Aku dan Mas Indra tak langsung ke kamar setelah sarapan selesai. Kami berbincang sambil menonton televisi di ruang keluarga.
Mumpung ibu tirinya sedang tak ada, aku berniat mengeluarkan semua unek-unekku pada lelaki yang baru kemarin sah menjadi suamiku tentang ibu tirinya. Mas Indra harus tahu betapa terganggunya aku dengan sikap wanita itu yang seenaknya.
"Mas, Tante Sarah kok kelihatannya masih enggak suka sama aku. Aku perhatikan dari semalem dia kayaknya selalu berusaha menjauhkan kita."
Mas Indra mengecilkan volume televisi lalu dia melirik sinis kearahku. Dari caranya menatapku, jelas sekali menunjukan sikap marahnya karena aku berbicara hal buruk tentang ibu tirinya. Aku tahu, sejak kami berpacaran dulu dia memang tak suka ketika aku membahas tentang Tante Sarah apalagi membicarakan tentang keburukan wanita itu. Aku pikir karena kami sekarang sudah menikah responnya akan berubah. Tapi kenyataannya aku salah.
"Cuma karena hal sepele seperti tadi kamu punya pikiran seperti itu. Bagaimana pun juga Tante Sarah itu istri Papah. Kalau dia butuh bantuan sudah semestinya dia meminta bantuan sama aku, Put."
"Mas, aku tidak keberatan kalau dia meminta bantuan sama kamu. Tapi dia juga harus tahu waktu, dong! Semalam dia sudah mengacaukan malam pertama kita. Masa hari ini dia juga mau mengulanginya. Masalah belanja kebutuhannya dia bisa kan menyetir sendiri ke mall. Kenapa juga tadi dia malah minta kamu antarkan."
"Tante Sarah kalau belanja lumayan banyak, wajar kalau dia minta bantuanku. Sudahlah, Put. Ini masalah sepele saja. Enggak usah di besar-beasarkan. Lagian aku juga sudah nurutin kemauan kamu yang melarangku pergi dengan Tante Sarah, kan?"
Benar kata Mas Indra. Yang terpenting sekarang dia masih ada bersamaku. Aku tak mau karena kemarahanku yang membabi buta pada Tante Sarah malah membuat kami bertengkar.
"Iya, Mas. Maaf, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada ibu tirimu. Jujur, aku merasa dia masih tak mau menerima kehadiranku di rumah ini makanya dia selalu mengganggu kebersamaan kita. Aku sadar diri Mas, aku cuma gadis miskin yang kebetulan beruntung karena di nikahin orang kaya seperti kamu. Tapi, tetap saja aku merasakan sakit hati kalau terus-terusan di perlakukan seperti ini oleh ibu tirimu."
Mas Indra memegang kedua bahuku, amarahnya mereda melihat kesedihan yang ku tunjukan di depannya.
"Aku janji, aku akan berusaha membuat Tante Sarah suka sama kamu, Put. Aku akan meyakinkannya kalau kamu adalah wanita yang paling tepat untuk aku."
"Beneran, Mas? Kamu enggak bohong, kan?"
"Buat apa aku bohong sama istri sendiri, sayang."
Tangan Mas Indra beralih ke wajahku. Dia mendekatkan wajahku ke wajahnya. Mendapat perlakuan manis darinya tiba-tiba jantungku berdetak sangat kencang. Aneh memang, Mas Indra adalah suamiku tapi aku terus merasa berdebar-debar saat di perlakukan semanis ini.
Dengan lembut Mas Indra menciumku, aku memejamkan mata dan mulai pasrah.
Tangan Mas Indra bergerak masuk ke dalam bajuku. Namun tiba-tiba aku menghentikan tangannya saat menyadari keberadaan kami yang ternyata ada di ruang keluarga.
"Mas, ini ruang keluarga. Nanti kalau ada yang lihat gimana?" tanyaku pada Mas Indra.
"Enggak akan ada yang lihat, sayang. Dira ikut Tante Sarah berbelanja. Rumah sedang kosong jadi enggak akan ada yang memergoki permainan kita disini!"
Dira adalah pembantu di rumah ini. Hanya saja wanita itu bekerja pagi sampai sore saja. Atas ide Mas Indra beberapa saat yang lalu, Tante Sarah akhirnya setuju juga membawa Dira bersamanya meski terlihat sekali dengan sangat terpaksa.
Aku sudah pasrah tatkala Mas Indra mulai membuka satu persatu bajuku. Sungguh dari semalam aku tak sabar menantikan Mas Indra melakukan kewajibannya sebagai suamiku.
Dreettt...Dreeeettt...!
Sekali lagi aku di buat kesal karena getaran ponsel milik Mas Indra. Dia berhenti menyentuhku dan ingin meraih ponselnya tapi dengan cepat aku tarik tangannya.
