Share

Bab 5 - Dibutakan Uang

Setelah keluar dari kamar mandi, mataku langsung tertuju pada Steven yang sedang duduk di sofa. Terlihat jelas kalau dia sedang menungguku di sana. Tapi aku baru menghampirinya 20 menit kemudian, setelah selesai mengeringkan rambutku yang cukup panjang.

“Maaf sudah salah menilaimu,” ucapku pelan.

Aku duduk mengambil tempat di dekatnya. Sebenarnya tempat terjauh, karena sofa kami tidaklah panjang. Hanya satu baris sofa yang muat untuk 3 orang. Steven duduk di ujung dan aku duduk di ujung lain.

“Tidak masalah. Saya juga ingin meminta maaf karena terlalu ceroboh.”

Aku tersenyum kaku, lalu melirik pada tumpukan uang di atas meja. Aku sebenarnya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah tumpukan uang itu sejak tadi. Tumpukan uang yang hampir tidak memberikan ruang kosong sama sekali pada meja kaca berukuran 0,5x1,5 meter di depan kami.

“Jadi... apa maksudnya ini?” Mataku masih tertuju pada tumpukan uang.

“Saya minta maaf karena tidak melakukan lamaran secara benar. Saya sebenarnya ingin melakukannya, tapi ibu Anda mengatakan kalau itu tidak perlu. Beliau ingin agar kita langsung menikah saja.”

‘Ibu tiri brengsek!’

Aku mengangguk pelan. Apa yang ibu tiriku katakan padanya, sama dengan yang dikatakannya juga padaku. Tapi itu tidak menjawab pertanyaanku tadi.

“Jadi..., uang ini sebenarnya uang yang akan saya gunakan untuk melamar Anda, yang ingin saya berikan pada Anda," lanjut Steven.

“Apa?!”

Steven ikut terkejut saat secara tak sengaja aku memekik kaget dengan apa yang baru dikatakannya.

‘Tunggu... ada kata sebenarnya, kan? Berarti sudah tidak untukku lagi?’

‘Eh...?’ Aku tiba-tiba menyadari maksudnya.

“Apa kau ingin memberikan uang ini pada ibu tiriku?!” tanyaku.

“Tidak, sejak awal saya ingin memberikan uang ini pada Anda.”

Aku menatap tumpukan uang itu lagi sambil menelan ludah. “Syukurlah kalau bukan untuknya. Tapi aku ikut rugi juga,” sesalku dalam hati.

“Saya tahu kalau Anda sebenarnya tidak ingin menikah. Anda mungkin menikah karena terpaksa.”

“Dari mana kau bisa tahu?”

“Saat saya meminta untuk bisa berbicara pada Anda, ibu Anda selalu memberikan alasan yang saya pikir agak tidak masuk akal.”

Aku mengernyit, menatapnya sembari tersenyum tipis.

‘Intuisinya bagus juga. Pengawal pribadi memang beda.’

Aku berpaling kembali pada tumpukan uang. “Tapi... ada berapa banyak uang ini?” tanyaku tanpa merasa sungkan.

“Dua miliar.”

Aku berusaha menahan diri untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sangat kaget. Aku memang sudah sering melihat uang kas divisiku yang bernilai ratusan miliar, namun hanya dalam data. Aku belum pernah melihat uang 1 miliar di depan mataku, terutama di rumahku.

‘Dan ini 2 miliar?’

“Jadi... apa menjadi pengawal pribadi memang memiliki bayaran besar?” tanyaku.

Steven tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Lumayan,” sahutnya.

“Kau yakin ini bukan uang hasil kejahatan?”

“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.”

Aku memicingkan mata. Sengaja memberikan tatapan curiga padanya. “Apa kau pernah membunuh seseorang dalam tugasmu? Kau memiliki pistol.” Steven tampak ragu menjawab pertanyaanku, dan itu membuatku kembali merasa takut. “K-kau... kau pernah melakukannya?!”

Steven menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kalau pembunuhan yang dilakukan tim termasuk dalam hitungan, berarti saya terhitung pernah melakukannya.”

