Share

Mulai Berbeda

Kini aku masih merenungi nasibku sendiri. Di satu sisi aku teramat kecewa karena dibohongi, tapi di sisi lain aku jelas masih begitu mencintainya. Tak mudah menghapus jejak cintanya untukku selama tiga tahun bersama.

Aku mulai takut jika Mas Arga bilang cinta dan kasih sayangnya selama ini sekadar sandiwara. Aku takut dia mengatakan sendiri di depanku bahwa aku hanyalah persinggahannya saja, sementara Dira adalah tujuan hidupnya. Nyeri. Aku belum siap untuk mendengar cerita darinya.

Rasa cintaku pada Mas Arga memang terlalu dalam, tapi tak lantas membuatku terus terdiam dan pura-pura tak tahu dengan keadaan di luar yang nyatanya tak lagi nyaman. Aku akan menyelidikinya dengan caraku sendiri.

Aku jelas nggak mau disebut perebut laki-laki lain, apalagi perusak rumah tangga orang. Aku bukan perempuan yang menghalalkan segala cara demi ambisiku, apalagi sekadar perkara cinta. Aku masih ingat betul bagaimana pesan ibu dan bapak sebelum mereka tiada agar aku bisa mencari kebahagiaanku sendiri, bukan menjadi benalu pada kebahagiaan wanita lain.

Aku akan selalu mengingat wasiat mereka, karena itulah aku menerima pinangan Mas Arga sekalipun aku dan dia dulu baru dua bulan berjumpa. Setidaknya aku yakin dia masih lajang, pun keluarga besarnya merestui pernikahanku dengannya.

Sungguh aku tak mengerti mengapa Mas Arga bisa menipuku selama ini, padahal jelas dari waktu yang Mas Arga punya, akulah yang selalu diprioritaskannya. 

Dia selalu bersamaku setiap malam, hanya sesekali saja aku tak mencium aroma tubuhnya di malam tiba. Itu pun saat dia ada tugas di luar kota. 

Jika sudah begitu, bagaimana mungkin Rita bilang jika pernikahan Mas Arga dan Dira teramat harmonis dan romantis bahkan begitu diirikan para tetangga dan teman-temannya sama seperti pernikahanku? 

***

Detik ini Mas Arga pulang dengan senyumnya yang mengembang. Seperti biasa dia selalu membawakan buket bunga dan oleh-oleh tiap kali keluar kota. 

Biasanya aku selalu menyambutnya dengan senyum ceria, melepaskan rindu berdua dengan banyak bercerita. Meskipun aku dan dia hanya tiga atau empat hari tak bertemu, tapi rasa cinta dan rindu itu seolah menyesaki kalbu.

Mas Arga selalu bisa membuatku rindu dengan segala sikap romantisnya. Bagiku aroma wangi tubuhnya selaksa candu. Aku sering menciumi salah satu kemejanya yang sengaja tak kucuci untuk sekadar menemani malamku saat dia pergi. 

"Maaf telat, Sayang. Kamu kenapa? Sakit?" tanya Mas Arga saat aku menyambut kedatangannya dengan wajah berbeda. Jelas tak sama seperti biasanya yang selalu ceria dan penuh suka cita. 

"Nggak kenapa-kenapa, Mas. Bawa ke sini kopernya, biar aku masukkan ke mesin cuci pakaian-pakaian kotornya," ucapku kemudian. Meski aku kecewa dan sakit hati, aku tetap berusaha menjalankan kewajibanmu sebagai istrinya. 

Lagi-lagi seperti pesan almarhum ibu untuk selalu menjalankan kewajiban sebagai istri sebaik mungkin sebab keridhoan dan kenyamanan suami adalah kunci bahagia seorang istri. 

"Kamu kenapa, Sayang? Sore ini kamu tak seperti biasanya," balasnya lagi. Mas Arga berusaha membelai rambutku, namun aku meninggalkannya pergi. 

Sungguh, aku tak ingin kecewaku semakin dalam jika harus menceritakan penemuanku pagi ini. Aku belum siap! Aku juga takut Mas Arga melihat kedua mataku yang kini sudah berkaca-kaca.

Mas Arga masih mematung di tempat. Mungkin dia cukup kaget melihat perangaiku yang terlihat jelas berbeda. 

"Mas, tumben baju-bajunya sudah dicuci dan disetrika. Wangi lagi," ucapku kemudian sembari menoleh ke arahnya. Ada rasa nyeri yang merasuki dada. Mungkinkah Dira yang menyiapkan semuanya? Ah mungkin iya sebab mereka bertemu di rumah ibu. 

Kupejamkan mata perlahan lalu menghela napas panjang. Aku tak ingin kecewa, tapi mungkin mulai detik ini aku harus siap-siap kecewa jika akhirnya bukan aku yang Mas Arga pilih untuk mengisi hari-hari tuanya.

"Sempat laundry ya?" Aku tersenyum. Mencoba menyenangkan hati sendiri. Aku sengaja menjawab pertanyaanku sendiri dengan asal sebab Mas Arga terlihat cukup kebingungan mencari jawabannya.

"Tak apa. Sesekali memberi rezeki untuk tukang laundry, biar istri tak kecapekan mencuci," godaku lagi membuat Mas Arga melangkah perlahan mendekatiku. 

