Share

I Fell It
I Fell It
Penulis: RieStory

Handy

Menurut perhitungan, bulan Agustus adalah puncak kemarau. Saat di mana akan terjadi perbedaan suhu mencolok di siang dan malam sampai menjelang pagi. Berarti itu masih bulan depan, namun rasanya kok sudah seperti ini. Handy merapatkan jaketnya sambil terus menyusur sepanjang pipa air yang masuk ke rumahnya. Ah! Ketemu! Ini rupanya yang menyebabkan air tiba-tiba mati.

     “Gimana Han! Ketemu?” teriak mama Handy dari dapur. Dia sudah mengeluh sejak subuh tadi gara-gara tidak bisa menyiapkan sarapan.

     “Gimana Han?” mama Handy mengulang pertanyaannya saat dilihatnya Handy masuk rumah. “Tutup lagi pintunya Han, dingin.”

     “Bentar, aku cuma cari lem. Ada sambungan pipa yang terlepas. Kemungkinan justru karena debit air yang terlalu besar. Sebentar aku lem dulu, Ma.” Handy keluar lagi dengan membawa lem dan sambungan pipa.

     “Sudah nyala Han!” teriak mama, tepat saat Handy mau bertanya. Dasar emak-emak, batin Handy seraya tersenyum. Hobi teriak.

     “Kopimu, Han. Huh pagi-pagi sudah repot gara-gara air,” keluh mama Handy meski masalah sudah teratasi.

     “Harusnya bersyukur Ma, kita masih diberi air melimpah. Kampung atas sudah mulai kebingungan cari air lo! Kabarnya sekarang digilir,” komentar Handy, menyudahi keluhan mamanya.

     “Iya, iya,” aku mamanya seraya tersenyum.

     Sejak papa tiada 2 tahun yang lalu, semua urusan rumah mulai dari selang air, sambungan listrik, bayar semua tagihan, antar jemput adiknya, sampai berangkat ronda malam, Handy yang gantikan. Sungguh mama Handy bersyukur mempunyai anak berbakti macam Handy.

     “Sita sudah siap, Ma?” tanya Handy seraya menyeka rambutnya dengan handuk.

     “Astaga! Belum mama bangunin!” Mama Handy tergopoh masuk kamar Sita, adik Handy.

     “Eh, Sit?” Mama heran melihat Sita sudah duduk di tepi kasurnya.

     “Aku udah bangun dari tadi, ma,” Sita berucap dengan bibir bergetar.

     Mama bergegas memeriksa dahi, telapak tangan dan kaki Sita.

     “Sita kenapa, Ma?” tanya Handy bersandar di pintu kamar Sita.

     “Demam. Biar dia istirahat. Kamu berangkat aja.”

     “Tidak perlu diperiksakan, Ma?” tanya Handy kuatir.

     “Nanti sore aja. Coba pakai turun demam yang ada dulu. Biasa, cuaca belakangan emang mengundang penyakit. Kamu juga harus jaga kesehatan, Han,” tutur mama.

     Handy hanya mengangguk.

     “Berangkat Ma,” pamit Handy seraya mencium tangan mamanya.

     Mama membalas dengan mencium kening Handy. Tersenyum melepas kepergian si sulung untuk mencari nafkah. Seharusnya Handy masih kuliah sekarang. Sebagai mama dia sudah bersikeras mendorong Handy untuk tetap berangkat kuliah selepas SMA. Namun Handy juga sama bersikeras untuk bekerja dulu dan menunda kuliahnya. “Handy akan kuliah dengan uang sendiri, bukan merepotkan mama,” begitu katanya waktu itu. Antara sedih dan terharu, mamanya terpaksa menuruti. “Anak baik,” gumam mama Handy.

     “Ma.” Panggilan pelan Sita membuyarkan lamunan mama. Ya, Sita memang sangat memerlukan perhatian. Sita terlahir dengan perkembangan paru-paru yang kurang sempurna. Itu yang membuatnya sering demam atau sesak napas. Namun sejauh ini tidak parah, semua masih bisa teratasi. Harapannya semoga selalu begitu. “Ya, Sit. Mama datang.” Namun sebelum masuk.

     “Bu Mar, tunggu!” Mona, tetangga depan rumahnya menghadang dengan gincu yang belum rata benar.

     “Dandan belum kelar udah koar-koar aja kamu. Ada apa?” Mama berhenti sejenak.

     “Anakmu tu ganteng bet yak! Udah punya pacar belum?” Mona bertanya sambil cengar cengir tidak jelas.

     “Lantas kalau belum kamu mau apa? Eling to Mon, udah tua!” kesal mama, segala urusan tidak penting ditanyakan.

     “Eh? Belum terlalu tua ah!” Mona membetulkan riasannya.

     “Terserah! Aku mau ngurus Sita dulu,” pamit bu Mar, demikian di kampung itu mama Handy dipanggil. Sudah lazim seorang ibu dipanggil dengan nama suami, jadi karena nama ayah Handy itu Sumardi, mamanya dipanggil bu Mar. Membuat orang lupa namanya semula, Rohana. Namun bu Mar, mama Handy sama sekali tidak keberatan. Nama orang tua dan suami sama berharga baginya, dan sebagai orang Jawa, filosofi ‘Njunjung dhuwur, mendhem jero’ selalu dipegangnya.

     “Emang Sita kenapa bu Mar?” tanya Mona ingin tahu.

     “Demam,” jawab bu Mar singkat seraya beranjak masuk. Sementara dari pagar samping terdengar protes keras Sri.

     “Bau apa ini? Gosong! Masakan siapa yang gosong?” keluh Sri seraya bergumam tak jelas.

     “Walah! Semurku!” pekik Mona.

     “La wong masak kok ditinggal ngerumpi. Kebiasaan! Lama-lama bisa bikin kebakaran tu!” tegur Sri.

     “Jangan berlebihan to! Wong ya ndak tiap hari to!” Mona masih berteriak dari dapurnya, membela diri.

     “Hampir Mon! Hampir tiap hari! Gimana mau dapat jodoh kalau seperti itu! Ngerumpi aja kerjamu!”

     “We la kok malah bicara yang tidak-tidak to yu Sri ini,” Mona masih saja menjawab. Sementara bu Mar, lawan bicara semula sudah disibukkan mengurus Sita, si bungsu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status