BAB 2
"Dina, yang lewat barusan Mas Arga, kan? Siapa perempuan yang bersamanya?" tanyaku lagi sebab Dina belum juga membalas pertanyaanku. "Iya tadi Mas Arga, Mbak. Perempuan itu sebenarnya saudara kita juga, cuma baru kali ini dia datang ke rumah sejak suaminya meninggal beberapa tahun silam. Ibunya Arvin itu masih hamil, Mbak. Tadi dia bilang pengin makan mangga muda, makanya Mas Arga berusaha bantuin dia sekalian cari angin katanya," ucap Dina menjelaskan. Aku manggut-manggut saja meski Dina pun tak tahu anggukan kepalaku. Oh, jadi perempuan itu sudah memiliki anak sebelumnya yang bernama Arvin dan kini dia tengah hamil muda. "Mbak tak perlu risau. Ada aku di sini. Kalau Mas Arga nakal, biar aku yang beri dia pelajaran," ucapnya lagi dengan tawa yang sama setelah melihatku tersenyum dan menganggukkan kepala. Tak selang lama dia pamit sebab Mas Arga memanggilnya. Mungkin Mas Arga tak tahu jika saat ini Dina tengah ngobrol denganku. Setelah menutup video call itu aku kembali berpikir tentang ucapan Dina tadi. Ibunya Arvin hamil dan cari mangga muda. Persis dengan teriakan Dina sebelumnya. Tapi kenapa tadi Mas Arga bilang mungkin pemain sinetron yang ngidam? Padahal kata Dina barusan saudara jauh mereka yang ngidam. Buat apa ditutupi segala, tapi ... Dina bilang dia baru datang lagi setelah kepergian suaminya beberapa tahun silam. Jika suaminya telah pergi, lantas sekarang dia hamil dengan siapa? Pikiranku semakin kacau sejak kejanggalan di rumah ibu tadi. Sosok perempuan itu benar-benar mengusik ketenanganku. Daripada semakin pusing dan menduga-duga, aku pun membuka aplikasi biru di handphoneku untuk sekadar cuci mata. Kedua mataku membola saat kulihat foto Mas Arga muncul di sana. Foto yang diunggah oleh teman SMAku sendiri, Rita. Foto yang menampilkan Mas Arga dengan seorang perempuan dan dua anak kembar. Apalagi ini? Kepalaku mendadak pening memikirkan semuanya. Ketakutanku akan pengkhianatan Mas Arga kini justru semakin terasa. Aku tak mungkin diam saja dan pasrah menerima segala dusta yang tercipta kan?[Rit, foto di mana ini? Seru banget sepertinya] Aku yakin laki-laki di foto itu adalah Mas Arga. Aku nggak mungkin keliru sebab ada beberapa fotonya di sana. Foto yang nyaris semuanya dengan senyum ceria seolah tak ada beban yang dipikulnya.[Iya, Ren. Seru banget. Ini acara anniversary kecil-kecilan teman sekaligus tetanggaku]Beberapa menit kemudian kubaca balasan dari Rita. Hatiku memanas, dada pun tiba-tiba terasa sesak membaca komentar dan melihat deretan foto itu. Bagaimana mungkin Mas Arga merayakan anniversary bersama perempuan lain, sementara selama ini kupikir akulah istri satu-satunya yang dia punya.Bagaimana bisa dia mendua, padahal selama tiga tahun bersamaku, tak pernah sekalipun gelagat aneh dan mencurigakan dalam sikapnya? Sikapnya padaku teramat manis dan romantis bahkan nyaris sempurna hingga membuat beberapa teman dekat dan tetangga iri melihat kisah rumah tanggaku dengannya, sekalipun selama tiga tahun bersamanya aku belum dikaruniai buah cinta. Tiga tahun bersama, tak pernah sekalipun dia bersikap kasar atau membentakku. Dia sangat lembut seolah memperlakukanku seperti ratu. Sungguh, kenyataan yang kuterima detik ini benar-benar membuatku setengah gila. Mungkinkah perempuan di foto itu adalah perempuan yang sama di rumah ibu tadi? Ibunya Arvin yang tengah berbadan dua? [Mereka ini LDR, Ren. Jadi tiap kali bertemu pasti mengadakan syukuran kecil-kecilan. Hanya teman dekat saja yang diundang. Banyak yang iri dengan keharmonisan mereka, termasuk aku]Tanpa kuminta, Rita kembali menjelaskan. Rita memberikan komentar dengan diakhiri emoticon senyum. Lagi-lagi balasan yang membuat hatiku teriris perih. Ah, kupikir hanya akulah perempuan yang diirikan