“Maksudku dengan tanganmu sendiri,” aku cepat meluruskannya. Aku benar-benar ingin tahu dengan siapa aku akan berbagi rumah. Bahkan... kamar, mungkin?

“Tidak. Saya belum pernah melakukannya.”

“Bagus! Tolong jangan melakukannya.”

Steven tersenyum canggung padaku, lalu mengangguk setuju. “Kalau Anda yang memintanya, saya akan berusaha.”

“Ya.”

‘Hah? Kenapa harus mematuhiku? Oh... benar juga. Aku istrinya.’

Aku menatap kembali pada tumpukan uang. “Sebaiknya simpan kembali uang ini. Kita mungkin akan dirampok kalau ada yang tahu kau memiliki uang sebanyak ini.”

Steven menatap bingung padaku. “Ini uang Anda. Silahkan kalau Anda mau menyimpannya.”

“Ya. Sebaiknya seperti... A-apa?! Uangku?!”

Aku menatapnya dengan mata terbuka lebar sementara Steven terlihat menahan tawa.

“Saya memang ingin memberikannya pada Anda sejak awal. Sayang sekali ibu Anda tidak memberikan kesempatan.”

Aku menatap tumpukan uang itu lagi dan lagi dan... Apa aku mau menolaknya? Tentu tidak. Aku tidak seperti itu. Terserah kalau ada orang yang mengataiku mau menikah hanya karena uang. Mereka tidak tahu, aku dinikahkan paksa dan kebetulan mendapat uang ini. Kucing dalam karung yang kupilih ternyata sangat manis! ―aku lupa kalau ibu tiriku lah yang memilihkannya untukku.

Aku menoleh lagi pada Steven. Akhirnya ingat kalau dia adalah pria yang langsung kutolak saat tahu kalau dirinya jauh lebih muda dariku dan pengangguran. Kalau waktu itu aku tahu dia akan memberiku uang 2 miliar, apa aku akan menerimanya? Tentu!

‘Hohoho… Hmmm… Apa aku pensiun saja ya dari pekerjaanku? Tapi aku harus membayar pajak, kan?’

“Anda ingin saya membantu untuk menyimpannya?” tanya Steven, membuyarkan lamunanku.

“Ya...? Tidak. Aku akan menyimpannya sendiri. Terima kasih.”

“Maksud saya, akan lebih baik kalau saya membantu Anda memindahkannya ke brankas. Saya lihat Anda memilikinya di kamar.”

'Jadi itu maksudnya.'

"Kau benar. Kalau begitu, tolong bantu saya.”

***

Aku tersadar dari pingsan sekitar pukul 6 pagi dan sekarang sudah pukul 9 pagi. Butuh waktu satu setengah jam untuk memindahkan tumpukan uang itu ke dalam kamar.

Untungnya aku kebetulan memiliki banyak waktu luang karena hari ini hari Sabtu dan aku sedang libur bekerja.

Setelah kami selesai memindahkan semua uang, Steven memintaku untuk mengantarnya membeli pakaian tambahan untuknya, dan kami pun pergi ke toko baju terdekat yang kutahu.

Aku melihatnya memilih pakaian dengan asal. Dia tampak tidak memedulikan harga atau kualitas pakaian yang dibelinya. Asalkan ukurannya cocok, dia langsung mengambilnya.

‘Apa dia tidak masalah kalau pakaiannya tidak nyaman di kulit? Terserah… yang penting kami akan cepat kembali. Ada banyak uang yang kutinggalkan dirumah.’

Aku sebenarnya ingin membayarkan pakaian itu, hitung-hitung sebagai hadiah dariku untuknya. Namun, Steven sudah terlebih dahulu membayarnya menggunakan sebuah kartu debit. Atau aku yang sengaja membuka ritsleting dompetku dengan lambat?

Steven juga mengajakku makan di luar dan aku membawanya ke rumah makan Cina yang pernah kulihat dalam perjalanan ke kantor. Aku sebenarnya memilih toko pakaian dan rumah makan secara asal karena aku juga baru 1 minggu tinggal di daerah ini.

“Makanlah,” ucap Steven, “Anda belum makan sejak kemarin, kan?”

“Ah... benar juga.” Aku sendiri sampai lupa kalau aku belum makan sama sekali sejak kemarin pagi.

