Share

Tak Terucap

Lebih 20 tahun Handy jatuh dan bangun, dibenturkan pada berbagai keadaan dan terbiasa mencari solusi dalam segala kondisi. Muara dari segala hal, tempat mengadu dan menumpahkan segala beban, siapa lagi kalau bukan mama. Handy menyandarkan tubuhnya di pintu kamar mama. Matanya lurus menatap wajah lelah mama. Usianya yang hampir setengah abad, apalagi kini statusnya sebagai orang tua tunggal. Meski dia dan adiknya sudah beranjak dewasa. Bagaimanapun pasti tetap melelahkan. Ingin rasanya Handy membelai wajah mama atau sekedar bersimpuh di kakinya, namun kuatir justru akan membuat wanita yang sangat dikaguminya ini bangun. Handy masih menatap lama wajah mama sebelum akhirnya berbalik. Handy mengurungkan niatnya, malu pada teguran kata hatinya, rasanya tak pantas merepotkan mama untuk urusan sepele seperti ini. Kasian mama, pikirnya.

     “Kamu kenapa, Han?” justru mama yang melangkah mendekat. “Duduklah!”

     Handy pun duduk. Lantas sedikit dipijitnya tengkuk Handy. “Capek?”

     “Apa sih Ma,” Handy merasa risih. Terbalik. Seharusnya justru dia yang memijit mamanya.       “Tidak. Kenapa emang ma?” Handy pura-pura tidak paham.

     “Hm meragukan mama rupanya,” ucap mama seraya tersenyum jahil, lantas duduk tepat di hadapannya. Kedua tangannya terulur menangkup wajah Handy. “Jangan pernah meragukan perempuan yang sudah menjadi mamamu selama lebih dari 20 tahun ini, Nak.”

     Handy tersenyum getir, terpaksa mengakui ketergantungannya pada sosok sang mama. Juga rasanya tidak akan mungkin bisa menghindar dari mamanya. Handy lekat menatap mama, mengumpulkan sisa harga dirinya untuk sebuah pengakuan. Namun sebelum Handy memberi penjelasan.

     “Tunggu! Ah! Kalau ini mama tau, pasti karena seorang cewek, ya kan? Hahaha pasti benar,” tebaknya, lantas mengerling. Dan memang tepat.

     “Begin-“

     “Oalah, ga perlu dipikir panjang. Kelamaan! Mbok ya langsung aja bilang to mas, wong dekat ini,” Mona si perawan tua mulai berulah, tiba-tiba masuk ruang tamu di mana ibu dan anak ini sedang menikmati kebersamaan mereka dan memotong seenaknya. Dia bagai kotoran yang masuk gigi bolong bagi Handy, sangat mengganggu.

     “Kamu ini lo Mon, Mon. Apa tidak ada pekerjaan lain to? Kerjanya kok ngurusi masalah orang.” Rasa keki menghilangkan senyum di wajah mama.

     “Iya nih! Orang kok gatelan!” kepala Sri menyembul tanpa diundang, sama saja.

     “La yo tentu. Urusan mas Handy itu urusanku juga!” gigih Mona menjawab.

     Handy sebetulnya sudah jengah dengan urusan emak-emak seperti ini. Tapi rasanya tidak sopan jika dia langsung balik badan, benar-benar seperti masuk jebakan.

     “Mas! Mas! Umurmu itu jauh di atas Handy. Ingat, Mon!” Sri kembali komentar.

     “Cinta itu tidak mengenal usia. Bukan begitu, mas?” Mona mengedip nakal, membuat perut Handy tiba-tiba mulas.

     “Baru membayangkan punya mantu macam kamu aja sudah mules aku, Mon,” mama menyuarakan hal yang sama.

     “Jangan gitu to,” rajuk Mona. “Kurang apa to aku. Sudah ayu, luwes, gandes, memes, bikin gemes. Ya to mas?” Mona makin melantur, lantas melenggok genit mendekati Handy. Sungguh tak tahu malu.

     “Kurang payu!” telak jawaban Sri membuat semua terkekeh, tak terkecuali Handy. Sementara wajah Mona terlihat merah padam. Namun bukan Mona namanya jika menyerah sekali hardik, melangkah mundur saat ditegur.

     “Dicoba dulu boleh kok,” Mona kembali mengedip nakal.

     “Kalau tidak cocok boleh ditukar atau kembalikan?” Handy terpaksa mengimbangi, membuat kekehan kumpulan emak-emak makin meriah.

     “Mas, anterin yuk!” Sita mengalungkan tangannya di lengan kakaknya.

     “Ih! Aku boleh ikutan gitu ga?” Mona merangsek maju ingin meniru polah Sita.

     “Hush!” kompak semua bersuara sama.

     Sementara Mona masih senyum senyum, entah apa yang dibayangkan.

     “Yuk!” Handy berdiri merangkul adiknya, berniat membawanya pergi. Segera.

     “Ih! Tumben! Biasanya mas interogasi aku macem-macem dulu. Tanya ini itu, mengajukan segala macam syarat. Ini main ayo aja,” Sita menaikturunkan alisnya, sengaja menggoda kakaknya.

     “Ga mau?” balas Handy.

     “Hehehe tentu mau kakakku sayang,” Sita terkekeh. Sita segera meloncat ke boncengan kakaknya sebelum berubah pikiran, sengaja mendekap erat tubuh kakaknya lantas melambai ke arah Mona. “Ke Bimbel kak!” komandonya sambil tertawa. Sepanjang jalan Sita terus tertawa mengingat tingkah Mona yang blingsatan tidak jelas saat dia melambai.

     Pikiran licik mampir ke otak Sita yang jadi tahu cara memaksa kakaknya untuk memenuhi permintaannya dengan cepat tanpa interogasi dan segala macam persyaratan. Bayangkan, macam jalan tol bebas hambatan. Keren kan? Sita memuji diri sendiri.

     Sebenarnya tidak jauh berbeda, Handy pun mempunyai pemikiran yang sama dengan Sita. Persis sama. dengan kesimpulan yang didapat Handy untuk menghindari interogasi mamanya. Rupanya kehadiran figuran cewek genit tidak penting macam Mona bisa juga berguna. Adik kakak itu melanjutkan canda dan tawa sampai perut mulas, juga sampai tujuan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status