampai kantor ya?" Mas Arga terlihat cukup gelisah, namun dia belum juga mematikan obrolannya. "Cukup Dira. Selama ini aku juga sudah perhatian, tulus dan tanggungjawab sama kamu dan anak-anak sama seperti aku menyayangi Karen sekalipun waktuku memang banyak untuk Karen. Tapi soal tanggungjawab aku berusaha adil. Bukankah kamu sendiri dulu yang bilang kalau aku cukup tanggungjawab pada anak-anak saja sebab kamu belum bisa melupakan Mas Rangga? Lantas kenapa akhir-akhir ini kamu ingin waktuku dibagi rata antara kamu dan Karen?" "Aku tahu, Dira. Aku tahu saat ini kamu tengah hamil dan aku pun tak akan lari dari tanggungjawab meski aku tak ingat kejadian malam itu. Yang jelas aku percaya kamu setia dan janin yang ada dalam rahimmu adalah darah dagingku, tapi tolong jangan mengingkari kesepakatan yang dulu kamu setujui. Jangan hubungi nomor ini apalagi saat aku bersama Karen. Jangan beralasan hanya ingin meminta biaya administrasi, sebab kamu bisa memakai uang dari toko kita seperti biasanya. Aku curiga, apa kamu sengaja melakukan ini semua agar Karen curiga?" Mas Arga kembali mencecar dan mengancam. "Maafkan ucapanku barusan, Dira. Aku tak bermaksud begitu. Tapi bukankah sejak dulu kamu tak ingin mendekatiku tapi akhir-akhir ini justru kamu berusaha mencuri hatiku. Kamu yang berusaha merayuku dengan memakai pakaian-pakaian seksi itu dan ... alh sudahlah."Aku kembali mengernyit. Apa maksud ucapan Mas Arga? Kenapa dia seolah tak yakin jika janin yang dikandung Dira bukanlah benihnya? Atau ini hanya persepsiku saja yang begitu kecewa melihat pengkhianatannya?Aku tahu, dari kalimat yang dia ucapkan, dia begitu menghargai posisiku. Tapi tetap saja aku kecewa sebab dia menikah diam-diam. Semakin kecewa sebab ternyata dia memiliki usaha lain di Jogja yang ternyata dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan Dira dan anak-anaknya tanpa sepengetahuanku. Bahkan ibu dan Dina seolah mendukung. Mereka tahu semuanya tapi tak ada satu pun yang memberitahuku. Betapa bodohnya aku selama ini sebab terlalu percaya pada mereka yang ternyata terlalu pintar bersandiwara. "Stop, Dira. Kali ini aku memaafkanmu tapi tolong ingat perjanjian kita dan jangan mengulangi kesalahan yang sama. Wassalamu'alaikum." Aku buru-buru masuk kembali ke dalam rumah dan mematikan rekaman. Bukti baru bahwa ada perempuan lain di hidup Mas Arga sudah kudapatkan. Aku akan mencari bukti lebih banyak untuk berjaga-jaga. Sepertinya Dira tak sepolos yang Rita ucapkan. Dia cukup cerdik dengan menjadikan anak-anaknya sebagai tameng hingga Mas Arga pasti akan luluh karenanya. Cinta dan ketulusan Mas Arga padaku tak lantas membuatku terlena sebab bisa saja hatinya terbolak-balik apalagi hingga detik ini aku belum dikaruniai momongan sementara Dira sudah memiliki dua anak dan kini tengah berbadan dua. ***Mas Arga terlihat biasa. Dia memintaku membuatkan kopi dan roti panggang seperti biasanya. Aku pun menurut. Berpura-pura baik-baik saja memang tak mudah, tapi aku ingin membongkar semuanya perlahan. Karena itulah aku tak ingin membuat Mas Arga curiga jika perubahan sikapku yang terlalu mencolok. Aku tahu dia mencintaiku, tapi aku juga tak paham alasan pastinya kenapa dia berani mendua. Wajar jika aku ingin menyelidikinya lebih dulu sebelum memutuskan sesuatu yang penting dalam hidupku kan? "Sudah baikan, Sayang?" tanya Mas Arga dengan senyum tipisnya, seperti biasa. Aku mengangguk sembari membalas dengan senyum lalu menarik kursi di sebelahnya dan duduk perlahan. "Alhamdulillah, aku senang melihatnya. Jadi nggak was-was saat ditinggal kerja," ucapnya lagi lalu mengusap pelan lengan kiriku. "Mas, aku boleh kerja kan? Biar nggak suntuk di rumah," ucapku lagi untuk kesekian kalinya. Mas Arga menghela napas panjang, meletakkan roti panggang ya kembali lalu menatapku lekat. Rasa deg-