"Mas, enggak usah peduliin ponselmu dulu. Permainan kita belum selesai!" ucapku tegas. Aku tak mau ada yang mengganggu kami lagi. Sudah cukup semalam aku mengalah.
"Ok!"
Mas Indra menurut, namun sialnya si penelpon tak mau berhenti mengganggu kami. Dia terus menghubungi suamiku hingga membuat konsentrasi kami pecah.
"Tunggu sebentar, Mas."
Aku bangkit lalu menyambar ponsel Mas Indra yang terletak di atas meja. Aku tersenyum sinis melihat layar ponselnya, sudah ku duga orang yang menghubunginya adalah Tante Sarah.
"Kenapa ponselku di matiin?" tanya bingung suamiku saat aku tanpa ragu menonaktifkan ponselnya.
"Biar enggak di ganggu ibu tiri kamu terus." jawabku tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Aku kembali meletakan ponsel suamiku diatas meja lalu menarik tangan suamiku untuk melanjutkan kegiatan kami.
"Ah, Mas!"
Aku benar-benar merasa gila saat kedua tangan Mas Indra meremas bagian dadaku. Sepertinya pemanasan ini harus segera ku akhiri agar aku tak merasa tersiksa seperti ini.
"Mas, ayo. Sekarang saja!" ucapku setengah berbisik. Mas Indra mengangguk penuh semangat. Namun baru saja kami hendak melakukan penyatuan, kembali kami di ganggu oleh deringan telepon rumah ini. Aku benar-benar sangat yakin itu dari Tante Sarah. Aku mendorong tubuh Mas Indra yang masih ada diatasku karena saking marahnya.
"Angkat dulu telepon dari ibu tirimu, Mas. Sumpah, nafsuku hilang sudah karena dia terus saja mengganggu kita!"
"Tapi, itu belum tentu dari Tante Sarah, Put. Enggak usah berpikir buruk dulu!"
Suamiku lagi-lagi membela ibu tirinya.
"Aku yakin itu dari Tante Sarah. Kalau enggak percaya cepetan angkat sana!"
Suamiku cepat-cepat mengenakan kembali bajunya lalu berlari ke ruang depan. Aku membanting bantal sofa saking kesalnya.
Beberapa lama kemudian suamiku kembali dengan raut wajah panik. Jujur aku penasaran kenapa dia bersikap seperti itu tapi aku enggan bertanya karena aku yakin ini tentang ibu tirinya.
"Sayang, aku harus pergi sekarang, ya. Mobil Tante Sarah nabrak pembatas jalan. Sekarang aku mau ke rumah sakit buat jenguk dia."
"Apa?"
Mendengar Tante Sarah kecelakaan membuatku merasa bersalah karena sempat melarang suamiku mengangkat telepon dari wanita itu.
"Papah pasti marah besar kalau sampai tahu aku biarin Tante Sarah menyetir sendiri. Mampus!" ucap suamiku membuatku makin merasa bersalah padanya.
"Papah enggak mungkin akan marah. Biar nanti aku yang jelasin ke dia kalau--"
"Kalau apa? Kalau kamu yang melarangku mengantarkan dia ke mall? Kamu pikir Papah akan nerima alasan kamu begitu saja? Yang ada juga kamu malah jadi di benci olehnya!'
Aku terdiam melihat suamiku mulai meninggikan suaranya.
"Mulai sekarang tolong jangan larang-larang aku buat bantuin ibu tiri aku sendiri, Put. Kalau sampai terjadi sesuatu sama dia memangnya kamu mau bertanggungjawab?"
Aku sedikit syok mendengar ucapan suamiku. Bukannya beberapa saat yang lalu dia sama sekali tak mempermasalahkan hal ini. Kenapa sikapnya jadi seperti ini?
"Sekali lagi dengerin aku ngomong, Put. Kalau kamu mau pernikahan kita langgeng cukup jangan pernah kamu larang aku buat bantu Tante Sarah. Aku enggak mau disalahkan Papah jika terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Mengerti?" tanya suamiku dengan sorot mata mengerikan. Aku hanya mengangguk dengan tangan gemetar. Baru kali ini aku melihat Mas Indra semarah ini. Memang semua berawal dari keegoisanku, tapi tidakkah dia paham bahwa aku melakukannya karena aku kesal terus di ganggu oleh wanita itu.
