Setelah keluar dari kamar mandi, mataku langsung tertuju pada Steven yang sedang duduk di sofa. Terlihat jelas kalau dia sedang menungguku di sana. Tapi aku baru menghampirinya 20 menit kemudian, setelah selesai mengeringkan rambutku yang cukup panjang.
“Maaf sudah salah menilaimu,” ucapku pelan.Aku duduk mengambil tempat di dekatnya. Sebenarnya tempat terjauh, karena sofa kami tidaklah panjang. Hanya satu baris sofa yang muat untuk 3 orang. Steven duduk di ujung dan aku duduk di ujung lain.“Tidak masalah. Saya juga ingin meminta maaf karena terlalu ceroboh.”Aku tersenyum kaku, lalu melirik pada tumpukan uang di atas meja. Aku sebenarnya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah tumpukan uang itu sejak tadi. Tumpukan uang yang hampir tidak memberikan ruang kosong sama sekali pada meja kaca berukuran 0,5x1,5 meter di depan kami.“Jadi... apa maksudnya ini?” Mataku masih tertuju pada tumpukan uang.“Saya minta maaf karena tidak melakukan lamaran secara benar. Saya sebenarnya ingin melakukannya, tapi ibu Anda mengatakan kalau itu tidak perlu. Beliau ingin agar kita langsung menikah saja.”‘Ibu tiri brengsek!’Aku mengangguk pelan. Apa yang ibu tiriku katakan padanya, sama dengan yang dikatakannya juga padaku. Tapi itu tidak menjawab pertanyaanku tadi.“Jadi..., uang ini sebenarnya uang yang akan saya gunakan untuk melamar Anda, yang ingin saya berikan pada Anda," lanjut Steven.“Apa?!”Steven ikut terkejut saat secara tak sengaja aku memekik kaget dengan apa yang baru dikatakannya.‘Tunggu... ada kata sebenarnya, kan? Berarti sudah tidak untukku lagi?’‘Eh...?’ Aku tiba-tiba menyadari maksudnya.“Apa kau ingin memberikan uang ini pada ibu tiriku?!” tanyaku.“Tidak, sejak awal saya ingin memberikan uang ini pada Anda.”Aku menatap tumpukan uang itu lagi sambil menelan ludah. “Syukurlah kalau bukan untuknya. Tapi aku ikut rugi juga,” sesalku dalam hati.“Saya tahu kalau Anda sebenarnya tidak ingin menikah. Anda mungkin menikah karena terpaksa.”“Dari mana kau bisa tahu?”“Saat saya meminta untuk bisa berbicara pada Anda, ibu Anda selalu memberikan alasan yang saya pikir agak tidak masuk akal.”Aku mengernyit, menatapnya sembari tersenyum tipis.‘Intuisinya bagus juga. Pengawal pribadi memang beda.’Aku berpaling kembali pada tumpukan uang. “Tapi... ada berapa banyak uang ini?” tanyaku tanpa merasa sungkan.“Dua miliar.”Aku berusaha menahan diri untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sangat kaget. Aku memang sudah sering melihat uang kas divisiku yang bernilai ratusan miliar, namun hanya dalam data. Aku belum pernah melihat uang 1 miliar di depan mataku, terutama di rumahku.‘Dan ini 2 miliar?’“Jadi... apa menjadi pengawal pribadi memang memiliki bayaran besar?” tanyaku.Steven tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Lumayan,” sahutnya.“Kau yakin ini bukan uang hasil kejahatan?”“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.”Aku memicingkan mata. Sengaja memberikan tatapan curiga padanya. “Apa kau pernah membunuh seseorang dalam tugasmu? Kau memiliki pistol.” Steven tampak ragu menjawab pertanyaanku, dan itu membuatku kembali merasa takut. “K-kau... kau pernah melakukannya?!”Steven menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kalau pembunuhan yang dilakukan tim termasuk dalam hitungan, berarti saya terhitung pernah melakukannya.”“Maksudku dengan tanganmu sendiri,” aku cepat meluruskannya. Aku benar-benar ingin tahu dengan siapa aku akan berbagi rumah. Bahkan... kamar, mungkin?“Tidak. Saya belum pernah melakukannya.”“Bagus! Tolong jangan melakukannya.”Steven tersenyum canggung padaku, lalu mengangguk setuju. “Kalau Anda yang memintanya, saya akan berusaha.”