Terima kasih sudah membaca... Dukung terus ya... (^^)9
Selama kami berada di rumah Pak RT, Steven berbicara jauh lebih banyak dariku, ―sementara aku sendiri menghabiskan lebih banyak waktu hanya untuk mendengarnya berbicara dan mengaguminya. Dia bisa mengimbangi topik pembicaraan apa pun dengan sangat baik, bahkan saat Pak RT yang sudah berusia hampir 70 tahun itu mengajaknya berbicara tentang zaman setelah era kemerdekaan yang tidak kutahu dan tidak kumengerti sama sekali. ‘Benar-benar di luar dugaanku. Berapa sih umurnya?’ “Teh-nya Neng…” Aku hampir melompat kaget saat Bu RT tiba-tiba muncul di sampingku dari dalam ruang keluarga mereka. Aku mengangguk dan tersenyum malu sembari menerima teh yang Bu RT suguhkan padaku. Bodohnya aku tadi dengan lancang dan tanpa sengaja menolak kopi yang ia buatkan hanya karena aku tidak menyukai kopi manis dan berampas. Untung saja Steven pandai mencari alasan hingga Bu RT bisa mengerti dan memakluminya ―bahkan dia merasa bersalah karena menghidangkan minuman tanpa bertanya terlebih dulu padaku. A
Steven juga membantu mencuci semua piring dan peralatan memasak kotor setelah kami selesai makan malam. Seperti yang dikatakannya tadi, dia mengerjakannya seakan itu memang hal yang sudah biasa dilakukannya. Aku tidak melihat adanya niat tersembunyi dari apa yang ia lakukan, ―dia bukannya ingin terlihat baik dimataku. Karena terlalu fokus memperhatikan punggung lebar Steven yang tampak kokoh di balik t-shirt ketatnya, hasratku tiba-tiba naik tanpa kusadari. Di saat yang bersamaan aku juga bisa merasakan basah di area dekat pangkal pahaku, bersama dengan perasaan gelisah yang tiba-tiba saja muncul, ―aku sudah melakukan kesalahan karena terlalu lama menatapnya! Aku buru-buru masuk ke dalam kamar, menutup pintunya rapat lalu duduk di ranjangku untuk menenangkan kembali keinginan memalukan yang muncul secara tiba-tiba itu. Tapi melarikan diri ke dalam kamar seperti ini sama sekali tidak membantu. Justru sebaliknya, berada di kamar seperti ini, di atas ranjang kami, malah membuat keingina
Aku baru terbangun saat alarm di ponselku berbunyi. Setelah mematikannya, aku berbalik, ingin tahu apakah Steven tidur bersamaku atau tidak, ―dan aku tidak melihatnya ada disampingku. Kami tidak melakukannya tadi malam. Steven tidak datang menghampiriku sampai aku akhirnya tertidur. Walaupun harga diriku sedikit hancur, namun aku tidak mempermasalahkannya. Aku tahu pasti ada yang dipertimbangkannya hingga ia masih tidak mau melakukannya, atau mungkin karena aku tidak mengatakan kalau aku menginginkannya secara jelas hingga ia ragu untuk melakukannya. Yang terpenting aku sudah memberinya izin dan aku juga sudah tahu kalau dia tampak tertarik pada tubuhku. Aku melihatnya dengan sangat jelas saat duduk di sebelahnya tadi malam. “Pagi...,” sapaku pada Steven yang sedang sibuk dengan laptopnya. “Pa...gi...,” sahut Steven. Terlihat jelas kalau dia tampak takjub memandang tubuh dibalik gaun tidurku yang lumayan transparan. Aku mengalihkan tatapanku ke meja makan, ―sengaja ingin membiark
Aku menyentuh pelan bibirku. Mengingat kembali bagaimana Steven melumatnya dengan lembut sebelum memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. ‘Apa begitu caranya berciuman?’ Sebelum hari ini, aku benar-benar belum pernah melakukannya sama sekali. Baik itu hanya sebuah kecupan di pipi, kening, terutama di bibir. Jadi selama kami melakukannya tadi, aku hanya diam dan mempelajari cara dia melakukannya. Aku benar-benar seperti seorang perawan tua yang tidak berpengalaman. Jadi apa yang dikatakan teman-teman ibu tiriku sebenarnya tidaklah salah. 'Apa dia sudah sering melakukannya? Dia sepertinya sudah sangat―' “Neng?” Aku baru tersadar dari lamunan saat sopir taksi memanggilku. “Ya, Pak?” “Kita sudah sampai.” Aku melihat ke luar jendela dan kaget karena gedung kantorku sudah berada di sana, padahal seingatku kami baru berkendara beberapa menit saja. “Oh... Ma-maaf... terima kasih, Pak.” Dengan perasaan malu aku segera turun dari taksi dan berlari kecil menuju pintu utama gedung kantorku.
