Share

Ingin Kembali Kerja

"Sayang, maafkan aku. Aku tak bermaksud berdusta. Perempuan itu bernama Dira. Dia saudara kita juga, hanya saja jarang ke rumah dan baru kali ini dia mau datang setelah sekian lama. Dira ngidam mangga muda, karena itulah aku membantunya. Kamu jangan berpikir macam-macam ya? Satu hal yang harus kamu ingat dan percaya, cuma kamu satu-satunya perempuan yang kucinta." 

Mas Arga kembali meyakinkan. Jemarinya membelai rambutku lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Seperti biasa, dia memang selembut itu padaku.

Biasanya aku selalu berbunga-bunga tiap kali melihat perlakuannya yang terlalu istimewa, tapi kini rasanya telah berbeda. Aku tak tahu seperti apa, tapi yang pasti kebohongannya membuat hatiku sangat terluka. 

"Kalau aku nggak video call dengan Dina, kamu juga nggak akan memberitahuku soal dia kan, Mas?" tanyaku lagi, sengaja sedikit menyudutkannya. 

Memang begitu bukan? Selama ini Mas Arga tak pernah menceritakan tentangnya sedikit pun padahal dia sendiri bilang Dira bagian dari keluarga. Tiap lebaran pun aku tak pernah bertemu dengannya. 

"Aku akan cerita tapi menunggu waktu yang pas, Sayang. Aku takut kamu curiga macam-macam," balasnya dengan senyum tipis. Aku kembali mengalihkan pandangan. Menatap langit-langit kamar dengan pendar cahaya yang temaram. 

"Aku perempuan, Mas. Hatiku lemah. Nggak bisalah kamu sengaja berdusta begini apalagi selama ini aku begitu mempercayaimu," ucapku lagi. 

Berulang kali Mas Arga minta maaf dan memohon maafku, membuat sudut hatiku merasa tak tega. Walau bagaimanapun dia adalah cinta pertamaku. 

Aku tak memiliki sanak saudara lain setelah bapak tiada. Hanya dia dan keluarganya saja yang kupunya, sebab itulah aku merasa hidupku akan kuabadikan untuk mereka. 

Namun kini cinta dan pengabdianku rasanya telah tercoreng karena sandiwara mereka. Aku terluka. Jelas cintaku tak bisa disamakan dengan sebelumnya. 

Ingin rasanya mengorek langsung apa sebenarnya hubungan Mas Arga dengan Dira, tapi lagi-lagi aku belum mampu menata hati jika Mas Arga jujur bahwa Dira adalah istrinya juga. Dira menantu pertama ibu dan Dira telah mengandung benih darinya di rahimnya. 

Argh! Aku tak sanggup. 

"Mas, apa kamu benar-benar mencintaiku?" tanyaku pada akhirnya setelah sekian lama aku dan dia membisu. 

Mas Arga buru-buru menoleh lalu mengangguk pelan. Wajahnya yang teduh sering kali membuatku luluh, tapi kali ini aku tak semudah itu percaya dengan kata-katanya. 

Boleh jadi, di rumah Dira dia juga mengatakan hal yang sama bahwa hanya Diralah perempuan yang dicintainya. Iya kan? 

Seperti halnya dia menyembunyikan kebohongannya hanya demi menjaga hati Dira, bisa juga dia menyembunyikan cintanya pada Dira hanya demi menjaga hatiku. 

Aku semakin pusing memikirkan semuanya. 

"Mas, aku ingin kembali bekerja," ucapku lagi. Entah mengapa keinginan itu tiba-tiba muncul. 

Pikiranku kacau. Aku yang dulu tak pernah merasa kesepian, detik ini mulai merasa ketakutan. Takut ditinggalkan mereka yang begitu kucintai dan kusayang.

Setidaknya dengan bekerja, mungkin aku bisa mengikis rasa sepi itu. Aku kembali memiliki teman untuk sekadar bicara, melihat dunia luar yang lebih berwarna dan tak selalu terkurung dengan masalah ini. Kadang aku takut menyiksa diriku sendiri jika tak ada orang di rumah ini. 

Dengan bekerja, aku tak memiliki banyak waktu untuk melamun dan sendiri. Sampai rumah pun, sudah ada Mas Arga atau aku bisa istirahat sebab kelelahan bekerja seharian. 