“Ya.”‘Hah? Kenapa harus mematuhiku? Oh... benar juga. Aku istrinya.’Aku menatap kembali pada tumpukan uang. “Sebaiknya simpan kembali uang ini. Kita mungkin akan dirampok kalau ada yang tahu kau memiliki uang sebanyak ini.”Steven menatap bingung padaku. “Ini uang Anda. Silahkan kalau Anda mau menyimpannya.”“Ya. Sebaiknya seperti... A-apa?! Uangku?!”Aku menatapnya dengan mata terbuka lebar sementara Steven terlihat menahan tawa.“Saya memang ingin memberikannya pada Anda sejak awal. Sayang sekali ibu Anda tidak memberikan kesempatan.”Aku menatap tumpukan uang itu lagi dan lagi dan... Apa aku mau menolaknya? Tentu tidak. Aku tidak seperti itu. Terserah kalau ada orang yang mengataiku mau menikah hanya karena uang. Mereka tidak tahu, aku dinikahkan paksa dan kebetulan mendapat uang ini. Kucing dalam karung yang kupilih ternyata sangat manis! ―aku lupa kalau ibu tiriku lah yang memilihkannya untukku.Aku menoleh lagi pada Steven. Akhirnya ingat kalau dia adalah pria yang langsung kutolak saat tahu kalau dirinya jauh lebih muda dariku dan pengangguran. Kalau waktu itu aku tahu dia akan memberiku uang 2 miliar, apa aku akan menerimanya? Tentu!‘Hohoho… Hmmm… Apa aku pensiun saja ya dari pekerjaanku? Tapi aku harus membayar pajak, kan?’“Anda ingin saya membantu untuk menyimpannya?” tanya Steven, membuyarkan lamunanku.“Ya...? Tidak. Aku akan menyimpannya sendiri. Terima kasih.”“Maksud saya, akan lebih baik kalau saya membantu Anda memindahkannya ke brankas. Saya lihat Anda memilikinya di kamar.”'Jadi itu maksudnya.'"Kau benar. Kalau begitu, tolong bantu saya.”***Aku tersadar dari pingsan sekitar pukul 6 pagi dan sekarang sudah pukul 9 pagi. Butuh waktu satu setengah jam untuk memindahkan tumpukan uang itu ke dalam kamar.Untungnya aku kebetulan memiliki banyak waktu luang karena hari ini hari Sabtu dan aku sedang libur bekerja.Setelah kami selesai memindahkan semua uang, Steven memintaku untuk mengantarnya membeli pakaian tambahan untuknya, dan kami pun pergi ke toko baju terdekat yang kutahu.Aku melihatnya memilih pakaian dengan asal. Dia tampak tidak memedulikan harga atau kualitas pakaian yang dibelinya. Asalkan ukurannya cocok, dia langsung mengambilnya.‘Apa dia tidak masalah kalau pakaiannya tidak nyaman di kulit? Terserah… yang penting kami akan cepat kembali. Ada banyak uang yang kutinggalkan dirumah.’Aku sebenarnya ingin membayarkan pakaian itu, hitung-hitung sebagai hadiah dariku untuknya. Namun, Steven sudah terlebih dahulu membayarnya menggunakan sebuah kartu debit. Atau aku yang sengaja membuka ritsleting dompetku dengan lambat?Steven juga mengajakku makan di luar dan aku membawanya ke rumah makan Cina yang pernah kulihat dalam perjalanan ke kantor. Aku sebenarnya memilih toko pakaian dan rumah makan secara asal karena aku juga baru 1 minggu tinggal di daerah ini.“Makanlah,” ucap Steven, “Anda belum makan sejak kemarin, kan?”“Ah... benar juga.” Aku sendiri sampai lupa kalau aku belum makan sama sekali sejak kemarin pagi.Sebenarnya, saat ini aku telah melupakan segalanya. Dalam ingatanku hanya ada bergepok-gepok uang yang ada di brankas, terutama yang kusimpan di lemari pakaian. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya.Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Pepatah yang pernah kudengar itu memang benar adanya. Aku bahkan meletakkan pikiranku juga di sana.Huft...