"Arella, sini Nak! Duduk sama Mama dan Papa."
Aku tak berekspetasi apapun ketika Mama memintaku duduk di antara mereka berdua. Aku juga tidak bereraksi banyak ketika kedua orang tuaku memperkenalkan tamu-tamu mereka yang katanya dari luar kota."Ella sayang... Ini Om dan Tante Mahesa. Mereka ke sini punya tujuan khusus.""Tujuan?" Aku mengerutkan kening. Memandang Papa dengan raut tak mengerti. "Tujuan apa yang maksudnya?""Begini Nak. Kami berencana menjodohkan kamu dengan Gilang— anak kami."Tubuhku membeku. Kepalaku serasa dihantam batuan besar ketika mendengar perkataan lelaki asing di depanku."Jadi begini, Ella. Dulu Papa punya ide buat nikahin anak-anak kita pas dewasa. Supaya silahturahmi kita tetap terjalin. Dan hari ini, kita mau ngasih tau niat ini ke kamu."Aku menoleh ke arah Papa dengan wajah horor. Candaan macam apa ini? Hanya untuk menjaga tali silaturahmi dengan keluarga yang bahkan tidak aku kenali, aku harus dijodohkan dengan orang asing?"Ya— mungkin menurut kamu ini terkesan mendadak dan nggak masuk akal. Tapi, kita sebagai orang tua tau betul kok, kalau kamu dan Gilang, akan bisa saling melengkapi saat sudah menikah nanti."Aku memutar kedua bola mataku. Papa begitu enteng ketika mengatakan pendapatnya tersebut."Maaf Pa, Ma— Om, dan tante..." Aku melihat ke arah kedua orang tuaku, lalu sejurus kemudian, aku memandangi lurus ke arah teman Papa dan Mama yang duduk di seberangku. "Aku nggak bisa terima perjodohan ini.""Kenapa Nak?" tanya Mama penasaran."A-aku...""Nak Arella..." Suara lembut Ibu Mahesa membuat tatapanku tertuju ke arahnya. "Gilang ini, memang orangnya pendiam, tapi dia pria yang baik dan bertanggung jawab kok. Kamu nggak usah berpikiran macam-macam."Aku menatap ke arah Gilang. Pria dengan kemeja berambut klimis, berkacamata minus tebal, dan kemeja lengan panjang warna putih. Gayanya, terlihat kuno menurutku."Iya Nak. Gilang ini pinter ngaji, sholeh, anak rumahan pula. Akademiknya juga bagus kok, Nak. Dia—""Enggak gitu, Pa! Arella ngerasa nggak cocok aja buat dia." Sungguh! Aku tidak punya alasan lain sekarang. Sehingga hanya itu yang bisa aku ucapkan. Padahal, menurutku Gilang-lah yang tidak pantas untuk mendampingiku."Kamu jangan merendah gitu dong Nak!" Pak Mahesa menyela ucapanku. "Kami nggak ngerasa begitu kok.""Iya. Justru malah kami yang segan kalau Gilang jadi suami kamu," imbuh Bu Mahesa."Tapi Tante—""Gini aja!" Lagi-lagi, ucapanku disela oleh papa. "Gimana kalau kalian ngobrol aja di depan supaya bisa saling mengenal satu sama lain. Yah, anggap saja itu sebagai PDKT sebelum kita memutuskan tanggal pernikahan kalian."Aku langsung menoleh ke arah Papa begitu mendengar ucapan beliau. Ingin sekali aku menyangga kata-kata papa, namun tanganku lebih dahulu ditarik oleh Mama yang menyuruhku berdiri.Demikian juga dengan Gilang yang dipaksa oleh Mamanya untuk bangkit dari posisinya. "Kalian bisa ngobrol di depan. Nanti biar Mama suruh bibi bawain cemilan dan teh buat temen ngobrol kalian. Oke."Mama mendorong punggung sedikit menjauh dari area ruang tamu. Membuatku tidak bisa berkutik dan hanya menurut perintah beliau. Jika seandainya aku tahu sore ini Papa dan Mama akan menjodohkanku dengan seorang pria cupu seperti Gilang, mungkin Lebih baik aku menuruti ajakan teman-teman untuk pergi shopping hari ini.