Deru nafasku dan suamiku saling memburu, tatkala tangan liarnya menjelajahi setiap lekuk tubuhku.
Bibir kami saling bertautan, keringat bercucuran, aku sangat menikmati ciuman pertama yang Mas Indra berikan untukku.
Sebelumnya perkenalkan dulu. Namaku Putri, umurku 25 tahun. Malam ini adalah malam pertamaku bersama suamiku Mas Indra. Aku tak menyangka hidupku sangat beruntung karena di nikahi oleh anak dari pemilik perusahan tempat dimana aku bekerja. Dua bulan pacaran, Mas Indra membuktikan keseriusannya dengan mengajakku ke pelaminan.
Ayah Mas Indra saat ini masih di luar negeri mengurus bisnisnya, entah kenapa Mas Indra tiba-tiba memutuskan menikah denganku saat Ayahnya masih sibuk dengan pekerjaannya. Semua terasa begitu mendadak, bahkan muncul gosip di kantor bahwa kami cepat-cepat menikah karena aku telah hamil lebih dulu. Padahal saat proses pacaran, jangankan meniduriku, menciumku saja tidak pernah di lakukan oleh Mas Indra.
"Kamu, siap, Put?" tanya Mas Indra. Aku mengangguk malu sambil menyembunyikan wajah tersiksaku karena pemanasan-pemanasan yang Mas Indra lakukan beberapa saat yang lalu.
Aku mengambil nafas dalam-dalam sebelum kami memulai. Tak lupa ku pejamkan mata untuk menyingkirkan rasa gerogiku.
Baru saja kami akan memulai, kami di kejutkan oleh suara dering ponsel suamiku. Dengan wajah frustasi Mas Indra menjauhkan tubuhnya dariku.
"Kenapa enggak di matikan dulu ponselnya sih, Mas?" tanyaku dengan raut wajah kecewa.
"Aku lupa, sayang. Maaf!" jawab Mas Indra sembari berjalan meraih ponsel yang dia letakan di atas meja.
Kulirik jam di dinding kamar, dalam hatiku mengutuk siapa bedebah yang berani menelepon suamiku tengah malam begini. Terlebih malam ini adalah malam pertamaku dengan Mas Indra. Apa orang itu tak punya rasa segan sama sekali pada kami berdua?
"Put, ternyata Papah yang telepon. Boleh aku angkat teleponnya?" tanya Mas Indra. Mendengar ternyata Ayahnya yang menelepon, rasa amarahku sedikit mereda.
"Angkat saja, Mas. Enggak apa-apa!" jawabku sambil menutup tubuh dengan selimut.
Mas Indra pun sedikit menjauh dariku. Entah apa yang akan dia dan Ayahnya bicarakan sampai tak mau ada orang lain yang ikut mendengarnya.
"Sayang, aku enggak bisa lanjutin kegiatan kita dulu. Papah bilang Tante Sarah sakit. Aku mau bawa Tante Sarah ke dokter dulu!"
Tante Sarah adalah Ibu tiri suamiku. Aku sedikit tak percaya mendengar kabar beliau sakit. Tadi siang saat pesta pernikahanku dan Mas Indra di gelar, dia terlihat baik-baik saja.
"Sakit apa, Mas? Tadi siang dia kelihatannya baik-baik saja, kok!"
"Mungkin kecapean karena beberapa hari ini ikut sibuk ngurusin pernikahan kita." jawab Mas Indra sambil memakai kembali bajunya.
"Kalau cuma sakit karena kecapean kan bisa besok saja ke dokternya, Mas. Ini udah tengah malam, loh."
Entah kenapa aku merasa tak ikhlas membiarkan Mas Indra pergi dengan ibu tirinya. Ini malam pertama kami tega-teganya wanita itu mengusik kebahagiaan kami.
"Kalau sampai Tante Sarah kenapa-kenapa, kamu mau tanggung jawab?" tanya Mas Indra. Tentu saja aku menggelengkan kepala cepat. Ayah Mas Indra sangat sayang pada istrinya, aku tak mau di salahkan jika terjadi apa-apa dengan wanita itu.