Aku masih mendengarkan cerita Rita tentang kondisinya. Suami yang selingkuh dan KDRT, lebih parahnya perempuan yang merebut suaminya adalah tetangganya sendiri, karena itulah dia pindah rumah. Rita bilang hanya ingin menjaga hati dan kewarasannya. Tak ingin setiap hari bertemu dengan dua orang yang mengkhianatinya itu. Setelah menjauh, Rita merasa lebih baik, lebih ikhlas dan memasabodohkan sikap suaminya. Suami yang tinggal menghitung hari saja berstatus mantan, katanya. "Aku nggak mau tenggelam dalam sakit hati, Ren. Sekalipun cinta jika dia berdusta dan tak setia, apalagi main tangan, buat apa? Masih banyak lelaki lain yang menanti kita di luar sana. Jangan menyakiti diri sendiri, jika memang tak memungkinkan bertahan, ya lepaskan. Itu prinsipku sejak dulu sih." Aku mengangguk pelan lalu memeluk Rita yang mulai berkaca. Aku tahu ada kecewa teramat sangat di wajahnya yang manis. Kisahnya di masa lalu memang cukup menyakitkan. Mendadak kalimat panjang Rita tadi kembali terngia
[Sayang, maaf. Hari ini ada tugas penting dari kantor. Mungkin pulang malam atau menginap satu hari. Kamu nggak apa-apa kan? Baru juga sehari bertemu, sudah ada tugas tambahan. Aku janji setelah ini kita liburan. Okey?] Kuhembuskan napas panjang sembari memejamkan mata. Mungkinkah Mas Arga akan kembali ke Jogja untuk menjenguk anak lelakinya? Tapi ... bukankah tadi Rita berucap hamdalah sebab Arvin sudah membaik? Lantas mengapa Mas Arga kembali ke sana, padahal baru sehari dia di Jakarta. Apakah ada rencana lain yang dilakukan Dira untuk mendapatkan perhatian lebih dari Mas Arga? Argh! Aku nggak bisa diam saja begini. Lebih baik aku ke kantor Mas Arga sekarang, tanya apakah benar ada tugas lagi dari kantor untuknya. Jika nggak ada, kemungkinan besar dia memang pergi ke Jogja atas perintah Dira. Setelah ngobrol beberapa menit, aku pamit pulang lebih dulu. Rita sepertinya memaklumi sebab aku bilang ada urusan mendadak ke kantor. Dengan motor matic, aku kembali menyusuri jalanan men
Begitulah Mas Arga, dia masih pintar bersandiwara. Bertanya padanya tanpa bukti hanya akan dijawab dengan kalimat panjang lebar sebagai alibi. Aku akan menyelidikinya sendiri. Mungkin aku harus diam-diam ke rumah ibu untuk memergoki hubungan Mas Arga dengan Dira. Dengan begitu mereka nggak akan bisa mengelak lagi. Tapi apa alasanku pergi? Walau bagaimanapun aku harus tetap izin padanya sebab dia tetap suamiku yang kubutuhkan ridhonya. Atau paling tidak, aku sadap saja dulu hadphonenya, agar dia tak bisa mengelak lagi jika aku sodorkan bukti. [Sayang sudah makan?] Pesan dari Mas Arga kembali membuyarkan lamunan. Aku menghela napas. Entah apa yang Mas Arga harapkan, mengapa dia memilihku tapi juga memilih Dira. Kenapa tak cukup memilih satu saja diantara kami berdua. Apakah benar jika hanya aku yang dia cinta? Lantas Dira? Dia bahkan sudah memiliki dua buah hati dan kini tengah mengandung pula. Mungkinkah Mas Arga masih kekeuh bilang tak mencintai Dira jika nyatanya ada buah cinta