***Normal POVKini, Gilang dan Arella tinggal berdua saja di bangku teras. Sebuah meja kayu berbentuk bundar yang jadi pemisah di antara keduanya.Berbeda dengan Gilang yang hanya diam saja sembari menikmati pemandangan di hadapannya, Arella justru bersikap sebaliknya. Ia merasa resah dan khawatir mengenai ide para orang dewasa yang berniat menikahkannya."Gilang!"Merasa namanya dipanggil, pria itu pun menoleh ke arah si empunya suara. "Panggil aku, 'Mas' atau 'kak'. Gimana pun juga aku lebih tua dari kamu kan?"Arella melongo. Memang penting ya membahas masalah panggilan di saat genting begini?"Bodo amat sama panggilan. Yang penting sekarang, lo harus bantuin gue.""Bantuin apa?""Ck! Pake nanya lagi!" Arella tampak kesal. Dengan tingkat kesabarannya yang setipis tisu, ia tidak bisa menghadapi Gilang yang kalem dan tenang. "Lo harus bantuin gue buat gagalin pernikahan ini.""Enggak mau."Arella melotot kaget. "Apa lo bilang?""Aku nggak mau bantuin kamu," ulang pemuda itu lebih keras. Tepat di telinga Arella.Gadis berambut panjang itu mengeplak lengan Gilang. "Gue nggak budek, bodoh!"Pemuda itu memundurkan kepalanya."Gue nggak mau nikah ama lo. Lo bisa kan bantuin gue buat jelasin ke mereka.""Jelasin gimana?""Ya bilang aja kalau gue udah punya pacar.""Padahal..." potong Gilang. Nada bicaranya terdengar mengejek."Apa? Lo pikir gue jomblo?" amuk Arella tak terima.Gilang cuma menggeleng."Gue nggak mau dojodohin. Apalagi ama cowok cupu kayak lo." Arella kembali mempertegas ucapannya. "Gue masih muda, gue masih pengen main, gue masih mau seneng-seneng ama temen gue.""Tapi nikah itu kan ibadah. Kamu emangnya nggak mau dapat pahala.""Gila lo!" potong Arella cepat. "Gue mau dapat pahala, tapi gue juga pilih-pilih lah imamnya siapa." Ia mengernyit jijik ke arah Gilang. Elfeel bukan main dengan cowok yang menurutnya cupu ini."Emangnya gue kenapa?""Lo ada cermin nggak di rumah?""Ada.""Ya lo ngaca dong! Masa perempuan secantik gue, seseksi dan sepinter gue, harus nikah ama cowok kayak lo. Gayanya udik, kampungan, iuuuh..." Arella memutar kedua matanya sambil memasang raut tak suka. "Lo itu bukan selera gue."Gilang yang dihina sedemikian rupa hanya menanggapi ucapan Arella dengan santai. "Lo nggak boleh nilai seseorang dari covernya doang. Siapa tau hatinya baik.""Tapi buat gue penampilan itu nomor satu. Malu lah kalo harus bawa orang kutu buku macem lo ke kondangan. Nanti, kita disangka beauty and the beast lagi.""Ckckck..." Pemuda itu mengelus dada. "Dari ucapan kamu, aku jadi makin yakin buat ngelakuin itu."Arella menoleh cepat ke arah Gilang. "Ngelakuin apa?" tanyanya.Gilang tak menjawab. Ia justru bangun dari tempat duduknya lalu masuk lagi ke dalam tanpa menyatakan sepatah kata pun."Gilang! Lo mau ke mana?" tanya Arella sambil berjalan mengikuti pria berambut klimis tersebut. "Apa lo udah sadar kalau seharusnya kita nggak usah nikah aja?"Gilang tak mengatakan apapun. Pandangan pemuda itu lurus ke depan. Fokus ke arah para orang dewasa yang sedang berbincang."Nah kan! Gue bilang juga apa. Gue ini terlalu bad girls, buat elo yang good boy. Jadi—""Pa! Ma! Om! Tante! Gilang mau bicara sesuatu."Semua orang langsung menoleh ke arah Gilang, ketika pemuda itu muncul dan berucap demikian. Bahkan Arella saja tidak sempat melanjutkan kata-katanya tadi."Eh, Nak Gilang? Kamu mau ngomong apa Nak?""Sebenernya aku...""Pa, Ma. Om dan Tante. Sebenarnya aku punya usul, supaya hari pernikahan kita dipercepat."Semua mata seketika itu juga langsung tertuju ke arah Gilang. Tak terkecuali Arella yang langsung mendelik kaget ketika mendengar ucapan pria di sebelahnya.Semua yang ada di sana tentu saja merasa senang dengan ide yang Gilang katakan. Minus Arella tentunya yang merasa sangat keberatan."Wah, apa yang bikin kamu langsung berubah pikiran gitu, Gi?""Bener. Kita nggak nyangka kalau kamu bakal langsung setuju ama perjodohan ini.""Gimana nih Bu Mahesa. Kita harus cepet-cepet pilih tanggal baik nih.""Hahahaha. Iya, Bu... Biar kita cepet-cepet jadi besan."Gilang melirik ke arah perempuan di sebelahnya. Ia tau betul jika Arella sedang berusaha untuk memotong obrolan para orang tua. Tapi entah kenapa, dia malah bengong dengan mulut yang agak terbuka.*"Ini nggak bener, Pa! Ma! Aku nggak mau nikah sama Gilang!""Kok kamu baru bilang sekarang sih? Kan tadi sore kita semua udah sepakat.""Sepakat giman
