POV : Arga FLASHBACKTak perlu waktu lebih lama lagi untuk mengenalnya sebab aku sudah yakin dia perempuan yang kucari selama ini. Lagipula, sudah banyak sumber informasi yang bisa dipercaya bahwa Karenina memanglah perempuan terbaik itu. Semakin hari keyakinan untuk menjadikannya istri pun semakin kuat. Aku pun mulai memperkenalkannya dengan ibu dan Dina setalah dua bulanan mendekatinya, sekalipun saat itu belum ada kata sepakat antara aku dan dia. Karen cukup paham dengan caraku. Dia sering nimbrung saat aku sengaja video call dengan ibu dan adikku ketika bersamanya. Kulihat ibu menerima saat kubilang aku sedang mendekatinya. Dina pun tak jauh beda. Dia justru yang paling antusias saat berkenalan dengannya.Merasa semua cocok, barulah kukatakan niatku padanya. Karenina Salsabila. Nama yang cantik, secantik wajah dan hatinya. "Mas, aku tahu kamu laki-laki yang baik. Terima kasih sudah memberikan cinta dan perhatianmu untukku dan bapak. Terima kasih sudah menerimaku dengan segala
POV : ARGA (FLASHBACK)Mas Rangga pergi setelah dua hari dirawat di rumah sakit karena kecelakaan. Motornya tertabrak truk yang remnya blong beberapa menit setelah dia mengantar istrinya ke rumah sakit karena mulai mules menjelang melahirkan. Mas Rangga pergi sebentar untuk membeli makan siang dan beberapa keperluan bayi mereka.Masalah lain pun datang saat dia masih kritis. Bukan soal biaya tapi Mas Rangga memberikan tanggungjawab yang tak main-main untukku, padahal dia juga tahu apa tujuan kedatanganku ke kampung saat itu. Aku pulang sekadar untuk mengurus berkas-berkas pernikahan. Namun tragedi itu muncul bersamaan membuat kakiku terasa sangat berat untuk maju ke depan."Maafkan aku, Ga. Maaf jika sudah merepotkanmu. Aku tahu sebentar lagi kamu akan menikah. Doakan aku supaya segera sembuh dan bisa menyaksikan pernikahanmu dengan Karenina," ucap Mas Rangga lirih saat dia kritis di rumah sakit. Saat itu, Diandra yang sering dipanggil Dira itu belum tahu keadaan suaminya sebab dia d
POV : Arga Jarum jam menunjuk angka sepuluh pagi. Nyaris semalaman aku nggak bisa tidur memikirkan masalah ini. Karen yang sendirian di sana, sementara aku nggak mungkin meninggalkan Dira yang masih terbaring lemah pasca kuret kemarin. Arvin pun baru bisa dibawa pulang hari ini. Seperti bom waktu akhirnya masalah ini pun hadir. Kupikir semua akan baik-baik saja, toh selama tiga tahun belakangan aku masih bisa menghandle semuanya dengan baik. Karen tak pernah curiga jika aku sudah menikah dengan Dira sebelum menikahinya tiga tahun lalu. Namun aku merasa akhir-akhir ini sikapnya mulai berbeda. Dia sering kali diam, tak seceria biasanya. Aku benar-benar takut dia tahu masalah ini. Rasanya nggak sanggup jika harus kehilangan dia. Karen tak pernah seperti ini sebelumnya, tapi sekarang sikapnya benar-benar berubah. "Anak kita sudah pergi, Mas," ucap Dira lirih dengan mata berkaca. Aku sedikit tersentak. Ucapannya membuyarkan segala lamunanku tentang Karenina. "Kamu pasti senang kan? Ba
POV : Arga "Aku nggak mau sembunyi-sembunyi saat menghubungimu, Mas. Aku ingin kamu segera jujur pada Karen tentang semuanya. Aku nggak mau seperti selingkuhanmu yang selalu sembunyi-sembunyi, padahal justru akulah yang pertama sementara dia yang kedua. Kenapa kesannya justru terbalik?" Dira mendelik. Semakin hari sikapnya semakin berubah. Terlalu over protektif. "Kamu harusnya sadar diri, Dira. Apa alasanku menikahimu dan apa alasanku menikahi Karen. Pernikahanku denganmu itu jelas berbeda dengan pernikahanku dengannya. Kenapa kamu banyak menuntut? Harusnya kamu bersyukur sebab selama ini aku tak pernah melalaikan tanggungjawabku sekalipun kamu tak menunaikan tanggungjawabmu sebagai istri. Tolong mengertilah posisi ini. Sampai kapanpun posisimu tetap seperti ini, tak bisa mengalahkan Karen apalagi menggantikan posisinya," ucapku tegas. Dira terlihat tak terima. Berulang kali mengucapkan maaf atas sikapnya dulu yang semena-mena dan kini ingin memperbaiki semuanya. "Maaf, sepertiny
