Dukung terus dengan memberi Vote, tinggalkan komentar dan Rate untuk membantu author semangat menulis ya... Thank you (^^)
“Hore… pesawat… pesawat…” Sorak Chloe bertepuk tangan begitu kami tiba di bandara. Saat ini kami sekeluarga akan bepergian ke kampung halaman Steven, tentu saja ke Kota Green Borneo yang menarik hati —kami memang sering sekali ke sana. Jika ku hitung-hitung, hampir setiap minggu kami pergi ke kota itu, terutama karena aku sangat menyukai rumah panggung yang ada di sana. Omong-omong soal rumah panggung, ayahku dan ibu tiriku sudah dua tahun ini tinggal di rumah yang dihadiahkan ayah mertuaku untuknya. Yah, ayahku memang sangat pemaaf, ia tetap mencintai istrinya walaupun dulu pernah menyakitinya. “Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, kita harus membuka hati untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menyesali perbuatannya,” kata ayahku kala itu ketika aku merasa bingung bagaimana harus bersikap pada Camila yang merupakan ibu tiri sekaligus ibu mertuaku juga karena dia adalah ibu kandung Steven. Steven sendiri tidak terlalu memedu
“Apa kabar, Ayah?” tanyaku pada ayahku yang sedang mengajari Chloe memasang umpan di mata pancingnya. “Seperti yang kau lihat, keadaan ayah luar biasa baik,” jawabnya sembari merentangkan kedua tangan dan memintaku datang mendekat untuk memeluknya. “Bagaimana denganmu, apa kau tidak lelah melakukan perjalanan jauh dengan perut besar seperti ini?” “Aku memang sedikit lelah, tapi aku juga merindukan kalian. Mulai minggu depan hingga waktu lahiran tiba, aku akan istirahat dan tidak berkunjung ke sini untuk sementara waktu,” jelasku padanya. Hanya itu yang kami bicarakan karena Chloe sudah memintanya lagi untuk melanjutkan mengajarinya memasang umpan di mata pancing. “Itu cacing, kan? Apa tidak ada umpan buatan? Kalau tidak salah aku pernah melihat orang menjual umpan buatan,” protesku merasa geli melihat cacing yang Chloe pegang dengan berani. “Bagaimana kami bisa membelinya? Kau pikir Olly dan keluarganya membuka toko perlengkapan memancing di sini?” sahut ayahku sembari melambaikan
“Cuma dia pria terbaik di antara banyaknya pria yang mendekatiku,” jawab Nina malu-malu. Aku ingat siapa Adrian, pria yang akhirnya berhasil memikat hati dan menikahi Nina. Dia adalah pria yang pernah Nina acuhkan dulu saat beberapa kali berkunjung ke rumah ayahku. Meskipun pernah diabaikan oleh Nina selama hampir dua jam, ternyata perasaannya pada Nina tetap tidak berubah. Aku benar-benar tidak menyangka jika Adrian masih menyimpan perasaannya pada Nina selama bertahun-tahun, dia memang luar biasa gigih. ‘Hmmm… Steven juga sama seperti itu, menyimpan perasaan selama bertahun-tahun.’ Adrian adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga pria yang mandiri dan sudah memiliki pekerjaan begitu ia lulus dari kuliahnya, pria kantoran pada umumnya. Nina dulu menganggap Adrian sangat kurang dalam hal ketampanan, tapi jika diperhatikan sungguh-sungguh sebenarnya Adrian pria yang manis, bersih, juga rapi. “Lagian memang karena Kak Steven yang selalu berhasil membuka tipu muslihat pria-pria lainn
“Hais… bisakah tidak mengatakannya selantang itu?” protesku pada Bertha. Bukannya aku pelit, hanya saja pertanyaannya tadi membuat sekumpulan ibu-ibu penggosip yang sejak tadi sibuk menjelek-jelekkan salah satu teman mereka —yang sepertinya sedang tidak berkumpul dengan mereka—, sekarang menoleh ke arahku. Bertha dan Karin tertawa terbahak melihat reaksiku, aku tahu mereka sengaja melakukannya karena merasa sedikit kesal dengan obrolan ‘tinggi’ ibu-ibu sosialita itu, terutama saat membicarakan teman mereka yang sepertinya hidup dalam kesusahan. “Kalau begitu akan saya panggilkan manajer di sini untuk memberikan pelayanan spesial untuk Anda, Nyonya,” kata Nayla, berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arahku sebelum beranjak pergi menuju meja pemesanan. ‘Mereka semua gila, aku kan belum bilang bawa atau tidak, malah sudah seyakin itu,’ aku menyesap air kelapa murni yang ada di depanku. Tidak lama sang manajer datang bersama dengan Nayla dan membawakan daftar menu eksklusif kepada kam
Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.
