Menatap air yang mengalir pelan, Saski teramat menikmati. Bahkan semut yang terjebak di atas daun yang hanyut pun tak luput dari pengamatan. Namun dibiarkan saja karena Saski tahu dia tidak akan terluka. Meski kecil semut hewan yang teramat cerdas dan pandai berenang, jadi untuk apa dikuatirkan. Saski sengaja menjauh dari rutinitas dan keramaian. Tubuhnya sesungguhnya tak terlampau lelah, tapi otaknya sangat butuh asupan. Begitupun mata dan hatinya. Sekelompok ikan kecil berwarna-warni yang berenang di tepian memancing kaki Saski turun ke air. Saski merapatkan kedua telapak tangannya dan meraup beberapa. Sekedar mengamati geriknya yang seolah mengajaknya bercanda, lantas kembali dilepas.
Saski jenuh dengan semua yang didengar dan dilakukannya. Seminggu lebih berselang, namun serasa baru kemarin. Kejadian jembatan roboh itu masih jadi topik orang berbincang, terutama di kampus Saski. Sementara Rudy pun makin getol merusuhinya.
Sengaja memuaskan diri berlama-lama
Masih tertarik menyimak kelanjutannya? Tolong simpan di rak ya...btw terima kasih ya Peluk cium dariku
“Aku pulang!” teriak Sita. Tak ada jawaban. Ke mana semua orang? Apa kebiasaan di rumah ini sudah berubah? dengus Sita seraya menghempaskan bokongnya ke sofa. Pun setelah beberapa saat berselancar di dunia maya, tetap tak ada penyambutan. Gontai Sita masuk ke ruang tengah dan mendapati kakaknya duduk manis di depan televisi. Matanya melek, nyaris tak berkedip malah. Acara apa sih yang membuat kakak mengabaikanku, batin Sita kesal. Padahal jam segini pastilah liputan sore, acara kesukaan kakak sudah usai. Drama korea? Sejak kapan kakak jadi pencinta drakor? Sejauh Sita ingat justru kakaknya ini selalu mengoloknya seperti emak-emak karena menyukai drakor. Tanpa peduli sesungguhnya penyuka drakor hadir dari segala kalangan, termasuk mas dan bapak-bapak. “Tumben. Nonton apa si Kak?” sapa Sita. Namun yang ditanya tak kunjung menjawab. Penasaran Sita maju, lantas melambaikan tangan tepat di depan wajah Handy. “Eh, Sit. Udah pulang? Ga ada salam tiba-tiba nongol aja,” tegur
Handy tersenyum menatap tampang lucu adiknya yang tertidur di sebelahnya. Teringat olehnya bagaimana Sita merecokinya seharian. Meski Sita sering merepotkan dan bawel bukan main, Handy tidak pernah kesal. Justru geli melihatnya seperti itu. Handy tak bisa membayangkan andai nanti mereka sama-sama menikah dan berpisah. Dia pasti akan sangat merindukannya. Astaga! Pemikiran apa ini? Handy dibuat kaget oleh pemikirannya sendiri. “Eh? Ngapain senyum-senyum melihat tampang adikmu? Hayo! Jangan usil! Kasihan dia,” tegur mama tiba-tiba, membuat Handy makin geli. Kemudian memberi kode mamanya untuk diam dengan tampang dibuat selicik mungkin. “Kalian ini! Seharian berantem melulu,” gerutu mama. “Dia yang usil, Ma. Jangan membelanya! Dan jangan bilang Mama tidak tahu!” Handy pura-pura serius.
Rudy masih menekuni raut Saski yang terus menunduk, entah kenapa. Berusaha untuk sabar menunggu demi tidak mengganggu.“Aku harus pergi,” kata Saski tiba-tiba seraya beranjak masuk.“Ke mana?” tanya Rudy, ikut beranjak, mengekor di belakangnya.“Menyusul Rere,” sahut Saski. Tangannya sibuk meraih tas, membuka lemari dan memasukkan beberapa baju ganti.“Kapan?” Rudy bertanya lagi.“Sekarang,” sahut pendek Saski.“Ayo!” ajak Rudy enteng.“Maksudmu? Astaga! Kenapa kamu masuk kamarku?” mata Saski terbelalak, mendapati Rudy di kamarnya.