‘Harusnya aku membeli brankas yang lebih besar beberapa buah. Bagaimana kalau ada yang mencuri uang yang kutaruh di lemari?’Memikirkannya membuatku sakit kepala hingga tanpa sadar aku memijat-mijat kepalaku dengan ujung belakang sendok.Aku baru tersadar setelah mendengar Steven tertawa sambil menatap ke arahku. Aku menoleh ke belakang, namun di belakangku hanya ada tembok dengan sebuah poster ayam goreng besar.‘Dia menertawakan poster ini? Memang lucu sih, foto ayam goreng krispy di rumah makan Cina.'“Anda terlihat sangat gelisah,” ucap Steven seakan mengerti kegundahanku.‘Oh… dia menertawakanku.’Aku menoleh ke kanan kiri, memerhatikan apakah ada pengunjung lain yang memerhatikan kami, lalu menarik bangku lebih dekat ke meja dan berbicara padanya dengan suara pelan, “Aku agak mengkhawatirkan uangnya. Bagaimana kalau kita pulang saja setelah makan?”“Saya sudah selesai.”Aku menatap piring Steven yang sudah kosong.‘Hah? Kapan dia menghabiskannya?’“Kalau begitu ayo kita pulang,” ajakku sambil memundurkan kembali kursi dan langsung berdiri.“Anda baru makan beberapa suap.”Aku akhirnya duduk kembali. Mendekatkan wajahku pada Steven, lalu berbicara, “Aku bisa membeli restoran ini selama uang itu masih ada. Kalau uang itu hilang, aku mungkin tidak akan semangat makan lagi.”Steven tertawa.Aku menatapnya kesal. Entah apa yang dia tertawakan namun aku hanya merasa kesal.“Aku pulang sekarang,” ucapku.“Tunggu. Tolong jangan khawatirkan uangnya.”“Kau mungkin tidak khawatir karena kau...,” aku terkesiap. “Apa kau akan mengganti kalau uangnya hilang?”Steven mengangguk.Aku masih menatapnya, mengamati ekspresi wajahnya untuk menilai apakah dia hanya asal bicara atau tidak.‘Gila! Dia serius!’Aku akhirnya mengambil sendok dan garpu lagi, lalu makan dengan lahap, cepat, dan tak tahu malu. Sampai jam 7 pagi tadi aku tidak memercayainya dan aku sekarang percaya padanya setelah dia memberiku uang 2 miliar.Jalan pikiranku memang tidak bisa ditebak, bahkan oleh diriku sendiri.“Apa yang kau lihat?” tanyaku, saat tidak sengaja bertemu pandang dengannya.Steven tersenyum lembut lalu menggeleng.“Apa kau menertawakanku?”“Tidak... saya cuma tidak menyangka akan menikah dengan wanita seperti Anda.”“Uhuk...!”Kata-katanya membuatku teringat kembali akan perbedaan usia kami yang terlampau jauh, membuatku tersedak nasi yang baru kusuapkan ke mulutku.Steven dengan cekatan memberikan air minum dan tisu padaku. Gerakannya bahkan lebih cepat dariku, yang harusnya lebih responsif karena akulah yang tersedak.“Apa kau sekarang menyesalinya?” tanyaku setelah meredakan batuk-batukku.“Mana mungkin saya menyesal? Saya justru hampir tidak percaya bisa menikahi wanita secantik dan semanis Anda.”Untung saja mulutku sedang kosong. Jika tidak, aku pasti akan tersedak lagi, ―yah, untung saja aku tidak tersedak udara.Setelah makan kami tidak langsung pulang, ―walaupun aku sebenarnya sangat ingin langsung pulang. Keinginan itu akhirnya kalah saat aku kebetulan melihat Steven menatap jalanan dengan wajah bingung yang aneh, di sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Entah dia bingung atau wajahnya seperti itu karena belum terbiasa dengan kota Jakarta, yang pasti aku jadi merasa kasihan padanya. Aku pun mengajaknya untuk jalan-jalan ke Mal yang berada tak jauh dari jalur jalan yang kami lewati, ―kebetulan aku juga belum pernah pergi ke Mal itu dan sekalian saja aku ingin melihat-lihat ke sana.Aku bisa melihat perubahan ekspresi Steven setelahnya. Bisa dikatakan, wajahnya tampak lebih ceria. Aku menebak, dia mungkin sedang merindukan kampung halamannya.‘Padahal dia baru dua hari di sini. Bagaimana kalau sudah satu minggu? Satu bulan? Atau satu tahun? Mungkinkah dia akan pergi meninggalkanku setelah itu?' Pikiranku malah menyimpang ke sana. Aku tidak peduli juga sih. Tapi..