banyak orang karena sikap manis Mas Arga, ternyata ada perempuan lain di luar sana yang memiliki peran sama. Aku ... tak lagi istimewa. Sebenarnya aku dan Rita tak terlalu akrab saat sekolah menengah atas sebab dulu hanya sekali aku satu kelas dengannya. Itupun di tahun pertama kami menginjakkan kaki di kampus abu-abu. Namun saat bertemu di dunia maya, kami mulai sering bertukar kabar dan komentar. Setahuku Rita dan keluarga kecilnya kini tinggal di Jogjakarta, sementara aku masih tetap di Jakarta bersama suamiku setelah bapak tiada sebulan pasca pernikahanku dengan Mas Arga. Setelah perpisahan SMA sepuluh tahun lalu, aku dan Rita memang belum pernah bertemu secara nyata, hanya via medsos saja aku dan dia saling menyapa. [Jadi, laki-laki di sampingmu itu suami temanmu?] Kembali kukirimkan komentar di sana untuk meyakinkan dugaanku meski dengan mata berkaca dan jari mulai terasa gemetar. Ada luka yang mulai terasa menyesaki dada. Namun aku begitu berharap Rita bisa menceritakan secuil kisah rumah tangga temannya itu padaku. Aku ingin tahu siapa sosok suamiku sebenarnya. [Benar, Ren. Dia Arga, suami temanku itu. Kemarin, mereka merayakan hari pernikahan yang keempat dan mereka sudah dikaruniai dua orang anak kembar. Otw tiga, sebab Dira sudah hamil lagi yang ketiga| Glek. Aku menelan saliva saat membaca komentar panjang Rita di sana. Dia menjelaskan cukup detail apa yang kuinginkan tanpa perlu bertanya lebih. Komentarnya sejak tadi seolah sudah menjelaskan semuanya. Benar dia Mas Arga suamiku. Aku kenal betul arloji yang melingkar di tangan kirinya sebab akulah yang memberikannya dua minggu yang lalu sebagai hadiah anniversaryku dengannya. Pernikahan kami yang baru menginjak tiga tahun. Tak hanya itu, aku kenal betul bagaimana senyum suamiku dan apapun yang melekat dalam tubuhnya termasuk gayanya berpakaian. Tak mungkin salah, dia memang Mas Arga. Rasanya tak ingin kembali mengulik rumah tangga orang lain, tapi kali ini terasa berbeda sebab foto yang terpajang di sana jelas suamiku tercinta. Tak salah jika sekarang aku berusaha mencari informasi tentangnya kan?Aku masih cukup shock, suami yang selama tiga tahun ini selalu membersamaiku, ternyata dia memiliki istri dan anak dari perempuan lain. Perempuan yang kini kutahu justru menjadi istri pertamanya, sementara akulah yang kedua baginya. [Oh, kupikir suamimu, Rit. Lantas suami dan anakmu yang mana?]Aku pun mulai bersandiwara untuk mendapatkan informasi lebih tentang Mas Arga darinya. Aku yakin dia memiliki banyak informasi tentang keluarga kecil itu. Keluarga yang terlihat begitu bahagia dengan dua anak lelaki mereka dan menanti kehadiran anggota baru yang ketiga. Betapa perbedaan ini terlalu jauh dibandingkan keluargaku, aku yang belum juga merasakan berbadan dua selama tiga tahun ini. [Wah, mau juga punya suami seperti Mas Arga itu. Romantis, penyayang keluarga, tanggungjawab dan setia. Ah sudahlah. Btw aku baru berpisah dengan suamiku dua bulan lalu, Ren]Balasan Rita kali ini justru membuat kedua mataku semakin membola. Seperti itu pulakah sosok Mas Arga di matanya? Ternyata sikap Mas Arga pun tak berubah saat bersama istri pertamanya. Tetap saja romantis, penyayang, tanggungjawab dan ... setia, katanya? ***[Kemarin, mereka merayakan hari pernikahan yang keempat dan mereka sudah dikaruniai dua orang anak kembar. Otw tiga, sebab Dira sudah hamil lagi yang ketiga]Ucapan Rita tadi kembali terngiang di benak. Berarti benar dugaanku jika perempuan hamil dan ngidam di rumah ibu tadi sama dengan perempuan yang fotonya diunggah Rita barusan. Mereka sama-sama hamil dan sama-sama dekat dengan Mas Arga.Kenapa Mas Arga membohongiku selama ini? Kenapa dia tak jujur jika sudah menikah sebelumnya? Kenapa pula ibu dan Dina ikut menutupi kebohongan ini? Apa tujuan sebenarnya?Pantas saja selama ini Mas Arga tak pernah membahas soal anak padaku, ternyata dia sudah memiliki anak dari perempuan lain. Pantas saja dia selalu menenangkanku saat aku risau karena tak kunjung hamil, ternyata bukan karena dia tak ingin anak, tapi karena dia sudah punya anak dari perempuan itu. Bodohnya aku tak pernah menyadari ini sebelumnya. Pantas saja ibu tak pernah sekalipun ribut soal cucu padaku, ternyata karena dia suda
