Share

Saski

Langit begitu hitam, pekat oleh mendung. Petir mulai terdengar bersahutan. Banyak orang terlihat bergegas pulang. Bahkan kentara sekali ketergesaan mereka dengan seringnya klakson berbunyi. Sementara yang masih di rumah, pasti berpikir seribu kali kalau akan keluar dalam suasana begini. Tapi tidak dengan Saski. Cewek manis yang justru merasa mendapat keuntungan dengan dibubarkannya kuliah lebih awal. Tentu, dosen muda macam pak Hendra akan cepat kalah oleh rengekan beberapa mahasiswi di kelasnya yang takut hujan itu. Sementara Saski, dia masih duduk manis di taman kampus. Rutinitas yang biasa dia lakukan di waktu yang sama tiap harinya. Juga rutinitas yang tak biasa dilakukan oleh gadis seusianya, apalagi mahasiswi di kampusnya. Kampus mentereng tempatnya memperdalam ilmu ekonomi ini sarat dengan kaum borju. Meski tidak semua dari golongan mampu macam Saski. Namun rerata mereka tak peduli betapa orang tua berusaha keras membiayai, atau barangkali karena terlanjur terjebak dalam komunitas hedon kaum borju itu tadi. Juga bisa jadi karena mau dianggap sama. Namun alasan macam itu tak pernah mampir dalam pemikiran Saski, apalagi orang tuanya tak lagi bisa mendampingi.

     Saski mendongak sebentar. Sepertinya akan hujan deras, batinnya. Tapi kemudian kembali menekuni ponselnya, sesekali membuat catatan, hanya dengan satu tangan. Sementara tangan yang lain sibuk memegang apel, yang setia memberi asupan ke mulutnya.

     Duarr!!

     Suara petir kembali terdengar. Kali ini cukup dahsyat, sehingga membuatnya kaget. Nyaris membuat apel di tangannya jatuh. Tapi kemudian, lagi-lagi Saski kembali ke rutinitas semula. Sebuah motor tampak melintas, lantas berhenti tak jauh dari bangku tempatnya duduk.

     “Eh! Sas! Masih di sini?” Rudy, teman sekelasnya menyapa.

     “He eh,” jawab Saski santai. Dia hanya melirik sekilas.

     “Gila kamu! lagi ngapain si? Pulang yuk!” ajak Rudy. Kemudian mendongak,”Udah tinggal jatuhnya tu!” katanya menunjuk langit.

     “Ntar! Duluan aja! Takut ujan kan?” jawab Saski, tetap pada posisinya, tanpa menoleh. Membuat Rudy justru penasaran. Dia mematikan dan memarkir motornya. Apalagi kata ‘takut’ yang diucapkan Saski terasa sedikit menohok harga dirinya.

     Sebentar, dia sudah berdiri di depan Saski, dan menjulurkan kepalanya untuk mencuri lihat apa yang dikerjakannya.

     “Kepo!” tegur Saski, sambil menjauhkan ponsel beserta catatannya.

     Rudy menggeser tas Saski, lalu duduk di sampingnya.

     “Segitunya... tugas kuliah?” tanya Rudy penasaran.

     Saski menggeleng.

     “Penting?” selidik Rudy.

     Saski mengangguk. “Buatku, dan beberapa orang.”

     Rudy mengernyit tak paham. “Ga bisa dilanjut di kosan?” tanyanya lagi.

     “Kosan rame. Lagian dikit lagi kelar kok,”kata Saski sambil mengangkat tangannya, memberi kode Rudy untuk diam.

     Rudy hanya mengangkat alisnya sesaat, kemudian meraih ponsel di saku celananya. Melorotkan sedikit bahunya, menyamankan diri, dan bertekad menunggu Saski, sambil memainkan ponselnya. Sepuluh menit menyiksa sebetulnya.

     “Huh... selesai!” pekik Saski, seraya meregangkan ototnya. Akhirnya.

     “Yuk pulang!” kata Saski, seraya mengemasi cepat barangnya. Kalimat sama yang nyaris keluar dari mulut Rudy. Mereka segera beranjak.

     “Kamu sering ngerjain di sini?” Rudy sengaja memberi penekanan pada kata ngerjain, karena dia tidak tahu , apa sebenarnya yang dikerjakan Saski, teman cewek satu kelasnya ini. Sejujurnya tidak hanya apa yang sedang dikerjakannya sekarang, bahkan Rudy jarang sempat ngobrol banyak, apalagi sampai menunggu seperti ini.

     Maklum, Rudy yang notabene aktifis kampus, memang jarang berkumpul dengan teman sekelasnya. Apalagi untuk sekedar mengobrol. Rudy hanya akrab berteman dengan sesama aktifis.

     Saski hanya mengangguk.

     “Sendiri?”

     Saski kembali mengangguk.

     “Kamu tu aneh!” tuduh Rudy. “Kampus udah sepi loh! Apalagi para cewek. Udah pada pulang sejak tadi. Kamu kan tau tadi betapa rib-”

     “Sst,” Saski memotong penjelasan Rudy, lantas naik sadel penumpang, tanpa diminta apalagi bertanya. Rudy hanya menggelengkan kepala, segera naik dan menstater motornya.

     “Belok kanan pa kiri?” tanya Rudy saat sampai persimpangan kampus.

     “Kanan! Griya Sekar!” jawab Saski.

     Rudy mengangguk. Menuju kosan Saski tanpa bertanya lagi. Seantero kampus tahu di mana kosan cewek yang bernama ‘Griya Sekar’. Kosan yang populer karena fasilitas, dan harganya yang cukup mahal. Anehnya kosan itu tidak pernah sepi.

     “Makasih ya,” ucap Saski.

     “Tidak disuruh mampir ni?” ucap Rudy basa basi.

     Saski menggeleng. “Kamu akan terjebak lama di sini kalau tidak cepat pulang.“

     Rudy membenarkan pendapat Saski dengan anggukan. Tapi saat dia berbalik.

     “Eh! Bentar! Berapa lama kira-kira kamu sampai kosan?” tanya Saski.

     Rudy mengernyit. “Paling lama delapan menit.”

     “Oh... hati-hati! Saranku ga usah mampir!” kata Saski.

     “Ya iyalah, orang udah mulai gerimis gini kok,” sahut Rudy seraya melambai, kemudian segera melajukan motornya.

     Syukur perjalanan Rudy lancar meski ada pengendara ugal-ugalan yang nyaris membuatnya celaka. Hujan turun sangat deras, begitu Rudy memarkir motornya di teras kosan. Untung udah nyampai, batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status