Iya, sepertinya memang lebih baik aku bekerja. Lagipula Mas Arga sudah mengingkari janjinya. Tak hanya aku yang menyiapkan segala keperluannya, tak hanya aku yang mendapatkan pundi-pundi pahala karena menjamunya, tapi ada dia yang juga melakukan hal yang sama.

"Kenapa kamu ingin kerja lagi, Sayang. Aku nggak ingin kecantikan istriku ini dinikmati lelaki lain. Aku ingin kamu di rumah, melayani suami. Bukankah kamu juga ingin program hamil?" ucapnya kembali mengingatkanku tentang rencanaku kala itu. 

"Nggak, Mas. Rasanya tak lagi sama," ucapku pendek sembari menghela napas. 

"Kamu kenapa, hey?" Mas Arga kembali merengkuhku dalam dekapannya, namun aku mencoba menghindar. 

"Maafkan aku karena tadi laundry baju dulu. Janji lain kali nggak akan begitu. Sesholehah itu istri Arga, sampai dia nggak rela dan ngambek saat baju-baju suaminya sudah rapi disetrika tukang laundry. Iya?" Mas Arga mencoba menggoda, tapi aku tak ada hasrat untuk tertawa. Seolah gurauannya garing tak bernyawa. 

"Aku memaafkanmu, Mas. Tapi keinginanku untuk bekerja tak berubah. Aku ingin seperti dulu, memiliki banyak teman dan kehidupan agar tak sering kesepian. Kamu tahu kan? Sejak bapak pergi, aku tak memiliki siapa-siapa lagi?" 

Mas Arga menghentikan gerakan jemarinya di rambut panjangku. 

"Sayang ... kenapa ngomong begitu? Bukankah dulu kamu bilang bahwa aku dan cintakulah kehidupanmu. Akulah teman dan malaikat tak bersayap untukmu. Kamu juga sering bilang bahwa bersamaku kamu tak pernah merasa sepi, tapi selalu happy? Iya kan? Lantas kenapa sekarang kamu bisa bicara seperti ini? Percayalah, aku akan selalu berusaha membuatmu bahagia." Mas Arga mencoba meyakinkanku lewat matanya. Kini dia menatapku lekat dari jarak teramat dekat. 

"Nggak apa-apa, Mas. Setelah kamu pergi tiga hari belakangan ini, entah mengapa ada sudut hatiku yang kosong dan sepi. Aku ingin kembali bekerja seperti dulu, mungkin dengan begitu aku bisa menemukan kembali kekosongan hati ini," balasku. Aku menahan sedemikian mungkin air mata ini agar tak tumpah. 

Satu hal yang menjadi rencanaku saat ini, aku akan mengumpulkan bukti dan membongkar pernikahan Mas Arga. Aku tak akan tinggal diam melihatnya seperti ini. Apapun alasan yang dia berikan, tetap saja itu tak adil buatku dan Dira. 

"Aku pikirkan lagi rencanamu ini ya? Istirahatlah dulu, esok kita bahas lagi kalau kamu sudah lebih tenang. Maafkan aku, Sayang. Love you." 

Mas Arga mengecup keningku pelan lalu memiringkan badannya ke arahku. Biasanya aku selalu membalas ungkapan cintanya lalu balik memeluknya. Namun kali ini hatiku menolak, membuat mulutku terbungkam dalam diam. 

Mas Arga mencoba tersenyum. Dia tak mencecarku dengan berbagai pertanyaan meski kutahu dalam benaknya jelas ada berbagai macam tanya yang belum mendapatkan jawaban atas perubahan sikapku. 

Aku akan kembali bekerja, dengan begitu aku memiliki banyak waktu untuk melihat kembali warna di luar sana. Tak hanya kelabu. 

Setidaknya mungkin ini memang cara terbaikku untuk jaga diri, seandainya nanti ketakutanku itu menjadi nyata. Mas Arga tak memilihku, melainkan memilih perempuan itu. 

Mas Arga sudah nyenyak. Mungkin dia kecapekan setelah tiga harian ke luar kota apalagi beberapa jam lalu baru pulang. Sebenarnya aku tak tega cuek begini, tapi rasa sakit dan kecewaku masih membara. 

Ponsel Mas Arga tiba-tiba bergetar. Biasanya aku tak terlalu peduli, tapi kali ini aku penasaran siapa yang mengiriminya pesan malam-malam begini. Mungkinkah dia Dira? Seberani itukah dia mengusik Mas Arga saat dia bersamaku? 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status