"Kalau gitu aku mau bawa Tante Sarah berobat dulu. Kamu enggak usah khawatir, secepatnya aku akan balik kesini kok!"
Mas Indra mengecup pucuk kepalaku, dia bersiap pergi menuju kamar Tante Sarah yang kebetulan letaknya tepat di depan kamar kami
"Tapi Mas, tengah malam begini. Kamu mau bawa Tante Sarah berobat kemana?" tanyaku sebelum lelaki itu melangkah pergi.
"Ke Dokter pribadi keluarga ini. Papah bilang sudah menghubungi Dokter Hasan jadi kamu enggak usah khawatir!"
Aneh, kenapa bukan Dokter Hasan saja yang kesini kalau benar ibu tiri suamiku sakit. Entah kenapa aku merasa ganjal dengan alasan-alasan yang suamiku berikan. Dari awal suamiku mengenalkanku pada ibu tirinya aku melihat tatapan kebencian dari wanita itu kearahku. Jadi kecurigaanku akan niat jahat wanita itu bukan tanpa alasan. Aku berpikir mungkin wanita itu membenciku karena aku orang miskin. Dia mungkin malu mengakuiku sebagai menantu di rumah ini.
"Owh, gitu. Ya sudah, kamu hati-hati saat nyetir nanti, ya."
"Iya. Aku pergi dulu ya, sayang!"
Aku menghembuskan nafas kasar setelah suamiku keluar kamar. Beberapa saat kemudian ku dengar langkah suamiku dan Tante Sarah berjalan menuruni anak tangga. Aku cepat-cepat mengenakan bajuku, demi bisa melihat mereka dari balkon kamarku.
Lihat, firasatku ternyata benar. Tante Sarah sama sekali tak terlihat sakit. Mana ada orang sakit berpenampilan seksi seperti itu, apalagi memakai high heels tinggi seperti yang di kenakannya sekarang. Dia lebih terlihat seperti ingin mengunjungi sebuah klub di banding mengunjungi dokter.
Mas Indra ini gimana, kok percaya begitu saja kalau wanita itu sakit. Jelas-jelas wajahnya sama sekali tak pucat. Sebegitu takutkah dia dengan Ayahnya sampai dia mengorbankan malam pertama kami hanya untuk menolong orang yang hanya pura-pura sakit saja.
Aku kembali menuju ranjangku dengan wajah cemberut. Malam pertama yang harusnya ku lalui penuh kebahagiaan harus berakhir kesepian seperti ini.
Sudah dua jam lebih Mas Indra pergi, karena tak kunjung pulang aku mencoba menghubunginya. Namun betapa kecewanya aku saat tahu nombornya tak aktif.
Karena lelah menunggu, aku tak sadar sampai ketiduran. Hingga sebuah kecupan di keningku tiba-tiba membangunkanku.
"Selamat pagi sayang!" ucap Mas Indra sembari menampikan senyum termanisnya.
"Loh, Mas sudah pulang?" tanyaku sembari berusaha bangkit.
"Udah dari semalam aku balik!"
"Kenapa enggak bangunin aku?" tanyaku menunjukan raut wajah bersalah.
"Aku enggak tega mau bangunin kamu, keliatannya kamu kecapean banget semalem."
"Padahal enggak apa-apa Mas bangunin aku aja. Aku khawatir banget karena kamu enggak pulang-pulang. Ditambah kamu enggak bisa di hubungi karena ponselmu enggak aktif!"
"Eh, ya. Lupa kasih tahu. Semalam ponsel aku habis baterainya. Maaf ya, sayang buat kamu khawatir!"
"Ya udah, enggak apa-apa. Yang penting sekarang kamu udah pulang. Aku mandi dulu, ya. Baru setelah itu kita sarapan bareng!"
"Ok!" balas suamiku. Akupun bergegas bangun lalu melangkah ke kamar mandi.