Aku menatap punggung suamiku dengan perasaan hancur. Dia begitu terburu-buru pergi hingga tak sadar perkataannya barusan membuatku begitu sakit hati. Kali ini aku akui aku yang salah, tapi tidakkah dia berfikir, aku melarangnya pergi mengantarkan Tante Sarah juga karena ada alasannya. Satu persatu ku ambil kembali pakaianku yang berserakan di lantai. Ku kenakan lagi pakaian itu dengan air mata yang menetes. Kebahagian yang ku impikan setelah menikah sepertinya takan pernah terwujud jika kami masih satu atap dengan ibu tirinya. Siang ini perasaanku kacau, disatu sisi aku ingin menghubungi suamiku menanyakan keadaan Tante Sarah. Di sisi lain, aku merasa gengsi melakukannya terlebih dahulu. Kalimatnya beberapa jam lalu masih terngiang jelas di telinga. Rasa sakit dan kecewa membuatku enggan menghubungi lelaki yang baru kemarin sah jadi suamiku. Di tengah rasa gelisahku, tiba-tiba ku dengar suara bel berbunyi. Bergegas aku bangkit dari dudukku kemudian berjalan kearah pintu. "Dira, kam
"Kami enggak mau pergi, mau tinggal dimana kalau kami meninggalkan rumah ini!" tangis ibuku pecah. Aku masih berdiri di depan pintu agar bisa menguping pembicaraan mereka. "Mana kami peduli kalian mau tinggal dimana. Ingat, sertifikat rumah ini sudah ditangan kami. Karena kalian sudah tidak bisa membayar hutang kalian, saat ini juga rumah ini sudah menjadi milik kami!" ucap lantang renternir itu. Tentu saja aku sangat syok mendengar ucapannya. "Pah, Mah. Untuk apa kalian berhutang?" Papah dan Mamah berdiri dari tempatnya bersimpuh. Dia terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Terlebih aku datang membawa banyak barang pulang. "Itu--" Mamah menggantung ucapannya. Dia menoleh kearah Papah seakan minta persetujuan pada Papah untuk menceritakan hal sebenarnya. "Kenapa enggak jawab pertanyaanku, Mah?" tanyaku dengan nada marah. Papah menggelengkan kepala melarang Mamah mengatakan hal sebenarnya. "Apa uang yang ku kasih selama ini kurang, Pah, Mah?" tanyaku dengan sorot mata kecewa
"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanyaku dengan sangat syok. Bisa-bisanya mereka berpelukan seperti ini dalam kamar. Siapapun yang melihatnya pasti akan berpikiran macam-macam termasuk aku, istrinya."Put, jangan salah paham. Aku bisa jelasin soal ini.""Aku tak mau mendengar apapun. Kalian sangat menjijikan!" ucapku berusaha berjalan pergi, sayangnya tiba-tiba kakiku terasa sakit sekali kugerakan."Put, jangan pergi. Ini semua tak seperti yang kamu pikirkan!" ucap suamiku lagi.Mau tak mau aku berhenti berusaha melangkah. Kakiku benar-benar sakit kugerakan.Mas Indra mendekat dan menyerahkan ponsel ibu tirinya."Tante Sarah baru saja mendapat pesan gambar dari seseorang. Dia sedih dan terus menangis gara-gara gambar tersebut. Tadi itu aku cuma lagi nenangin dia!" ucap suamiku. Aku terkejut luar biasa melihat sebuah gambar yang suamiku tunjukan."Ini gambar Papah sama siapa, Mas?" tanyaku pada suamiku. Setahuku Ayah mertuaku sangat baik. Aku juga tak pernah mendengar hal yang buruk t
Pov Author"Buka pintunya, Mas, Tante. Kalian benar-benar brengs*k sudah bohongi aku selama ini!" Putri berseru keras sekali. Dira yang ada dalam kamarnya ikut keluar untuk melihat apa yang terjadi."Gawat, Mah. Itu suara Putri." Indra yang baru ingin melanjutkan adegan panasnya bersama ibu tirinya terpaksa mengurungkan niatnya. Lelaki itu buru-buru kembali memakai bajunya."Tenang, biar Putri aku yang urus!" Sarah membuka pintu kamar setelah selesai memakai bajunya kembali.Plak!Sarah menampar menantunya yang dianggapnya lancang karena sudah mengganggu malam indahnya bersama anak tirinya."Ngapain kamu teriak-teriak kaya orang gila gini?" tanya Sarah dengan tatapan sangat mengerikan. Sudah saatnya kali ini dia menunjukan sifat aslinya. Hubungan gelapnya bersama Indra sudah terbongkar oleh Putri, jadi menurutnya sudah tidak ada gunanya lagi berpura-pura baik di depan menantu wanitanya itu."Tante, kalian menjijikan sekali. Ternyata selama ini aku cuma dijadikan alat untuk menutupi hub