Kini aku masih merenungi nasibku sendiri. Di satu sisi aku teramat kecewa karena dibohongi, tapi di sisi lain aku jelas masih begitu mencintainya. Tak mudah menghapus jejak cintanya untukku selama tiga tahun bersama.Aku mulai takut jika Mas Arga bilang cinta dan kasih sayangnya selama ini sekadar sandiwara. Aku takut dia mengatakan sendiri di depanku bahwa aku hanyalah persinggahannya saja, sementara Dira adalah tujuan hidupnya. Nyeri. Aku belum siap untuk mendengar cerita darinya.Rasa cintaku pada Mas Arga memang terlalu dalam, tapi tak lantas membuatku terus terdiam dan pura-pura tak tahu dengan keadaan di luar yang nyatanya tak lagi nyaman. Aku akan menyelidikinya dengan caraku sendiri.Aku jelas nggak mau disebut perebut laki-laki lain, apalagi perusak rumah tangga orang. Aku bukan perempuan yang menghalalkan segala cara demi ambisiku, apalagi sekadar perkara cinta. Aku masih ingat betul bagaimana pesan ibu dan bapak sebelum mereka tiada agar aku bisa mencari kebahagiaanku sendi
"Sayang, maafkan aku. Aku tak bermaksud berdusta. Perempuan itu bernama Dira. Dia saudara kita juga, hanya saja jarang ke rumah dan baru kali ini dia mau datang setelah sekian lama. Dira ngidam mangga muda, karena itulah aku membantunya. Kamu jangan berpikir macam-macam ya? Satu hal yang harus kamu ingat dan percaya, cuma kamu satu-satunya perempuan yang kucinta." Mas Arga kembali meyakinkan. Jemarinya membelai rambutku lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Seperti biasa, dia memang selembut itu padaku.Biasanya aku selalu berbunga-bunga tiap kali melihat perlakuannya yang terlalu istimewa, tapi kini rasanya telah berbeda. Aku tak tahu seperti apa, tapi yang pasti kebohongannya membuat hatiku sangat terluka. "Kalau aku nggak video call dengan Dina, kamu juga nggak akan memberitahuku soal dia kan, Mas?" tanyaku lagi, sengaja sedikit menyudutkannya. Memang begitu bukan? Selama ini Mas Arga tak pernah menceritakan tentangnya sedikit pun padahal dia sendiri bilang Dira bagian dari k
Sebuah pesan masuk ke handphone Mas Arga. Nomor tanpa nama yang membuatku semakin yakin jika hubungan Mas Arga dengan ibunya Arvin atau Dira itu memang istimewa.[Mas Arga, maaf aku melanggar perjanjian kita. Barusan Arvin demam dan kini dilarikan ke klinik. Dia selalu panggil nama kamu. Sudikah kamu balik Jogja lagi satu atau dua jam saja nggak apa-apa, aku takut Arvin kenapa-kenapa] Aku tak membukanya, hanya membaca lewat notifikasi di layar. Namun itu sudah cukup jelas jika Mas Arga memang terlalu peduli dengan keluarganya yang lain. Ini terlalu menyakitkan buatku. Bisa saja perempuan itu sengaja menjadikan anak-anak dan kehamilannya sebagai tameng untuk menjerat perhatian dan tanggungjawab lebih dari Mas Arga kan? Sebab selama ini dia jauh lebih memprioritaskan aku dibandingkan mereka. Atau ... sekarang mereka akan balas dendam padaku? Padahal jelas selama ini pun aku tak tahu jika Mas Arga menduakanku. Kuletakkan kembali handphone Mas Arga ke atas nakas lalu kembali ke pembar
