Share

Bab 3 - Malam Pertama Bersama Suami

“Kami suami-istri, Pak,” sahut Steven menggantikanku.

Aku segera melirik kembali ke arah spion. Memicingkan kedua mataku, ingin melihat reaksi pak sopir setelah Steven memberi jawaban.

Pria paruh baya itu mengangguk-angguk kecil. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya. Kalaupun ada, hanya sedikit. Tidak berlebihan.

“Saya pikir Neng ini kakaknya, Bang...,” ucap pak sopir. “Menikah dengan jarak usia satu atau dua tahun dengan wanita yang lebih tua tidak jadi masalah sih, Bang,” tambahnya lalu tertawa cekikikan.

‘Apa?! Tidak, tunggu...’

Aku sebenarnya agak kesal dengan apa yang dia bicarakan. Topik pembicaraannya memang kurang sopan. Terlalu bersifat privasi. Tapi..., satu sampai dua tahun? Apa jarak usia kami hanya terlihat sejauh itu?

Aku tertawa. ‘Terlihat 1-2 tahun kan ya? Yuhu... Syukurlah tidak seburuk yang kukira.’

Pak sopir sampai menoleh padaku, terkejut saat aku tiba-tiba saja tertawa.

“Maaf Neng kalau ternyata seumuran atau Neng-nya lebih muda. Hehe...”

“Apa terlihat seperti itu, Pak?” Tanyaku dengan penuh semangat sebelum akhirnya tertawa lagi.

“Maaf Neng. Maklum sudah tua, mata bapak sudah agak rabun...”

Tawaku sirna seketika.

'An…akonda. Jiaahhh... si bapak... Aku sudah melayang tinggi malah ditarik jatuh seketika. Jadi karena mata rabun tidak bisa melihat perbedaan usia kami yang sangat jauh ya? Hhh... Ternyata bukan karena aku terlihat awet muda.’

Aku tertarik untuk menoleh pada Steven, saat merasa kalau dia sedang menatapku. Bukan hanya menatapku, dia ternyata sedang tersenyum juga.

‘Haiss... Jangan tersenyum terutama untuk mengejekku! Kau tidak tahu kalau senyummu itu… Ah sudahlah!’

Saat aku mengernyitkan kedua alisku, Steven buru-buru mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana, lalu mendekatkan ponselnya padaku.

Aku membaca tulisan “Anda memang terlihat awet muda,” di layar ponselnya.

Setelah mendelik padanya selama beberapa saat, aku pun mengambil ponselku juga lalu menunjukkan balasanku padanya, “Tidak usah menghiburku.”

Berikutnya dia membalas agak panjang, “Saya tidak sedang menghibur, apalagi berbohong. Jujur, saat saya melihat foto Anda, saya kira Ibu Anda membohongi saya tentang usia Anda. Dan saat saya melihat Anda untuk pertama kalinya, saya tidak percaya jika Anda terlihat jauh lebih muda lagi dibandingkan yang ada di foto.”

‘Omong kosong! Hahaha... Huft… rayuan lelaki.’

Aku menyimpan kembali ponselku, tidak berniat membalas pujian Steven yang kuanggap hanyalah bualan kosong seperti yang sering para lelaki hidung belang ucapkan padaku. Aku kemudian melirik sebentar pada pak sopir melalui kaca spion, ―dia sedang senyum-senyum sendiri. Sepertinya dia memperhatikan interaksi yang aku dan Steven lakukan.

Aku kemudian memalingkan wajah, memerhatikan kendaraan yang berlalu-lalang dari balik kaca mobil di sebelah kananku.

Anehnya aku kembali ingat dengan apa yang baru saja Steven katakan, dan itu membuatku tidak bisa menahan senyum. Mungkin saja itu caranya untuk mencairkan suasana di antara kami agar bisa dekat denganku, dan pujian itu cukup membuatku sangat terhibur. ‘O... ow...’

Rasa takut akan terlihat berbeda jauh saat sedang jalan berdua dengannya, ―yang selama beberapa hari ini menghantuiku, agak sedikit berkurang.

‘Hah? Kenapa aku malah terbujuk oleh kata-katanya?!’

***

Steven memerhatikan keseluruhan tampak luar rumah sederhana kami selama beberapa saat, lalu tatapannya berhenti agak lama pada teras sebelum akhirnya mengikutiku masuk ke dalam rumah.

Rumah kami memang masih belum direnovasi. Rumah tipe 36 yang bahkan hanya memiliki teras seukuran 1x3 meter. Entah apa yang developernya pikirkan saat membuat teras seukuran itu. Mungkin, jika ukuran 1x2 meter tidak mirip seperti sebuah kuburan, mereka akan membuatnya seukuran itu.

Aku mempersilahkan Steven duduk di sofa bulu, satu dari dua perabotan yang ada di rumah kami yang kesemuanya kubeli secara kredit.

“Kau lebih suka teh atau kopi?” Tanyaku pada Steven setelah menunggunya meletakkan tas ransel besar yang terlihat sangat berat itu, juga kantongan plastik yang ditentengnya di lantai.