Pov Author"Tan, gimana ini? Kita bisa ketahuan kalau Papah tahu kamu disini?" Indra terlihat sangat panik. Sarah yang baru saja selesai memakai bajunya nampak panik juga."Kamu ingat foto editan tadi siang. Kita gunakan foto itu untuk mengelabuhi Papah kamu!" ucap Sarah yang tiba-tiba punya ide jahat. Putri menatap marah dua orang itu, lagi-lagi dia merasa menjadi orang bodoh yang terus-terusan di bohongi Sarah dan Indra. Dia memakan mentah-mentah ucapan Indra yang sudah memfitnah Ayahnya sendiri demi bisa membohongi wanita itu. Ya, foto yang Indra tunjukan ternyata hanya sebuah editan."Caranya?"Sarah membisikan sesuatu ke Indra. Indra sempat ragu dengan ide ibu tirinya. Tapi karena tak ada cara lain lagi, dia terpaksa tetap melakukannya."Kamu sekarang temui Papah kamu. Aku akan kunci pintu dari dalam agar dia enggak tahu keadaan Putri di dalam.Indra menurut, dia langsung keluar kamar untuk menemui Ayahnya."Pah, tante lagi ada di dalam bareng Putri. Seharian ini dia menangis."L
"Kau sekarang tahu betapa ganasnya suami kamu saat menyerang aku, kan? Jadi jangan pernah berpikir lelaki itu doyan sama wanita yang sangat bisa seperti kamu!"Setelah dipuaskan anak tirinya, kembali Sarah menyerang menantu wanitanya dengan kalimat pedasnya. Dia amat sangat puas melihat penderitaan wanita itu."Aku bawa Putri ke atas ranjang ya, Tant. Badannya terlihat lemah sekali. Kalau terjadi apa-apa sama dia, kita juga yang bakal susah!" ucap Indra. Sarah sebenarnya masih tak terima kalau Putri diletakan di atas ranjang milik anak tirinya, tapi melihat keadaan Putri yang makin lemah, dia akhirnya mengizinkan Indra membawa Putri ke sana."Sekarang gimana, Tant. Apa rencana kita selanjutnya?" tanya Indra. Sarah nampak berpikir sejenak. Dia dan Indra takan mungkin bisa terus-terusan menyembunyikan Putri dari kamar itu."Esok, kamu bawa Ayah kamu ke luar dari rumah ini. Saat kalian tak ada, Tante akan bawa Putri ke luar rumah." ucap Sarah."Kalau boleh tahu, Tante mau bawa dia kemana
Put, karena mood Papah lagi bagus. Papah juga sekalian mau beri kejutan buat kamu!" Setelah selesai memeluk istrinya, Dicky kembali fokus pada Putri."Kejutan?" Putri bertanya pada Ayah mertuanya secara hati-hati karena Sarah dan Indra memperhatikan setiap gerak-geriknya."Iya. Tapi kamu harus janji dulu sama Papah kamu jangan tersinggung!"Semua orang yang berada di ruang makan beralih menatap ke arah Dicky. Tak sabar menunggu Dicky melanjutkan ucapannya."Putri enggak akan tersinggung, Pah. Putri janji!"Dicky tersenyum lalu memberikan sebuah map pada Putri."Apa ini, Pah?" tanya Putri kemudian."Buka saja!" perintah Dicky. Putripun menuruti ucapan Ayah mertuanya."Pah, apa ini enggak berlebihan?" tanya Putri setelah melihat isi dalam map tersebut ternyata sebuah sertifikat rumah. Dan nama yang tertera disana ialah namanya, bukan nama Indra."Kamu layak mendapatkannya, Put. Papah berterimakasih karena sudah mau menikah dengan satu-satunya anak Papah. Kamu jangan tersinggung, ya. Kar
Indra tersenyum jahat, alkohol benar-benar sudah mempengaruhi otaknya. Jika biasanya dia selalu saja berusaha mencari cara agar bisa menahan diri untuk tidak menyentuh Putri, kali ini tidak lagi. Dia pikir dengan dia melakukan itu, rasa sakit hatinya pada ibu tirinya bisa terobati. Dia sama sekali tak memikirkan perasaan hancur Putri karena perlakuannya."Kamu diam saja, jangan melawan atau aku pukul kamu!"Indra pikir setelah mengancam Putri, wanita itu akan takut dan menurut. Sayangnya dugaannya salah, saat dia melepaskan tangannya dari mulut Putri dan hendak melepaskan bajunya, Putri tiba-tiba melakukan perlawanan lagi. Putri mendorong tubuh suaminya dan langsung bangkit dan memaksa kakinya cepat-cepat berlari meski dia sangat kesakitan.Indra marah, dia buru-buru bangkit dan kembali menyeret dan menghempaskan tubuh istrinya ke atas ranjang."Kamu pikir kamu bisa lepas dari aku!"Sorot mata kemarahan dari Indra makin membuat Putri ketakutan."Mas, ibu tiri kamu tidak akan memaafkan