“Pak Jo, kalau surat peringatan saya sudah dibuat, tolong print dan serahkan pada saya. Anda juga bisa mengirim masternya ke e-mail saya.” Jo Bastian melirik pada Carlos, seakan sedang meminta izin pada atasannya itu untuk mengerjakan apa yang kuminta. Aku tidak memedulikan interaksi mereka dan langsung pergi meninggalkan Jo yang tampak serba salah. Begitu keluar dari dalam ruangan, aku mengambil ponsel, mengecek perekam suara yang masih aktif, lalu menaruhnya kembali ke dalam saku jas ku. Aku masih mengaktifkan perekam suara itu, tahu kalau Carlos yang tidak suka diabaikan itu pasti akan mengejarku. Dan seperti yang kuduga, Carlos mengejar dan langsung menghampiriku. “Apa Anda marah karena saya mengabaikan Anda?” tanya Carlos yang kemudian menyeringai sambil berjalan di sebelahku. Aku mengabaikannya dan terus berjalan untuk kembali ke ruangan divisiku. “Maaf, saya cuma ingin Anda tahu rasanya diabaikan,” ucapnya lagi. ‘Siapa yang mengabaikan siapa?’ Aku tidak memedulikannya da
Ruangan divisiku mendadak sunyi sepi tepat setelah aku membuka pintu, ―padahal aku jelas-jelas mendengar suara berisik orang-orang yang sedang asik mengobrol saat aku masih berada di depan pintu barusan. Hebatnya lagi, tidak ada satu pun dari 30 karyawan yang berada di dalam ruangan yang tidak sedang berada di meja kerja mereka. Setelah memastikan kalau tidak salah masuk ruangan, aku menoleh ke arah pintu yang baru kulewati. ‘Apa aku masuk ke dunia lain melalui pintu ini? Atau mereka bisa terbang?’ Tahu kecerdikan mereka, aku hanya bisa tersenyum pahit dengan hati mendongkol. ‘Para bedebah ini...’ Walau aku agak kesal dengan gosip terang-terangan yang mereka bicarakan di grup obrolan, aku sebenarnya tidak terlalu ambil pusing. Para karyawan Divisi Produksi yang bekerja di bawahku ini memang sangat suka bergosip di grup obrolan, namun mereka juga sangat bertanggung jawab pada pekerjaan. Bagaimanapun rasa cinta mereka akan gosip, saat ada salah satu rekan yang tiba-tiba membahas pe
Aku meminta pak sopir menurunkanku di sebuah toko elektronik yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari rumahku. Ingat kalau uang yang berada di lemari pakaian mungkin tidak aman, aku membeli kamera CCTV portable berukuran kecil yang bisa ditaruh di tempat-tempat tertutup dan tidak mencolok. Kameranya juga sangat simpel dengan tangkapan kamera yang akan terhubung langsung ke ponselku selama 24 jam dan tidak repot dalam penginstalannya. Setelah membeli 6 CCTV portable, aku juga mampir ke toko pakaian khusus wanita yang berada tak jauh dari toko elektronik itu untuk mencari beberapa lingerie. Aku memilih lingerie berbahan tipis yang jauh lebih transparan dari gaun tidurku dan yakin kalau Steven tentu akan senang melihatku memakai pakaian yang kupilih ini. “Gila. Kenapa aku malah jadi seperti ini?” Aku bergumam sambil memperhatikan kantongan belanjaanku. Akal sehatku baru kembali saat aku sudah membeli semuanya, ―atau karena aku memang menginginkannya? Setelah membeli semua barang ya
Aku masih terus berusaha melepaskan diri dari Carlos sambil berteriak meminta pertolongan. Sialnya, jalan pintas ini memang sangat sepi pada jam-jam ini, hingga tidak ada satu pun orang atau kendaraan yang melintas. “Carlos! Kau tahu kau pasti akan masuk penjara kalau aku melaporkanmu, kan?!” “Penjara? Ku rasa tidak akan sejauh itu." "A-apa?! Apa maksudmu?" Sambil menarikku pergi, Carlos tertawa terbahak-bahak. "Kau pikir aku tidak tahu kalau kau sedang mengumpulkan banyak bukti untuk bisa membuatku dikeluarkan dari perusahaan?” “Bagaimana kau―” “Aku memasang CCTV portable di ruanganmu,” potong Carlos sebelum akhirnya tertawa puas. “Brengsek!” Sambil terus berteriak, aku juga berusaha menahan tubuhku di pintu mobil dengan kedua kakiku saat Carlos berusaha mendorongku paksa agar masuk ke mobilnya. Melihat usahanya gagal karena aku terus berusaha bertahan sekuat tenaga, Carlos akhirnya mengambil sebilah pisau dari balik saku jaketnya lalu mengancamku. “Masuk atau kau akan mati