Entah apa isi plastik itu, yang pasti kuharap bukan makanan khas daerahnya. Bukannya aku tidak suka makanan khas daerah lain, tapi makanan itu mungkin sudah basi setelah tertutup dalam plastik seharian.

Steven menatapku dengan mulut sedikit terbuka, seperti orang kebingungan saat mendapatkan pertanyaan yang agak berat untuk dimengerti.

‘Apa di kampungnya teh dan kopi disebutkan dengan bahasa yang berbeda?’

“Air hangat saja,” sahut Steven akhirnya.

“Ok...”

‘Itu lebih baik. Aku jadi tidak perlu repot.’

“Apa saya boleh ke kamar mandi?” Tanyanya lagi.

Aku menatap wajahnya yang mengkilap dipenuhi keringat kering bercampur debu.

‘Ah... Dia pasti gerah karena pertama kalinya ke Jakarta, kan? Pantas dia tadi menatapku seperti itu. Apa dia masih merasa sungkan?’

“Tentu. Kamar mandi ada di sana.” Aku menunjuk salah satu dari 4 pintu yang ada di rumah kami. Bagi yang pernah tinggal di rumah tipe 36 pasti tahu, hanya ada 4 pintu di rumah tipe tersebut. Pintu depan, pintu kamar, pintu kamar mandi, dan pintu menuju halaman belakang.

Aku memerhatikannya mengeluarkan handuk dan pakaian dari dalam kantongan plastik, lalu mengikutinya ke kamar mandi, ―tentu hanya dengan tatapan mataku saja.

Terlihat jelas dia agak kaget saat membuka pintunya. Entah karena kamar mandinya yang hanya seukuran 1,5x2 meter atau karena ini adalah pertama kalinya dia melihat sebuah kamar mandi. Dari cerita-cerita orang tentang penduduk Kalimantan yang pernah kudengar, mereka masih mandi di sungai. Jadi kupikir dia baru kali ini melihat kamar mandi.

‘Hmmm... Tadi dia kan menanyakan tentang kamar mandi, jadi dia pasti punya juga di rumahnya.’

Setelah Steven masuk, aku mulai menuangkan air panas ke dalam gelas, dengan takaran yang lebih banyak, sebelum menambahkan air dingin. Berharap air minum itu tidak dingin setelah Steven selesai mandi. Aku kemudian membawanya ke sofa, lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja kaca di depan sofa.

Tatapanku kemudian tertuju pada kantongan plastik tempatnya tadi mengambil pakaian, lalu menatap ransel besar seukuran tubuh manusia yang tanpa tangan, kaki, dan kepala. Keduanya membuatku penasaran.

‘Kalau pakaiannya ada di kantong plastik, lalu apa isi ransel besar ini? Kenapa dia tidak menaruh pakaiannya di dalam ransel saja?’

Aku menatap ke pintu kamar mandi sebentar, lalu mendekati kantong plastik yang Steven letakkan di lantai, di dekat tas ranselnya, kemudian menyentuh kantongan plastik itu dengan ujung jemariku lalu menekan-nekannya. Dari kelembutannya, aku bisa menebak kalau isi tas plastik ini hanya pakaian.

“Hmmm...”

Aku malah penasaran juga dengan isi tas ranselnya.

Aku menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat, lalu menatap tas ransel lagi.

‘Tidak. Ini tidak benar.’

Aku menyandarkan tubuhku ke sofa dan duduk diam beberapa saat.

Setelah mendengar suara air berjatuhan ke lantai kamar mandi, barulah aku mendekati tas ransel Steven lagi.

‘Benar... Inilah saatnya kalau mau memeriksa.’

Aku meraih ritsleting dan menariknya perlahan sembari terus menatap ke pintu kamar mandi. Mengawasi seandainya Steven tiba-tiba membuka pintu tersebut.

Setelah kurasa tasnya terbuka cukup lebar, barulah aku memalingkan wajah dan memeriksa isinya.

“Astaga!”

Aku melepaskan tas itu secara refleks.

Tubuhku juga ikut mundur menjauh dengan refleks setelah melihat apa yang ada di dalam tas.

Dengan jantung berdebar kencang akibat adrenalin yang meningkat, aku akhirnya menghampiri tas itu lagi untuk memastikan apa yang baru saja kulihat, dan benar saja. Ada sepucuk senjata api, HP model lama, dan sebungkus rokok di dalamnya dan... Aku membuka tas itu lebih lebar lagi, menggali-gali isinya untuk memastikannya lebih jauh.

Selain benda-benda tadi, yang diletakkan di bagian atas, ransel itu hanya berisi bergepok-gepok uang seratus ribu yang masih tersegel per sepuluh juta, dan tersusun dengan sangat rapi.

MeowMoe

Follow I6 ku juga ya, nanti di folback @_meowmoe_ Terima kasih sudah mengikuti novel ini. Dukung terus dengan memberi Vote, tinggalkan komentar dan Rate. Thank you (^^)

| 2
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Bika Ambon
yoi kak wkwkwk authornya pendiam jd di bantu balas
goodnovel comment avatar
MADA
seru novelnya
goodnovel comment avatar
Bagus Wibowo
gas poooll
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status