“Ma, Keysa tidak suka pria ini. Dia terlalu muda, Ma... Apalagi pekerjaannya tidak jelas!” Rengekku pada Camila, ibu tiriku. Dia memaksaku menikah dengan sembarang pria sesuai kemauannya hanya karena merasa malu pada teman-teman dan tetangga yang sering menyindirku karena aku belum menikah juga di usiaku yang sudah menginjak 36 tahun. “Sampai kapan putrimu mau hidup sendiri Jeng? Malu loh dikatai perawan tua terus sama teman-teman kita.” Kalimat sindiran itu hampir berulang kali terdengar dari Bu Imah, tetangga sebelah rumah kami. Sialnya lagi… Bu Imah hanya salah satu contoh dari sekian banyak penggosip yang tak pernah lelah membicarakan kehidupanku. Masih ada Bu Devi, Bu Siti, Bu Rosa dan banyak lagi. Mereka selalu membicarakan hal yang sama berulang kali, dan pada akhirnya membuat ibu tiriku juga turut menyindirku setiap hari. Sampai pada suatu saat, teman-teman bedebahnya itu membawa foto beberapa pria yang juga sedang mencari istri untuk dijodohkan padaku. Totalitas sekali kan
Garis takdir sering kali tidak berjalan sesuai keinginanku walau aku sudah berusaha mengikuti ke mana arah angin. Maksudku…, angin takdir yang diarahkan oleh ibu tiriku. Awalnya aku tidak ingin dipaksa menikah. Aku tidak peduli pada usiaku yang sudah 36 tahun dan masih belum juga menikah. Aku memang sudah tidak berencana untuk menikah. Aku ingin hidup bebas. Untuk itulah aku menyisihkan uang gajiku yang sudah banyak dipotong sana-sini. Aku menabung sedikit demi sedikit untuk menikmatinya suatu saat nanti. Aku ingin menggunakan uang tabunganku untuk berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat indah yang selama ini hanya pernah kulihat melalui Youtube. Jangankan kepikiran menikah. Aku bahkan baru pernah berpacaran 2 kali dan semuanya berakhir kurang dari 1 minggu. Luar biasa bukan? Kekangan. Sikap posesif. Yah..., bisa dibilang karena itulah yang membuatku tidak senang menjalin hubungan dengan pria. Bahkan dengan siapa saja yang memiliki sikap seperti itu. Apa yang kualami di dalam
“Kami suami-istri, Pak,” sahut Steven menggantikanku. Aku segera melirik kembali ke arah spion. Memicingkan kedua mataku, ingin melihat reaksi pak sopir setelah Steven memberi jawaban. Pria paruh baya itu mengangguk-angguk kecil. Tidak ada ekspresi terkejut di wajahnya. Kalaupun ada, hanya sedikit. Tidak berlebihan. “Saya pikir Neng ini kakaknya, Bang...,” ucap pak sopir. “Menikah dengan jarak usia satu atau dua tahun dengan wanita yang lebih tua tidak jadi masalah sih, Bang,” tambahnya lalu tertawa cekikikan. ‘Apa?! Tidak, tunggu...’ Aku sebenarnya agak kesal dengan apa yang dia bicarakan. Topik pembicaraannya memang kurang sopan. Terlalu bersifat privasi. Tapi..., satu sampai dua tahun? Apa jarak usia kami hanya terlihat sejauh itu? Aku tertawa. ‘Terlihat 1-2 tahun kan ya? Yuhu... Syukurlah tidak seburuk yang kukira.’ Pak sopir sampai menoleh padaku, terkejut saat aku tiba-tiba saja tertawa. “Maaf Neng kalau ternyata seumuran atau Neng-nya lebih muda. Hehe...” “Apa terlihat