Selesai mandi, sudah tak kulihat ada suamiku lagi. Aku kemudian turun untuk menyusulnya ke bawah.
Belum sampai di ruang makan, ku dengar suara tawa Tante Sarah menggelegar sampai ke ruang depan. Aku menggelengkan kepala mendengarnya. Bisa-bisanya semalam dia mengaku sakit padahal suaranya bisa sekeras itu.
"Eh, Putri. Sudah bangun. Maaf ya kalau semalam Tante ganggu malam pertama kamu!" ucap Tante Sarah. Mau tak mau aku menanggapi secara lembut ucapannya. Padahal hati ini sudah sangat dongkol padanya.
"Enggak apa-apa, Tante. Gimana keadaan Tante sudah agak baikan?" tanyaku kepada wanita yang berumur sekitaran tiga puluh lima tahun itu.
"Ya, karena Tante sudah minum obat yang tepat jadi Tante cepat sembuh!" jawabnya sambil mengunyah. Aku hanya mengangguk sebagai respon ucapannya.
Beberapa saat kemudian keadaan menjadi hening. Hanya suara dentingan sendok yang terdengar di ruang makan ini.
"Indra, kamu sibuk enggak kira-kira siang ini?" Tiba-tiba suara Tante Sarah memecah keheningan kami."Enggak Tante. Memangnya kenapa?"
"Anterin Tante belanja bulanan, ya. Semua barang pribadi Tante habis. Mau nunggu Papahmu pulang masih minggu depan!"
Apa? Setelah semalam merusak malam pertamaku sekarang Tante Sarah mau menggangguku lagi.
"Aku izin dulu sama Putri, Tan." ucap suamiku sambil menatap kearahku.
"Putri pasti izinin kok, Ndra. Ya kan, Put?" tanya Tante Sarah. Percaya diri sekali dia bicara seperti itu.
"Maaf Tante bukan saya enggak izinin Mas Indra pergi sama Tante. Tapi saya enggak tega, sejak pesta kemarin Mas Indra belum istirahat sama sekali!"
Wajah ramah Tante Sarah tiba-tiba berubah marah setelah mendengar jawabanku. Aku tak peduli jika gara-gara masalah ini membuat wanita itu makin membenciku.
Aku dan Mas Indra tak langsung ke kamar setelah sarapan selesai. Kami berbincang sambil menonton televisi di ruang keluarga.Mumpung ibu tirinya sedang tak ada, aku berniat mengeluarkan semua unek-unekku pada lelaki yang baru kemarin sah menjadi suamiku tentang ibu tirinya. Mas Indra harus tahu betapa terganggunya aku dengan sikap wanita itu yang seenaknya."Mas, Tante Sarah kok kelihatannya masih enggak suka sama aku. Aku perhatikan dari semalem dia kayaknya selalu berusaha menjauhkan kita."Mas Indra mengecilkan volume televisi lalu dia melirik sinis kearahku. Dari caranya menatapku, jelas sekali menunjukan sikap marahnya karena aku berbicara hal buruk tentang ibu tirinya. Aku tahu, sejak kami berpacaran dulu dia memang tak suka ketika aku membahas tentang Tante Sarah apalagi membicarakan tentang keburukan wanita itu. Aku pikir karena kami sekarang sudah menikah responnya akan berubah. Tapi kenyataannya aku salah."Cuma karena hal sepele seperti tadi kamu punya pikiran seperti itu.