Padahal sebelumnya, selalu aku yang mencuci pakaiannya. Selalu aku yang menyetrikakan baju-bajunya. Bagiku, menyiapkan apapun keperluannya adalah sebuah anugerah tersendiri sebab aku bisa meraup banyak pahala darinya. 

Seperti perjanjianku dengannya sebelum memutuskan berhenti bekerja sesuai permintaannya dua bulan lalu. Aku berharap hanya akulah yang menyiapkan semua keperluannya, selama aku masih sendiri dan belum disibukkan dengan keperluan anak. Aku hanya tak ingin berbagi pahala dengan perempuan lain. 

Selama ini, sesibuk apapun aku berusaha mengiyakan tiap kali Mas Arga meminta pertolongan. Namun kini, rasanya benar-benar berbeda setelah melihat koper yang biasanya dipenuhi pakaian kotor, kini terlihat bersih dan wangi. 

Sewangi aroma tubuhnya yang selalu kurindukan. Namun kini justru menjadi aroma yang kutakutkan. Takut jika aku harus menerima kenyataan bahwa aku bukan siapa-siapa yang patut dia perjuangkan. 

"Maaf, Sayang. Aku lupa dengan perjanjian kita. Aku ingkar. Lain kali, baju-baju itu tak lagi kulaundry ya? Supaya kamu bisa terus mendapatkan pahala saat mencucinya," ucapnya sembari menyelipkan rambutku ke belakang telinga lalu mengecup kening seperti biasanya. 

"Nggak apa-apa, Mas. Mulai sekarang kamu bebas untuk laundry. Sepertinya aku butuh waktu untuk istirahat lebih dan mungkin itu juga salah satu caramu agar aku tak terlalu lelah mengurus keperluanmu. Bukankah begitu?" 

Aku tersenyum tipis. Senyum terpaksa dan aku yakin Mas Arga tahu jika saat ini aku tak baik-baik saja. 

*** 

Jarum jam terus berputar. Aku berusaha bersikap seperti biasa meski jelas luka di hatiku belum juga sirna. Mas Arga pun pasti merasakannya juga. 

"Kamu kenapa, Sayang? Dari tadi murung terus. Adakah yang salah?" tanya Mas Arga saat aku dan dia terdiam beberapa saat di atas pembaringan. 

Biasanya, saat-saat inilah yang selalu kurindukan sebab di sini aku dan dia bisa mencurahkan apa saja kegiatan seharian. Namun kali ini, wajar jika aku tak berniat menceritakan apapun, bukan? 

"Mas, apakah selama tiga tahun pernikahan kita ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" tanyaku pada akhirnya. 

Kutatap lekat kedua mata Mas Arga, sengaja agar dia tak bisa mengelak lagi. Setidaknya jika dia mampu menyembunyikan semuanya, kedua matanya tak mampu diajak bersandiwara. 

Dia tak berani menatap mataku balik jika memang tengah berdusta sebab takut aku menemukan dusta itu lewat binar matanya. Sering kali dari mata menampakkan sebuah kebohongan yang nyata. 

Namun kali ini Mas Arga benar-benar di luar ekspetasiku. Dia tampak santai menjawab pertanyaanku sembari tersenyum tipis. 

"Kamu kenapa? Lagi haid? Kenapa jadi sensitif begini? Apa selama ini aku pernah membohongimu?" ucapnya sembari membelai rambut panjangku. 

"Apa kamu punya saudara lain yang belum pernah kamu kenalkan padaku?" tanyaku sekenanya. 

Aku bingung mau bertanya apa sebab kulihat album f******k Rita sudah tak memuat fotonya lagi. Bodohnya aku tadi tak sempat menyimpan fotonya sebelum terhapus dari sana.

"Nggak ada, Sayang. Aku hanya punya satu adik saja, Dina. Memangnya kenapa? Kamu juga sering bertukar kabar dengannya via w******p kan?" tanyanya lagi. Aku mengiyakan. Bahkan nyaris tiap hari aku bertukar kabar dengannya.

Pagi tadi pun sempat video call tapi sepertinya Mas Arga memang tak tahu aku video call dengan adiknya tepat saat dia bersama perempuan itu. Mungkin Dina juga tak cerita dan merasa semua baik-baik saja. 

Aku sering merasa menjadi perempuan yang paling bahagia sebab memiliki suami, ipar dan mertua yang super istimewa. Aku mendapatkan cinta dengan paket komplit di dalamnya. 

Namun sejak pagi tadi, rasanya tak lagi sama. Aku merasa mereka semua bersekongkol untuk menipuku dan aku benci dengan jenis kebohongan apapun itu.  

"Iya, Mas. Nyaris tiap hari aku berkirim pesan atau video call dengan Dina. Termasuk pagi tadi saat kamu pergi dengan seorang perempuan untuk mencari mangga muda." 

Kulihat keterkejutan di wajah Mas Arga, namun lagi-lagi dia bisa menguasai diri. Dihembuskannya napas panjang lalu tersenyum menatapku seolah tak perlu ada yang dikhawatirkan. 

***

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
sudah jangan lagi terlalu halu kamu harus bekerja lagi bilang saja sepi dan bosan
goodnovel comment avatar
Wini Sagita
begitulah laki laki aktor paling hebat soal bohong
goodnovel comment avatar
dianrahmat
lagian mau aja disuruh berhenti kerja. klw blm punya anak mah lanjut kerja. apalg sering ditinggal keluar kota. kan gabut sendirian di rmh.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status