Share

Ngapain Di Dalam Kamar

"E-elo?! Elo ngapain di sini?"

Arella kaget bukan main. Dan itu karena Gilang berada di kamarnya. Kamar pribadinya.

"Kenapa? Ini kan kamar pengantin?" Gilang sedang melepaskan baju pengantinnya, menatap Arella dengan wajah tanpa dosa.

"Yang bener aja lo!" Gadis berkebaya warna putih itu langsung menerjang masuk ke dalam dan mendorong dada Gilang. "Ini itu kamar gue! Seenaknya aja lo masuk ke sini!"

"Orang tua kamu yang nyuruh aku ke sini."

"Keluar lo dari sini!" Bentak Arella. "Lo lupa isi perjanjian isi kita waktu itu?"

"Terus aku harus tidur di mana?" tanya pemuda berkaca mata minus itu. "Lagipula, Apa kamu nggak bingung, kalau seandainya orang tua kamu nanya kenapa kita pisah ranjang?"

Pertanyaan Gilang barusan membuat Arella tertampar kenyataan.

"Tapi gue males kalau harus sekamar ama lo!"

"Ya mau gimana lagi, kan ini udah konsekuensi."

Arella mendengkus. "Tapi lo tidur di lantai!"

Gilang menghela nafas dan mengangguk. "Okey."

Gadis yang masih dibalut pakaian pengantin itu akhirnya bisa sedikit lebih rileks. Kemarahannya tidak sebesar beberapa waktu yang lalu.

"Eh— lo mau apa?" Kedua bola Arella hampir copot saat melihat Gilang kembali sibuk melepaskan beskap yang dia gunakan.

"Mau ganti baju. Emangnya apa lagi?" balas Gilang santai.

"Cowok sinting lo! Kalau mau ganti baju ya sana! Ke kamar mandi! Ngapain di depan mata gue?!" omel Arella.

"Kenapa? Kan kita udah muhrim."

"Najis banget gue!" tukas Arella kembali emosi. "Kalo lo nekat ganti di sini! Gue mending keluar aja!"

Gilang sebenarnya ingin sekali melanjutkan niatnya itu, tapi melihat kondisi Arella yang sepertinya sudah lelah sama seperti dirinya, Gilang pun memutuskan untuk berhenti menggoda perempuan 20 tahun tersebut.

"Oke. Aku ganti di kamar mandi," ucap Gilang kemudian.

"Gitu kek dari tadi!"

Arella memperhatikan Gilang yang mulai menghilang dari pandangannya. Sungguh, dia juga tidak paham kenapa begitu benci pada Gilang. Padahal pria itu tidak pernah melakukan hal yang buruk padanya. Tapi, entah kenapa, setiap hal yang dia lakukan, selalu saja membuat Arella merasa kesal.

*

"Nih! Bantal sama selimut buat alas lo tidur!"

Baru juga keluar dari kamar mandi, Gilang sudah disambut dengan lemparan bantal dari sang istri. Siapa lagi kalau bukan Arella.

"Lo tidur di bawah aja!"

Pria dengan kaos oblong lengan panjang, plus celana panjang itu memeluk bantal pemberian Arella sambil berkata, "Kamu kok udah ganti baju?"

"Kepoan banget sih?"

"Kan aku cuma nanya. Siapa tau kamu nggak mandi."

"Nggak sopan! Gue mandi di kamar bawah, anjir!" sahut Arella. Perempuan itu memang sudah ganti baju dengan piyama lengan panjangnya.

"Nanya aja nggak boleh," beo Gilang sambil menata lembaran selimut untuk dia gunakan sebagai alas tidur.

"Kalau tidur jangan lupa baca do'a!" ucap Gilang memperingatkan Arella yang sudah rebahan lebih dulu. "Biar kamu nggak mimpi buruk."

"Iya. Elo mimpi buruknya!"

"Astaghfirullah! Jahat."

Arella mendengkus. Ia menatap langit-langit kamarnya sebelum kembali berkata, "Awas aja kalo lo aneh-aneh pas gue tidur."

"Emang gue mau ngapain?"

"Ya siapa tau lo mau pegang-pegang gue atau yang lain," sahut Arella sambil memeluk guling.

"Tenang aja, aku nggak akan maksa kamu buat ML sebelum dapat ijin dari kamu. Aku nggak sebrengsek itu kok."