POV : Arga[Kamu di mana, Mas? Mau pulang jam berapa?] Pesan dari Karen masuk ke aplikasi hijauku. Aku sampai lupa mengirimi pesan sejak pagi karena pusing memikirkan masalah ini. Biasanya nyaris tiap berapa menit sekali aku menanyakan kabar atau mengingatkan dia untuk makan, sholat dan lainnya. Aku takut sikap Karen semakin berubah melihatku seperti ini. Dia pasti mengira aku telah berbeda akhir-akhir ini, padahal cinta dan kasih sayangku padanya tetaplah sama. Hanya keadaan yang membedakannya. [Di rumah sakit, ada kerabat yang sakit. Mungkin sore atau malam pulangnya. Kamu masih di hotel atau di mana, Sayang?] Kukirimkan balasan itu padanya. Kembali mengurus administrasi Arvin yang akan pulang hari ini bersama ibu dan Dina. Sementara aku tetap menunggu Dira hingga siang nanti sebelum balik ke Jakarta. [Jenguk kerabat di rumah sakit? Memangnya kamu kerja atau di Jogja?]Kedua mataku membola seketika membaca balasan dari Karen. Kugeser kembali ke atas apa pesan yang kukirimkan pa
"Aku mau pulang sekarang, Mas," ucap Dira saat aku baru saja masuk ke ruangannya setelah menelpon Karenina. "Kenapa? Dokter bilang kamu istirahat dulu di sini," balasku berusaha tetap tenang. "Aku mau pulang sekarang!" Dira sedikit membentak. "Kamu baru kuret, Dira. Istirahatlah dulu," balasku lagi sembari mengusap lengannya. "Anak-anak butuh aku, Mas. Apalagi Arvin baru sembuh. Aku nggak mau melihatnya sakit lagi. Untuk sementara, aku tinggal bersama ibu boleh?" tanya Dira dengan mata berkaca. Sebenarnya aku takut jika dia tinggal di rumah ibu. Takut jika ibu atau Dina keceplosan bicara atau Karen melihat Dira saat dia video call dengan Dina. Karen pasti bertanya banyak hal pada adik perempuanku itu sebab selama ini aku memang belum pernah memperkenalkan Dira pada Karenina. Bukan tanpa sebab aku menyembunyikannya, meski Dira tak mungkin terus terang pada Karen siapa dirinya. Hanya saja Arvin dan Irvan selalu memanggilku ayah, mereka tak mengenal Mas Rangga dan hanya tahu akulah
POV : Arga"Ka-- Karen?!" Aku makin gelagapan saat melihat Karen sudah ada di rumah ibu. Dia berdiri di samping pintu sembari menatapku dan Dira yang masih membisu di halaman. Tak lama kemudian, terdengar suara ibu dan Dina yang bersahutan. Dina muncul di ambang pintu dengan tatapan entah. Melihatku sekilas lalu beralih ke arah Karen yang masih mematung di sampingnya. "Ayo masuk, Mas," ajak Dira di belakangku. Dia melangkah perlahan mendahuluiku yang masih membeku. Aku bingung, apa yang akan kulakukan sekarang? Kulihat Dira berhenti sejenak di depan Karen yang masih menatapnya tajam, lalu masuk ke dalam rumah diiringi teriakan anak-anak memanggil ibunya. "Siapa yang sakit, Mas? Saudaramu atau istrimu?" tanya Karen tak berkedip saat melihatku. Sementara Dina merasa tak enak hati hingga dia kembali ke dalam rumah setelah menatap kami bergantian. "Duduk dulu, Sayang. Aku akan jelaskan semuanya," ucapku berusaha menenangkan. Kulingkarkan tanganku ke lengannya, namun Karen berusaha me
POV : ArgaAku tahu, itu adalah senyum untuk menertawakan dirinya sendiri atau mungkin menertawakan ucapanku saja. Senyum pasrah yang terpaksa sebab tak bisa berbuat apa-apa. "Kamu lupa dengan semua janjimu pada bapak, Mas. Dan itu membuatku sangat sakit. Jika sejak awal kamu bilang sejujurnya, mungkin aku tak terlalu mencintai dan menyerahkan seluruh hatiku padamu. Sayangnya, kamu menipuku sejak awal menikah bahkan hingga tiga tahun setelahnya," ucapnya lirih. Aku menelan saliva. Kutahu perasaannya detik ini. Dia pasti kecewa. Semua memang salahku. Aku tak mampu menceritakan padanya tentang masalah ini sejak awal menikah dulu sebab aku terlalu takut kehilangan dia. Aku terlalu mencintainya. Rasanya nggak sanggup jika harus melihatnya pergi hanya karena masalah ini. Pernikahanku dengan Dira bukan karena cinta, hanya karena aku menghormati wasiat Mas Rangga saja. Aku pikir, setelah Dira bisa menata hati dan hidupnya lebih baik, aku akan meninggalkannya. Dengan begitu aku tak terlal