Aku dan Steven baru pulang kembali ke rumah kami jam 7 malam setelah selama seharian menghabiskan waktu berbelanja dan berjalan-jalan di Mal. Walau awalnya aku hanya ingin mengantarkannya berjalan-jalan, sejujurnya pada akhirnya aku sendiri juga menikmati waktu yang kami habiskan bersama hari ini, terutama karena aku bisa kembali berbaur dengan keramaian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Ya, sudah sangat lama bagiku, yang hampir tidak memiliki waktu dan uang lebih, untuk berjalan-jalan seperti ini. Dalam beberapa tahun belakangan ini, akhir pekanku biasanya cuma kuhabiskan untuk membaca novel ringan atau melihat-lihat referensi destinasi wisata di Youtube yang kemudian akan kumasukkan dalam daftar tujuan liburanku suatu saat nanti. Aku bahkan tidak ingat kapan punya waktu luang untuk berjalan-jalan seperti hari ini. Waktu luang? Sebenarnya, mungkin bukan waktu luang yang tidak kumiliki, melainkan uang. Apa karena gajiku kecil? Tidak juga. Sebelumnya mungkin s
“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya langsung menyukai Anda setelah melihat foto Anda. Saya tidak memikirkan lainnya.” Entah kenapa, kata-kata berbau pujian dari Steven membuatku sedikit malu hingga aku akhirnya diam dan melanjutkan pekerjaanku tanpa bertanya apa pun lagi. ‘Kenapa dia tidak bertanya balik? Apa dia tidak penasaran?’ Aku agak bingung kenapa Steven tidak mengajukan pertanyaan yang sama padaku. Jika menjadi dia, aku pasti akan penasaran dan bertanya hal serupa juga padanya. ‘Atau… apa dia takut kalau aku minta bercerai karena menikah di bawah paksaan?’ Aku melirik padanya, ―yang sudah sibuk membuka kardus-kardus kecil kembali dan benar-benar tidak terlihat ingin bertanya hal yang sama padaku. ‘Tapi tidak mungkin.’ Aku menatap ke kamar, ingat berapa banyak uang yang ada di sana, ―yang dibawanya ke sana-kemari tanpa takut dirampok, juga memberikannya padaku dengan santai. Dia bisa dengan mudahnya menemukan wanita cantik dengan uang seserahan sebanyak itu. Khususnya p
Karena ini hari Minggu, aku sengaja tidak memasang alarm di ponselku dan aku pun akhirnya bangun jauh lebih siang dari biasanya. Hal pertama yang kuingat setelah melihat jam di ponselku adalah Steven. Tidak seperti kemarin, kali ini aku langsung mengingatnya, ―terutama setelah beberapa puluh menit tidak bisa tidur karena harap-harap cemas kalau dia akan datang menyambut baik ‘ajakan’ tak sengaja dariku. Aku melihat dan meraba-raba tempat di sebelahku tidur yang masih rapi dan tidak merasakan hangat bekas ditiduri di sana. ‘Bodoh... Kalau dia sudah bangun lebih dari 30 menit tentu tidak akan terasa hangat.’ Aku menatap tubuhku, melihat pakaianku yang masih lengkap. Aku juga melihat pintu kamar yang sudah tertutup kembali. Entah kenapa, aku malah agak sedikit tersinggung. ‘Apa aku tidak menarik baginya? Apa karena jarak usia kami?’ Aku baru beranjak dari tempat tidur saat mendengar suara berisik di luar kamar untuk pergi mengecek sumber suara mengganggu tersebut. Perhatianku langs
Selama kami berada di rumah Pak RT, Steven berbicara jauh lebih banyak dariku, ―sementara aku sendiri menghabiskan lebih banyak waktu hanya untuk mendengarnya berbicara dan mengaguminya. Dia bisa mengimbangi topik pembicaraan apa pun dengan sangat baik, bahkan saat Pak RT yang sudah berusia hampir 70 tahun itu mengajaknya berbicara tentang zaman setelah era kemerdekaan yang tidak kutahu dan tidak kumengerti sama sekali. ‘Benar-benar di luar dugaanku. Berapa sih umurnya?’ “Teh-nya Neng…” Aku hampir melompat kaget saat Bu RT tiba-tiba muncul di sampingku dari dalam ruang keluarga mereka. Aku mengangguk dan tersenyum malu sembari menerima teh yang Bu RT suguhkan padaku. Bodohnya aku tadi dengan lancang dan tanpa sengaja menolak kopi yang ia buatkan hanya karena aku tidak menyukai kopi manis dan berampas. Untung saja Steven pandai mencari alasan hingga Bu RT bisa mengerti dan memakluminya ―bahkan dia merasa bersalah karena menghidangkan minuman tanpa bertanya terlebih dulu padaku. A