Aku menatap punggung suamiku dengan perasaan hancur. Dia begitu terburu-buru pergi hingga tak sadar perkataannya barusan membuatku begitu sakit hati. Kali ini aku akui aku yang salah, tapi tidakkah dia berfikir, aku melarangnya pergi mengantarkan Tante Sarah juga karena ada alasannya. Satu persatu ku ambil kembali pakaianku yang berserakan di lantai. Ku kenakan lagi pakaian itu dengan air mata yang menetes. Kebahagian yang ku impikan setelah menikah sepertinya takan pernah terwujud jika kami masih satu atap dengan ibu tirinya. Siang ini perasaanku kacau, disatu sisi aku ingin menghubungi suamiku menanyakan keadaan Tante Sarah. Di sisi lain, aku merasa gengsi melakukannya terlebih dahulu. Kalimatnya beberapa jam lalu masih terngiang jelas di telinga. Rasa sakit dan kecewa membuatku enggan menghubungi lelaki yang baru kemarin sah jadi suamiku. Di tengah rasa gelisahku, tiba-tiba ku dengar suara bel berbunyi. Bergegas aku bangkit dari dudukku kemudian berjalan kearah pintu. "Dira, kam
"Kami enggak mau pergi, mau tinggal dimana kalau kami meninggalkan rumah ini!" tangis ibuku pecah. Aku masih berdiri di depan pintu agar bisa menguping pembicaraan mereka. "Mana kami peduli kalian mau tinggal dimana. Ingat, sertifikat rumah ini sudah ditangan kami. Karena kalian sudah tidak bisa membayar hutang kalian, saat ini juga rumah ini sudah menjadi milik kami!" ucap lantang renternir itu. Tentu saja aku sangat syok mendengar ucapannya. "Pah, Mah. Untuk apa kalian berhutang?" Papah dan Mamah berdiri dari tempatnya bersimpuh. Dia terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Terlebih aku datang membawa banyak barang pulang. "Itu--" Mamah menggantung ucapannya. Dia menoleh kearah Papah seakan minta persetujuan pada Papah untuk menceritakan hal sebenarnya. "Kenapa enggak jawab pertanyaanku, Mah?" tanyaku dengan nada marah. Papah menggelengkan kepala melarang Mamah mengatakan hal sebenarnya. "Apa uang yang ku kasih selama ini kurang, Pah, Mah?" tanyaku dengan sorot mata kecewa
"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanyaku dengan sangat syok. Bisa-bisanya mereka berpelukan seperti ini dalam kamar. Siapapun yang melihatnya pasti akan berpikiran macam-macam termasuk aku, istrinya."Put, jangan salah paham. Aku bisa jelasin soal ini.""Aku tak mau mendengar apapun. Kalian sangat menjijikan!" ucapku berusaha berjalan pergi, sayangnya tiba-tiba kakiku terasa sakit sekali kugerakan."Put, jangan pergi. Ini semua tak seperti yang kamu pikirkan!" ucap suamiku lagi.Mau tak mau aku berhenti berusaha melangkah. Kakiku benar-benar sakit kugerakan.Mas Indra mendekat dan menyerahkan ponsel ibu tirinya."Tante Sarah baru saja mendapat pesan gambar dari seseorang. Dia sedih dan terus menangis gara-gara gambar tersebut. Tadi itu aku cuma lagi nenangin dia!" ucap suamiku. Aku terkejut luar biasa melihat sebuah gambar yang suamiku tunjukan."Ini gambar Papah sama siapa, Mas?" tanyaku pada suamiku. Setahuku Ayah mertuaku sangat baik. Aku juga tak pernah mendengar hal yang buruk t