Mas Arga terlihat biasa. Dia memintaku membuatkan kopi dan roti panggang seperti biasanya. Aku pun menurut. Berpura-pura baik-baik saja memang tak mudah, tapi aku ingin membongkar semuanya perlahan. Karena itulah aku tak ingin membuat Mas Arga curiga jika perubahan sikapku yang terlalu mencolok. Aku tahu dia mencintaiku, tapi aku juga tak paham alasan pastinya kenapa dia berani mendua. Wajar jika aku ingin menyelidikinya lebih dulu sebelum memutuskan sesuatu yang penting dalam hidupku kan? "Sudah baikan, Sayang?" tanya Mas Arga dengan senyum tipisnya, seperti biasa. Aku mengangguk sembari membalas dengan senyum lalu menarik kursi di sebelahnya dan duduk perlahan. "Alhamdulillah, aku senang melihatnya. Jadi nggak was-was saat ditinggal kerja," ucapnya lagi lalu mengusap pelan lengan kiriku. "Mas, aku boleh kerja kan? Biar nggak suntuk di rumah," ucapku lagi untuk kesekian kalinya. Mas Arga menghela napas panjang, meletakkan roti panggang ya kembali lalu menatapku lekat. Rasa deg-
Aku masih mendengarkan cerita Rita tentang kondisinya. Suami yang selingkuh dan KDRT, lebih parahnya perempuan yang merebut suaminya adalah tetangganya sendiri, karena itulah dia pindah rumah. Rita bilang hanya ingin menjaga hati dan kewarasannya. Tak ingin setiap hari bertemu dengan dua orang yang mengkhianatinya itu. Setelah menjauh, Rita merasa lebih baik, lebih ikhlas dan memasabodohkan sikap suaminya. Suami yang tinggal menghitung hari saja berstatus mantan, katanya. "Aku nggak mau tenggelam dalam sakit hati, Ren. Sekalipun cinta jika dia berdusta dan tak setia, apalagi main tangan, buat apa? Masih banyak lelaki lain yang menanti kita di luar sana. Jangan menyakiti diri sendiri, jika memang tak memungkinkan bertahan, ya lepaskan. Itu prinsipku sejak dulu sih." Aku mengangguk pelan lalu memeluk Rita yang mulai berkaca. Aku tahu ada kecewa teramat sangat di wajahnya yang manis. Kisahnya di masa lalu memang cukup menyakitkan. Mendadak kalimat panjang Rita tadi kembali terngia
[Sayang, maaf. Hari ini ada tugas penting dari kantor. Mungkin pulang malam atau menginap satu hari. Kamu nggak apa-apa kan? Baru juga sehari bertemu, sudah ada tugas tambahan. Aku janji setelah ini kita liburan. Okey?] Kuhembuskan napas panjang sembari memejamkan mata. Mungkinkah Mas Arga akan kembali ke Jogja untuk menjenguk anak lelakinya? Tapi ... bukankah tadi Rita berucap hamdalah sebab Arvin sudah membaik? Lantas mengapa Mas Arga kembali ke sana, padahal baru sehari dia di Jakarta. Apakah ada rencana lain yang dilakukan Dira untuk mendapatkan perhatian lebih dari Mas Arga? Argh! Aku nggak bisa diam saja begini. Lebih baik aku ke kantor Mas Arga sekarang, tanya apakah benar ada tugas lagi dari kantor untuknya. Jika nggak ada, kemungkinan besar dia memang pergi ke Jogja atas perintah Dira. Setelah ngobrol beberapa menit, aku pamit pulang lebih dulu. Rita sepertinya memaklumi sebab aku bilang ada urusan mendadak ke kantor. Dengan motor matic, aku kembali menyusuri jalanan men
Begitulah Mas Arga, dia masih pintar bersandiwara. Bertanya padanya tanpa bukti hanya akan dijawab dengan kalimat panjang lebar sebagai alibi. Aku akan menyelidikinya sendiri. Mungkin aku harus diam-diam ke rumah ibu untuk memergoki hubungan Mas Arga dengan Dira. Dengan begitu mereka nggak akan bisa mengelak lagi. Tapi apa alasanku pergi? Walau bagaimanapun aku harus tetap izin padanya sebab dia tetap suamiku yang kubutuhkan ridhonya. Atau paling tidak, aku sadap saja dulu hadphonenya, agar dia tak bisa mengelak lagi jika aku sodorkan bukti. [Sayang sudah makan?] Pesan dari Mas Arga kembali membuyarkan lamunan. Aku menghela napas. Entah apa yang Mas Arga harapkan, mengapa dia memilihku tapi juga memilih Dira. Kenapa tak cukup memilih satu saja diantara kami berdua. Apakah benar jika hanya aku yang dia cinta? Lantas Dira? Dia bahkan sudah memiliki dua buah hati dan kini tengah mengandung pula. Mungkinkah Mas Arga masih kekeuh bilang tak mencintai Dira jika nyatanya ada buah cinta