"Iya. Gue lupa, selain nggak brengsek— lo kan juga letoy," ejek Arella.

Gilang hanya memasang wajah datar saat lagi-lagi sang istri menyebutnya seperti itu. "Ya itu karena kamu belum kenal aku secara utuh."

"Ya terus? Kalau gue kenal lo secara mendalam, gue bakal jatuh cinta gitu sama lo? Enggak ya! Nggak bakal!"

"Itu cuma masalah waktu kok."

"Jangan terlalu berharap."

Hening. Gilang tidak mengatakan apapun. Dia malah sibuk berpikir sambil menghadap ke atap. Posisinya sama persis dengan Arella.

"Aku boleh nanya sesuatu nggak?"

"Nggak. Gue males jawab soalnya," balas Arella dengan suara yang lebih pelan. Dia sepertinya sudah mulai merasa mengantuk. Dan itu normal karena sekarang sudah hampir jam 01.00 malam.

"Aku penasaran, kenapa kamu sampai nggak bisa move on dari Sakti. Padahal kalian udah nggak sama-sama lebih dari 3 tahun."

Pertanyaan Gilang itu membuat Arella kembali segar. Dia tidak menyangka jika suaminya itu akan membahas masalah Sakti.

"Kenapa lo tiba-tiba nanyain dia?"

"Ya aku pengen tau, pria seperti apa yang bisa menaklukkan perempuan berhati batu seperti kamu." Gilang memasang ekspresi datar, menunggu jawaban istrinya membuat ia sedikit deg-degan.

"Dia—" Arella menahan nafas. Gadis itu mendadak jadi sangat kalem ketika membahas mendiang mendiang kekasihnya. "Dia baik, ganteng, perhatian."

"Semuanya relatif, Rel. Pasti ada satu hal yang membuat kamu benar-benar jatuh hati ke dia."

Arella memejamkan mata. Pertanyaan Gilang membuat ia harus menguras kembali kenangan manis saat bersama dengan Sakti. Banyak hal yang membuat ia merasa jatuh cinta pada lelaki itu. Bahkan hanya dengan melihat senyum di wajah sakti saja, sudah berhasil membuatnya merasa nyaman.

"Gue nggak tau. Gue nggak ngerti kenapa bisa secinta itu ke dia." Akhirnya, jawaban itulah yang keluar dari bibir Arella. "Lagian, kenapa sih lo malah bahas gituan? Mau lo tau gimana sikap Sakti ke gue selama ini, lo nggak bakal bisa gantiin dia."

"Aku tau kok. Emang cinta pertama itu ngga bakal bisa dilupain," ucap Gilang sambil tersenyum pasrah. "Bahkan Aisyah aja pernah cemburu sama Khadijah gara-gara Rasulullah masih ingat dan sering nyebut nama istri pertamanya."

"Nah itu elo ta—"

"Tapi, pemenangnya adalah orang yang sampai terakhir bisa menemani kamu. Orang yang bertahan buat kamu, orang yang selalu ada buat kamu. Itu menurutku."

Kali ini Arella benar-benar tidak bisa berkata apapun lagi. Menurutnya, Gilang memang terlalu percaya diri.

"Jadi, walaupun di hati kamu masih ada Sakti. Aku nggak pernah mempermasalahkan itu, Rel. Karena gimana pun juga, cuma aku yang bisa nikahin kamu dan aku yakin— suatu saat nanti hati kamu juga bakal jadi milikku." Gilang mengatakan semua itu dengan raut wajah yang tampak serius. Dia tampaknya sedang tidak main-main dengan ucapannya. Walaupun Arella tidak bisa melihat bagaimana Aura Gilang yang terasa berbeda ketika mengatakan itu semua.

"Lo kayaknya udah kecapekan deh! Bicara lo makin ngelantur!" balas Arella sedikit kikuk.

"Mungkin sekarang kamu nggak nganggap serius apa yang aku katakan. Tapi aku yakin suatu saat nanti kamu bakalan tahu kalau kalimat aku ini benar adanya."

Arella menarik bedcover di bawah kakinya dan mulai menutupi wajahnya dengan guling. "Diem lo! Jangan bicara yang enggak-enggak! Gue mau tidur!" ucapnya sambil mati-matian menahan rasa tak nyaman di hatinya.

Namun...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status