Sebenarnya, saat ini aku telah melupakan segalanya. Dalam ingatanku hanya ada bergepok-gepok uang yang ada di brankas, terutama yang kusimpan di lemari pakaian. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Pepatah yang pernah kudengar itu memang benar adanya. Aku bahkan meletakkan pikiranku juga di sana.

Huft...

‘Harusnya aku membeli brankas yang lebih besar beberapa buah. Bagaimana kalau ada yang mencuri uang yang kutaruh di lemari?’

Memikirkannya membuatku sakit kepala hingga tanpa sadar aku memijat-mijat kepalaku dengan ujung belakang sendok.

Aku baru tersadar setelah mendengar Steven tertawa sambil menatap ke arahku. Aku menoleh ke belakang, namun di belakangku hanya ada tembok dengan sebuah poster ayam goreng besar.

‘Dia menertawakan poster ini? Memang lucu sih, foto ayam goreng krispy di rumah makan Cina.'

“Anda terlihat sangat gelisah,” ucap Steven seakan mengerti kegundahanku.

‘Oh… dia menertawakanku.’

Aku menoleh ke kanan kiri, memerhatikan apakah ada pengunjung lain yang memerhatikan kami, lalu menarik bangku lebih dekat ke meja dan berbicara padanya dengan suara pelan, “Aku agak mengkhawatirkan uangnya. Bagaimana kalau kita pulang saja setelah makan?”

“Saya sudah selesai.”

Aku menatap piring Steven yang sudah kosong.

‘Hah? Kapan dia menghabiskannya?’

“Kalau begitu ayo kita pulang,” ajakku sambil memundurkan kembali kursi dan langsung berdiri.

“Anda baru makan beberapa suap.”

Aku akhirnya duduk kembali. Mendekatkan wajahku pada Steven, lalu berbicara, “Aku bisa membeli restoran ini selama uang itu masih ada. Kalau uang itu hilang, aku mungkin tidak akan semangat makan lagi.”

Steven tertawa.

Aku menatapnya kesal. Entah apa yang dia tertawakan namun aku hanya merasa kesal.

“Aku pulang sekarang,” ucapku.

“Tunggu. Tolong jangan khawatirkan uangnya.”

“Kau mungkin tidak khawatir karena kau...,” aku terkesiap. “Apa kau akan mengganti kalau uangnya hilang?”

Steven mengangguk.

Aku masih menatapnya, mengamati ekspresi wajahnya untuk menilai apakah dia hanya asal bicara atau tidak.

‘Gila! Dia serius!’

Aku akhirnya mengambil sendok dan garpu lagi, lalu makan dengan lahap, cepat, dan tak tahu malu. Sampai jam 7 pagi tadi aku tidak memercayainya dan aku sekarang percaya padanya setelah dia memberiku uang 2 miliar.

Jalan pikiranku memang tidak bisa ditebak, bahkan oleh diriku sendiri.

“Apa yang kau lihat?” tanyaku, saat tidak sengaja bertemu pandang dengannya.

Steven tersenyum lembut lalu menggeleng.

“Apa kau menertawakanku?”

“Tidak... saya cuma tidak menyangka akan menikah dengan wanita seperti Anda.”

“Uhuk...!”

Kata-katanya membuatku teringat kembali akan perbedaan usia kami yang terlampau jauh, membuatku tersedak nasi yang baru kusuapkan ke mulutku.

Steven dengan cekatan memberikan air minum dan tisu padaku. Gerakannya bahkan lebih cepat dariku, yang harusnya lebih responsif karena akulah yang tersedak.

“Apa kau sekarang menyesalinya?” tanyaku setelah meredakan batuk-batukku.

“Mana mungkin saya menyesal? Saya justru hampir tidak percaya bisa menikahi wanita secantik dan semanis Anda.”

Untung saja mulutku sedang kosong. Jika tidak, aku pasti akan tersedak lagi, ―yah, untung saja aku tidak tersedak udara.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Hi5
kocak hhhhhh
goodnovel comment avatar
Boa
seru wkwkwk
goodnovel comment avatar
Bagus Wibowo
gasss poool
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status