1. Kita menikah hanya satu tahun saja. Di masa itu, pihak pertama maupun kedua, boleh mengajukan perceraian apabila dalam jangka waktu tersebut, salah satu diantara mereka merasa tidak nyaman dengan hubungan ini.2. Setelah menikah, masing-masing pihak tidak boleh KEPO dan ikut campur dengan urusan pasangan.3. Tidak ada yang namanya melayani dan dilayani.4. Tidak ada hubungan suami istri.5. Tidak melakukan hubungan suami istri.6. Harus pisah kamar, biar tidak ada hubungan suami istri.7. Tidak ada skinship, cuddle, dan apapun itu.Gilang menaikkan gagang kacamata minusnya usai membaca surat perjanjian pranikah yang Arella berikan padanya beberapa saat lalu. "Point 4-6 kenapa isinya mirip?""Ya buat mempertegas kalau aku nggak mau kita sampai melakukan hubungan seks," pungkas Arella."Tapi kita kan udah nikah, harusnya itu normal.""Itu kan menurut lo! Menurut gue enggak, Gilang! Deket ama lo aja gue malas apalagi sampai berhubungan badan. Yang bener aja?" Arella mengerutkan keningn
Dua bulan berlalu begitu cepat. Tidak terasa hari pernikahan Arella dan Gilang tiba juga. Semua keluarga sudah berkumpul di aula untuk melakukan ijab kabul.Gilang masih setia dengan kacamata minus berbingkai hitam miliknya sudah siap di depan penghulu serta calon mertuanya. Dia sudah dikelilingi saksi dari kedua belah pihak untuk mengucap akad nikah. Pria itu terlihat gagah dengan pakaian adat Jawa lengkap.Sementara mempelai wanita alias Arella, dia masih berada di dalam kamarnya dan baru boleh keluar setelah akad nikah selesai.Gadis itu menatap pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya kutu baru warna putih dengan hiasan payet di sana sini serta kain jarik warna coklat sebagai bawahan membuat ia tampak anggun bak bangsawan kerajaan. Riasan makeup paes dan lipstik warna merah yang memberikan kesan dewasa. Dia begitu cantik dengan rambut disanggul dan hiasan bunga melati."Ini pengantinnya kenapa? Kok dari tadi cemberut terus?"Arella menoleh ke arah sang Mama yang sejak tadi berada d
"E-elo?! Elo ngapain di sini?"Arella kaget bukan main. Dan itu karena Gilang berada di kamarnya. Kamar pribadinya."Kenapa? Ini kan kamar pengantin?" Gilang sedang melepaskan baju pengantinnya, menatap Arella dengan wajah tanpa dosa."Yang bener aja lo!" Gadis berkebaya warna putih itu langsung menerjang masuk ke dalam dan mendorong dada Gilang. "Ini itu kamar gue! Seenaknya aja lo masuk ke sini!""Orang tua kamu yang nyuruh aku ke sini.""Keluar lo dari sini!" Bentak Arella. "Lo lupa isi perjanjian isi kita waktu itu?""Terus aku harus tidur di mana?" tanya pemuda berkaca mata minus itu. "Lagipula, Apa kamu nggak bingung, kalau seandainya orang tua kamu nanya kenapa kita pisah ranjang?"Pertanyaan Gilang barusan membuat Arella tertampar kenyataan."Tapi gue males kalau harus sekamar ama lo!""Ya mau gimana lagi, kan ini udah konsekuensi."Arella mendengkus. "Tapi lo tidur di lantai!"Gilang menghela nafas dan mengangguk. "Okey."Gadis yang masih dibalut pakaian pengantin itu akhirnya