Selama ini aku terlalu setia, bahkan sekadar berbalas pesan dengan lelaki lain pun aku tak mau. Namun suamiku justru berkhianat di belakangku. Aku mencoba menjadi istri yang baik, patuh pada perintah suami dan mencintai dengan tulus keluarganya seperti keluargaku sendiri. Sebab aku berpikir, jodoh kita adalah cerminan diri. Namun mengapa justru pengkhianatan yang kudapati? Entahlah. Siapa yang sebenarnya bersalah dalam hal ini. Aku yang terlalu bodoh dan penurut atau Mas Arga yang terlalu serakah. Merasa mampu untuk berbuat adil, padahal sekadar waktu saja jelas dia condong untukku. Nyaris seluruh waktunya dulu dia gunakan untuk bersamaku, sementara Dira dan anak-anaknya hanya mendapatkan sisa. Mungkinkah sekarang Dira menuntut ganti? Dia ingin menyita waktu Mas Arga yang selama ini jarang didapatkannya? Jam enam kurang sedikit aku sampai di bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Aku pun buru-buru memesan ojek online menuju hotel yang sudah kupesan sebelum berangkat. Cukup sehari saja, s
POV : Arga FLASHBACK Karenina adalah perempuan satu-satunya yang bisa membuatku jatuh cinta. Dia cantik, baik dan sederhana. Sekalipun hidup di ibukota, tak lantas membuatnya menjadi perempuan yang banyak gaya atau glamor seperti perempuan sebayanya. Dia bekerja sebagai staf administrasi sebuah kantor yang tak jauh dari tempatku bekerja. Dua bulan bekerja di sana, aku sering memperhatikan Karen saat jam istirahat tiba. Dia jarang keluar, mungkin membawa bekal makan dari rumah untuk makan siangnya. Hanya sesekali kulihat dia keluar makan bersama temannya, yang kulihat hanya satu itu saja. Sepertinya Karen tipe perempuan yang tak mudah bergaul, cenderung introvet dan tak banyak memiliki teman dekat. Beruntung temanku Bara si playboy itu tahu soal cewek-cewek di sekitar kantor ini. Termasuk Karen yang konon pernah menolak cintanya. Kekesalan Bara waktu itu masih teringat jelas di benakku. "Karenina?" ucap Bara agak kaget saat kutunjuk perempuan berhijab coklat yang baru saja keluar
POV : ARGA (FLASHBACK)Waktu semakin bergulir. Beberapa hari belakangan aku memang sengaja mengikuti Karen pulang. Dia tinggal di kontrakan sederhana dengan tiga petak bersama bapaknya yang menua. Dari penyelidikan beberapa hari ini, bisa kupastikan jika Karen begitu mencintai bapaknya. Dia selalu mencium punggung tangan dan kening bapaknya saat berangkat dan pulang kerja. Sesekali kulihat dia menyuapi bapaknya di teras kontrakan sembari melihat anak-anak bermain petak umpet di halaman. Saat kutanya tetangga terdekatnya, dia bilang Karen memang anak tunggal dan tulang punggung keluarga. Bapaknya tak lagi bekerja setelah kecelakaan yang membuat kakinya patah. Mungkin karena itu pula yang membuat Karen berbeda dengan perempuan lainnya. Dia terbiasa hidup sederhana. Dia tak butuh lelaki bermodal tampang saja, tapi butuh lelaki serius dan setia yang menerima dia apa adanya. Lelaki yang bisa menjadi panutannya dan menyayangi bapaknya. Lelaki yang akan bekerja keras untuk membuat dia b
POV : Arga FLASHBACKTak perlu waktu lebih lama lagi untuk mengenalnya sebab aku sudah yakin dia perempuan yang kucari selama ini. Lagipula, sudah banyak sumber informasi yang bisa dipercaya bahwa Karenina memanglah perempuan terbaik itu. Semakin hari keyakinan untuk menjadikannya istri pun semakin kuat. Aku pun mulai memperkenalkannya dengan ibu dan Dina setalah dua bulanan mendekatinya, sekalipun saat itu belum ada kata sepakat antara aku dan dia. Karen cukup paham dengan caraku. Dia sering nimbrung saat aku sengaja video call dengan ibu dan adikku ketika bersamanya. Kulihat ibu menerima saat kubilang aku sedang mendekatinya. Dina pun tak jauh beda. Dia justru yang paling antusias saat berkenalan dengannya.Merasa semua cocok, barulah kukatakan niatku padanya. Karenina Salsabila. Nama yang cantik, secantik wajah dan hatinya. "Mas, aku tahu kamu laki-laki yang baik. Terima kasih sudah memberikan cinta dan perhatianmu untukku dan bapak. Terima kasih sudah menerimaku dengan segala