Share

Sekedar Penasaran?

Malam semakin larut, namun hujan tak kunjung reda meski sudah turun seharian tanpa jeda. Memang, hujan seperti ini biasa terjadi di puncak kemarau seperti sekarang.

     Handy beranjak dari jendela, lantas menyeduh kopi pertamanya. Matanya tak mau terpejam meski kantuk sudah menyerang sejak dua jam lalu. Handy kembali duduk dengan secangkir kopi yang diseruputnya beberapa kali. “Siapa dia,” lagi gumamnya.

     Heran, kenapa aku begitu penasaran, benak Handy. Lantas, andai dia benar bisa bertemu, apa yang mau ditanyakan.

     “Uhk…uhk…,” Handy tersedak ampas kopi. Lama melamun membuatnya tak menyadari seruputan terakhirnya. Segera ditelannya air putih sebanyak-banyaknya. Apa sensor rasaku sudah rusak demikian parah, batin Handy. Sembari meraih ponsel dan membuka sekenanya. Banyak pesan dibiarkan begitu saja. perhatiannya kini tertuju pada satu pesan dari nomor yang belum dikenalnya.

     Benar ini Handy?

     Hanya itu isi pesannya.

     Ya. Ini siapa?

     Terampil jari Handy menjawab. Tidak ada balasan. Handy memutuskan menunggu. Namun mata Handy mengatup rapat kala lewat tengah malam, hingga dering weker membangunkannya. Meski mata masih enggan terbuka, otak Handy segera terjaga. Reflek pertama yang dia lakukan, meraih dan menelusuri pesan ponselnya. Handy tersenyum, dengan penuh harap dibukanya balasan dari nomer yang tidak dikenalnya.

      Aku Edwin, teman SD. Ingat? Kita selalu ngangkot bareng kalau berangkat dan pulang sekolah dulu. Rumahmu melewati rumahku.

     Handy mendengus. Toh dibalasnya juga.

     Ah, ya. Aku ingat. Apa kabar?

     Sebentar kemudian mereka terlibat berbalas pesan meski Handy tidak antusias. Astaga! Handy tersenyum kecut mengakhiri percakapan mereka. Sudah pagi.

     Sempoyongan Handy menggapai motornya pagi itu.  Menstaternya dan melesat sesuai hapalan kepala. Meski tak melewatkan mencium tangan mama. Sita belum berangkat, meski demamnya sudah turun. Barangkali besok.

     “Woii! Jalan punya mbahmu apa!” teriak seorang bapak muda. Handy mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya hanya tersenyum menanggapi. Bapak muda itu masih memaki penuh emosi. Handy sungguh tak peduli. Kepalanya terasa berat dan matanya setengah terpejam. Orang-orang yang lalu lalang serasa berbayang dan tidak tegak berjalan.

     Apalagi ini? Seorang emak-emak menghadang jalannya.

     “Matamu bener-bener ndak beres, Mas! Aku udah kasih sen kiri masih mok sasak juga!” dengan logat jawanya yang kental emak-emak ini memaki dan memelototinya. Serem betul. Dalam kondisi waras Handy pasti sudah beribu kali minta maaf dan ambil langkah seribu. Namun lagi-lagi Handy hanya tersenyum menanggapi.

     “Eit dah! Bro! Sabar napa. Pasang standar motormu yang bener, baru tinggal. Bisa rubuh semua motor di sini ntar,” Setyo, temannya mengingatkan. Lagi-lagi Handy nyengir. Handy segera masuk kantor setelah susah payah memarkir motornya dengan benar.

     “Kamu baik-baik saja Han?” mas Agung menatap tajam.

     “Oh iya Mas, gapapa,” Handy menjawab.

     Mas Agung hanya mengangguk. Briefing selesai. Mereka siap di posisi.

     Satu pelanggan pergi dengan memaki. Handy menelan susah payah air minumnya.

     “Eh Mbak Nina, mari,” Handy mempersilakan antrian kedua. Kebetulan mbak Nina, salah satu pelanggan setia mereka.

     “Biasa Mas, kartu nama,” mbak Nina tersenyum menyambut sapaan, sekaligus menyampaikan maksudnya. Ya memang, itu sudah biasa. Mbak Nina biasa order apapun di kantornya, terutama kartu nama.

     “Siap Mbak,” Handy menjawab mantap.

     Belum sampai 30 menit mbak Nina bermain ponsel, Handy keluar menyodorkan sekotak kartu nama.

     Senyum mbak Nina yang mengembang saat menerima kartu, pias seketika. “Lo? Ini alamat siapa?”

     “Apa Mbak? Coba aku lihat,” Handy mengambil alih kartu mbak Nina.

     “Astaga! Kok bisa ya? Maaf Mbak, sebentar aku ganti,” Handy tersenyum tidak enak. Segera berbalik untuk mengulang pekerjaannya.

     “Han!” mas Agung memanggil. Hati Handy mulai tidak enak.

     “Ada apa?” tanya mas Agung.

     “Eh anu Mas, Saya salah mengerjakan order mbak Nina,” Handy tak berani menatap mata mas Agung.

     “Memangnya order apa?” mas Agung bertanya lagi.

     “Kartu nama, Mas,” Handy semakin merasa bersalah.

     “Kartu nama? Hanya itu?” tanya mas Agung. Handy mengangguk.

     “Maya!” panggil mas Agung. Lantas menoleh. “Sudah. Pulang sana! Biar dikerjakan Maya.”

     Handy pulang dengan gontai. Ini yang pertama dan terakhir kali, janji hatinya. Rasa bersalah dan malu saling menghina dalam dirinya, menepis rasa kantuk yang sedari pagi mendera. Handy benar-benar menyesali kebodohannya.

     Pintu diketok.

     “Buka Han!”

     “Ya, Ma.” Terpaksa Handy beranjak meski malas. “Handy? Handy sayang, aku bikin sop ayam lauk ayam goreng hari ini. Cicipi ya?” Mona menerobos masuk dengan senyum genitnya.

     Reflek Handy mundur beberapa langkah. ”Eh tante,” jawab Handy gugup.

     ”Kok tante sih. Mbak dong! Umur kita hanya terpaut beberapa tahun lo!” Mona mengerling. Terdengar kekehan Sri dari rumah sebelah.

     “Eh iya, mbak. Maaf,” jawab Handy masih saja gugup. “Dan terima kasih juga. Nanti saya bilang mama.”

     “Tapi aku bikin ini khusus untuk kamu lo!” Mona pura-pura merajuk. Huh! Komplit sial hari ini, dengus Handy. “Iy iya mbak. Baik. Em kalau tidak keberatan, aku sedang banyak tugas-“

     “Ngusir ya?” manyun mulut Mona dibuat-buat. Namun tak sadar kakinya melangkah menuju pintu. Kesempatan, pikir Handy. Didorongnya pelan tubuh Mona, sambil berucap, ”Sekali lagi terima kasih banyak mbak.” Lantas segera menutup pintu. Handy menarik napas panjang, lega. Barangkali Handy benar tersihir karena sebentar kemudian fasih jarinya mulai mengais informasi dari gawainya, meski kemungkinan ketemu satu banding semilyar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status