Kalau bukan karena cahaya matahari yang masuk ke sela jendela kamarnya. Mungkin sekarang Arella masih tertidur nyenyak di balik selimut tebalnya. Tapi karena itu semua, dia terpaksa bangun dan mengecek kondisi sekitarnya.Yap— dia hampir lupa kalau semalam sudah melangsungkan pernikahan dan sekamar dengan Gilang. Tapi, ketika dia bangun pagi ini, cowok itu ternyata sudah tidak ada di kamarnya.Namun, yang lebih penting dari itu adalah—"Huuft, aman. Gue pikir dia ngapa-ngapain gue semalem," ucapnya diiringi helaan nafas lega, ketika melihat pakaiannya yang masih utuh.Arella menekuk kedua lututnya dan duduk bersila. Ia memandangi langit biru dari jendela kamarnya dan menghela nafas. "Padahal hari ini cerah banget, tapi kok hati gue ngerasa pedih ya? Kayak ada sesuatu yang bikin sedih, tapi nggak tau apa."Kedua manik gelapnya menyendu. Dia bingung kenapa mendadak jadi melow begini. Seperti akan ada sesuatu yang membuatnya merasa sedih."Kamu mau ajak Arella pindah ke apartemen sekaran
"Elo itu cowok paling nyebelin di dunia," tukas Arella sambil memegangi kepalanya. "Dan sialnya, gue orang jadi orang paling malang di dunia gara-gara nikah ama lo.""Tapi itu kan pemikiran kamu sendiri. Mungkin orang lain beranggapan sebaliknya?""Nggak mungkin. Teman-teman gue aja heran karena gue nikah ama cowok se-cupu elo."Gilang masih fokus menatap jalanan di depannya. Capek juga beradu argumen dengan Arella yang super keras kepala."Kapan sih kita sampai? Gue capek pengen istirahat?""Bentar lagi.""Bentar-bentar doang! Bosen tau!"Dengan tangan kanan yang masih memegang setir, Gilang mengeluarkan sesuatu dari kantung depan kemejanya. "Ini."Arella mengerutkan keningnya ketika Gilang menyodorkan sebuah lolipop rasa jeruk padanya. "Lo pikir gue bocil apa?""Nggak ada batasan umur kalau mau makan permen."Gadis itu menghela nafas panjang. Ia sahut lolipop itu dari tangan Gilang bukan untuk memakannya. Tapi melemparkannya ke luar jendela mobil dengan wajah murka. "Dari sini gue m
Tok Tok TokArella mendengkus keras. Baru juga ingin santai sendirian, tapi Gilang sudah mengedor pintunya berulang kali. "Apa sih?" sentak Arella saat baru membuka pintu."Kamu mau di pesenin makan malam?" tanya Gilang dengan nada yang cukup sabar."Enggak usah! Gue kalau laper bisa beli sendiri kok.""Sekalian aja nanti pesennya.""Ya suka-suka gue! Siapa yang lo yang bisa ngatur-ngatur."Gilang menghela nafas panjang karena bentakan sang istri. "Ya udah. Terserah kamu."Arella menyipitkan matanya sebelum berkata, "Udah ya! Awas kalau lo gangguin gue lagi. Gue bakal cabut dari rumah ini.""Dan satu lagi! Selama lo masih ada di rumah gue nggak bakalan pernah keluar dari kamar ini kecuali dalam hal yang mendesak!""Kenapa kayak gitu Rel?""Karena gue benci banget sama lo! PAHAM!!"Gilang baru saja buka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Arella lebih dahulu menutup pintu dengan cukup keras. Mengabaikan suaminya yang masih berdiri di sana.***Sekarang masih pukul 5 subuh. Gilang sudah
"Ini kan?"Arella cukup kaget saat melihat isi paket yang baru saja dia dapatkan. Di mana di dalamnya terdapat canvas, cat air, palet cat, dan beberapa benda untuk keperluan melukis."Kenapa Gilang beli ginian?" tanya Arella pada dirinya sendiri. "Apa ini buat gue?"Arella memang suka melukis. Biasanya gadis itu menghabiskan waktu luangnya untuk menggambar apa saja yang dia sukai.Tapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana Gilang tau kalau dia menyukai hobby yang satu ini?"Apa gue telfon aja si Gilang?" pikirnya lagi. "Gue penasaran banget ama alat-alat ini beneran buat gue atau enggak."Setuju dengan idenya, Arella pun mengambil handphone miliknya untuk menelfon sang suami. Tapi belum sempat ia melakukan itu, Gilang lebih dahulu menelponnya. Pria itu seperti sudah dapat feeling kalau dia sedang membutuhkan kejelasan dari Gilang.["Halo, Assalamu'alaikum."] Gilang menyapa dari line seberang."Gilang elo—"["Jawab dulu dong salamnya!"]Arella berdecih. Padahal dia mau langsung to the poin