Steven juga membantu mencuci semua piring dan peralatan memasak kotor setelah kami selesai makan malam. Seperti yang dikatakannya tadi, dia mengerjakannya seakan itu memang hal yang sudah biasa dilakukannya. Aku tidak melihat adanya niat tersembunyi dari apa yang ia lakukan, ―dia bukannya ingin terlihat baik dimataku. Karena terlalu fokus memperhatikan punggung lebar Steven yang tampak kokoh di balik t-shirt ketatnya, hasratku tiba-tiba naik tanpa kusadari. Di saat yang bersamaan aku juga bisa merasakan basah di area dekat pangkal pahaku, bersama dengan perasaan gelisah yang tiba-tiba saja muncul, ―aku sudah melakukan kesalahan karena terlalu lama menatapnya! Aku buru-buru masuk ke dalam kamar, menutup pintunya rapat lalu duduk di ranjangku untuk menenangkan kembali keinginan memalukan yang muncul secara tiba-tiba itu. Tapi melarikan diri ke dalam kamar seperti ini sama sekali tidak membantu. Justru sebaliknya, berada di kamar seperti ini, di atas ranjang kami, malah membuat keingina
Aku baru terbangun saat alarm di ponselku berbunyi. Setelah mematikannya, aku berbalik, ingin tahu apakah Steven tidur bersamaku atau tidak, ―dan aku tidak melihatnya ada disampingku. Kami tidak melakukannya tadi malam. Steven tidak datang menghampiriku sampai aku akhirnya tertidur. Walaupun harga diriku sedikit hancur, namun aku tidak mempermasalahkannya. Aku tahu pasti ada yang dipertimbangkannya hingga ia masih tidak mau melakukannya, atau mungkin karena aku tidak mengatakan kalau aku menginginkannya secara jelas hingga ia ragu untuk melakukannya. Yang terpenting aku sudah memberinya izin dan aku juga sudah tahu kalau dia tampak tertarik pada tubuhku. Aku melihatnya dengan sangat jelas saat duduk di sebelahnya tadi malam. “Pagi...,” sapaku pada Steven yang sedang sibuk dengan laptopnya. “Pa...gi...,” sahut Steven. Terlihat jelas kalau dia tampak takjub memandang tubuh dibalik gaun tidurku yang lumayan transparan. Aku mengalihkan tatapanku ke meja makan, ―sengaja ingin membiark
Aku menyentuh pelan bibirku. Mengingat kembali bagaimana Steven melumatnya dengan lembut sebelum memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. ‘Apa begitu caranya berciuman?’ Sebelum hari ini, aku benar-benar belum pernah melakukannya sama sekali. Baik itu hanya sebuah kecupan di pipi, kening, terutama di bibir. Jadi selama kami melakukannya tadi, aku hanya diam dan mempelajari cara dia melakukannya. Aku benar-benar seperti seorang perawan tua yang tidak berpengalaman. Jadi apa yang dikatakan teman-teman ibu tiriku sebenarnya tidaklah salah. 'Apa dia sudah sering melakukannya? Dia sepertinya sudah sangat―' “Neng?” Aku baru tersadar dari lamunan saat sopir taksi memanggilku. “Ya, Pak?” “Kita sudah sampai.” Aku melihat ke luar jendela dan kaget karena gedung kantorku sudah berada di sana, padahal seingatku kami baru berkendara beberapa menit saja. “Oh... Ma-maaf... terima kasih, Pak.” Dengan perasaan malu aku segera turun dari taksi dan berlari kecil menuju pintu utama gedung kantorku.