Menurut perhitungan, bulan Agustus adalah puncak kemarau. Saat di mana akan terjadi perbedaan suhu mencolok di siang dan malam sampai menjelang pagi. Berarti itu masih bulan depan, namun rasanya kok sudah seperti ini. Handy merapatkan jaketnya sambil terus menyusur sepanjang pipa air yang masuk ke rumahnya. Ah! Ketemu! Ini rupanya yang menyebabkan air tiba-tiba mati. “Gimana Han! Ketemu?” teriak mama Handy dari dapur. Dia sudah mengeluh sejak subuh tadi gara-gara tidak bisa menyiapkan sarapan. “Gimana Han?” mama Handy mengulang pertanyaannya saat dilihatnya Handy masuk rumah. “Tutup lagi pintunya Han, dingin.” “Bentar, aku cuma cari lem. Ada sambungan pipa yang terlepas. Kemungkinan justru karena debit air yang terlalu besar. Sebentar aku lem dulu, Ma.” Handy keluar lagi dengan membawa lem dan sambungan pipa. “Sudah nyala H
Handy berkali-kali membetulkan kardus bawaannya. Kardus yang terpaksa dia ambil sendiri karena kantor pusat terlambat mengirim. Beberapa pelanggan sudah mengeluh akibat keterlambatan pesanan mereka, dan mas Agung tentu tak bisa abaikan. Astaga! Nyaris saja! Dengus Handy. Apa-apaan sih cewek ini. Demi apa coba, naik motor jelalatan motong sana motong sini, lantas berhenti mendadak. Sekarang malah menghadang di tengah jalan. “Silakan berbalik lewat jalur selatan!” teriaknya. Terus dia ulang beberapa kali. “Ada apa to mbak?” seorang bapak bertanya dengan nada kesal. Mungkin jika si mbak ini tidak cantik sudah didampratnya habis-habisan. “Maaf pak, ada pohon tumbang yang menutup badan jalan. Silakan lewat jalur Selatan,” jelasnya. Benarkah? Bukannya dia datang satu arah denganku dan bapak itu, pikir Handy. Bahkan tadin
Beberapa kawan melayani customer dengan gelisah, termasuk Handy. Cuaca di luar begitu terik sementara di dalam customer mengular. Sebenarnya wajar saat sabtu seperti ini, di mana kantor justru buka layanan setengah hari. Namun entah kenapa hari ini berasa gerah sekali, meski AC sudah pol. Maya melirik mas Agung, berharap dia tanggap lantas membelikan kami es atau turun membantu melayani. Cuma sepertinya harapan tinggal harapan, mas Agung konsentrasi menyelesaikan laporan bulanan rupanya. Handy tersenyum, geli melihat tampang dan dengusan kawan-kawannya bergantian sementara senyum tetap merekah di bibir. Ini barangkali yang namanya profesionalitas. Handy makin geli melihat Maya melotot saat memergokinya tersenyum. Handy mengirim kode mau bagaimana lagi. Sampai mas Agung berdehem karena mereka tidak menyadari kehadirannya. Terbayang kan, sungguh menyiksa sepanjang bekerja diawasi pimpinan seperti ini. Itu sebabnya karyawan di kantor ini k
Malam semakin larut, namun hujan tak kunjung reda meski sudah turun seharian tanpa jeda. Memang, hujan seperti ini biasa terjadi di puncak kemarau seperti sekarang. Handy beranjak dari jendela, lantas menyeduh kopi pertamanya. Matanya tak mau terpejam meski kantuk sudah menyerang sejak dua jam lalu. Handy kembali duduk dengan secangkir kopi yang diseruputnya beberapa kali. “Siapa dia,” lagi gumamnya. Heran, kenapa aku begitu penasaran, benak Handy. Lantas, andai dia benar bisa bertemu, apa yang mau ditanyakan. “Uhk…uhk…,” Handy tersedak ampas kopi. Lama melamun membuatnya tak menyadari seruputan terakhirnya. Segera ditelannya air putih sebanyak-banyaknya. Apa sensor rasaku sudah rusak demikian parah, batin Handy. Sembari meraih ponsel dan membuka sekenanya. Banyak pesan dibiarkan begitu saja. perhatiannya kini tertuju pada satu pesan dari nomor yang belum dikenalnya
Lebih 20 tahun Handy jatuh dan bangun, dibenturkan pada berbagai keadaan dan terbiasa mencari solusi dalam segala kondisi. Muara dari segala hal, tempat mengadu dan menumpahkan segala beban, siapa lagi kalau bukan mama. Handy menyandarkan tubuhnya di pintu kamar mama. Matanya lurus menatap wajah lelah mama. Usianya yang hampir setengah abad, apalagi kini statusnya sebagai orang tua tunggal. Meski dia dan adiknya sudah beranjak dewasa. Bagaimanapun pasti tetap melelahkan. Ingin rasanya Handy membelai wajah mama atau sekedar bersimpuh di kakinya, namun kuatir justru akan membuat wanita yang sangat dikaguminya ini bangun. Handy masih menatap lama wajah mama sebelum akhirnya berbalik. Handy mengurungkan niatnya, malu pada teguran kata hatinya, rasanya tak pantas merepotkan mama untuk urusan sepele seperti ini. Kasian mama, pikirnya. “Kamu kenapa, Han?” justru mama yang melangkah mendekat. “Duduklah!” Handy pun