Pov Author"Buka pintunya, Mas, Tante. Kalian benar-benar brengs*k sudah bohongi aku selama ini!" Putri berseru keras sekali. Dira yang ada dalam kamarnya ikut keluar untuk melihat apa yang terjadi."Gawat, Mah. Itu suara Putri." Indra yang baru ingin melanjutkan adegan panasnya bersama ibu tirinya terpaksa mengurungkan niatnya. Lelaki itu buru-buru kembali memakai bajunya."Tenang, biar Putri aku yang urus!" Sarah membuka pintu kamar setelah selesai memakai bajunya kembali.Plak!Sarah menampar menantunya yang dianggapnya lancang karena sudah mengganggu malam indahnya bersama anak tirinya."Ngapain kamu teriak-teriak kaya orang gila gini?" tanya Sarah dengan tatapan sangat mengerikan. Sudah saatnya kali ini dia menunjukan sifat aslinya. Hubungan gelapnya bersama Indra sudah terbongkar oleh Putri, jadi menurutnya sudah tidak ada gunanya lagi berpura-pura baik di depan menantu wanitanya itu."Tante, kalian menjijikan sekali. Ternyata selama ini aku cuma dijadikan alat untuk menutupi hub
Pov Author"Tan, gimana ini? Kita bisa ketahuan kalau Papah tahu kamu disini?" Indra terlihat sangat panik. Sarah yang baru saja selesai memakai bajunya nampak panik juga."Kamu ingat foto editan tadi siang. Kita gunakan foto itu untuk mengelabuhi Papah kamu!" ucap Sarah yang tiba-tiba punya ide jahat. Putri menatap marah dua orang itu, lagi-lagi dia merasa menjadi orang bodoh yang terus-terusan di bohongi Sarah dan Indra. Dia memakan mentah-mentah ucapan Indra yang sudah memfitnah Ayahnya sendiri demi bisa membohongi wanita itu. Ya, foto yang Indra tunjukan ternyata hanya sebuah editan."Caranya?"Sarah membisikan sesuatu ke Indra. Indra sempat ragu dengan ide ibu tirinya. Tapi karena tak ada cara lain lagi, dia terpaksa tetap melakukannya."Kamu sekarang temui Papah kamu. Aku akan kunci pintu dari dalam agar dia enggak tahu keadaan Putri di dalam.Indra menurut, dia langsung keluar kamar untuk menemui Ayahnya."Pah, tante lagi ada di dalam bareng Putri. Seharian ini dia menangis."L
"Kau sekarang tahu betapa ganasnya suami kamu saat menyerang aku, kan? Jadi jangan pernah berpikir lelaki itu doyan sama wanita yang sangat bisa seperti kamu!"Setelah dipuaskan anak tirinya, kembali Sarah menyerang menantu wanitanya dengan kalimat pedasnya. Dia amat sangat puas melihat penderitaan wanita itu."Aku bawa Putri ke atas ranjang ya, Tant. Badannya terlihat lemah sekali. Kalau terjadi apa-apa sama dia, kita juga yang bakal susah!" ucap Indra. Sarah sebenarnya masih tak terima kalau Putri diletakan di atas ranjang milik anak tirinya, tapi melihat keadaan Putri yang makin lemah, dia akhirnya mengizinkan Indra membawa Putri ke sana."Sekarang gimana, Tant. Apa rencana kita selanjutnya?" tanya Indra. Sarah nampak berpikir sejenak. Dia dan Indra takan mungkin bisa terus-terusan menyembunyikan Putri dari kamar itu."Esok, kamu bawa Ayah kamu ke luar dari rumah ini. Saat kalian tak ada, Tante akan bawa Putri ke luar rumah." ucap Sarah."Kalau boleh tahu, Tante mau bawa dia kemana
Put, karena mood Papah lagi bagus. Papah juga sekalian mau beri kejutan buat kamu!" Setelah selesai memeluk istrinya, Dicky kembali fokus pada Putri."Kejutan?" Putri bertanya pada Ayah mertuanya secara hati-hati karena Sarah dan Indra memperhatikan setiap gerak-geriknya."Iya. Tapi kamu harus janji dulu sama Papah kamu jangan tersinggung!"Semua orang yang berada di ruang makan beralih menatap ke arah Dicky. Tak sabar menunggu Dicky melanjutkan ucapannya."Putri enggak akan tersinggung, Pah. Putri janji!"Dicky tersenyum lalu memberikan sebuah map pada Putri."Apa ini, Pah?" tanya Putri kemudian."Buka saja!" perintah Dicky. Putripun menuruti ucapan Ayah mertuanya."Pah, apa ini enggak berlebihan?" tanya Putri setelah melihat isi dalam map tersebut ternyata sebuah sertifikat rumah. Dan nama yang tertera disana ialah namanya, bukan nama Indra."Kamu layak mendapatkannya, Put. Papah berterimakasih karena sudah mau menikah dengan satu-satunya anak Papah. Kamu jangan tersinggung, ya. Kar