Suara ayam berkokok membuat kedua mata yang tertutup rapat itu perlahan terbuka. Gama kembali mendapati pemandangan atap sederhana di depan matanya. Namun, kesadarannya mulai terkecoh oleh obrolan kecil seseorang di luar kamar.
Dalam beberapa langkah, lelaki itu sudah mendekat ke ambang pintu, mendengar lebih jelas pembicaraan perempuan bernama Anna dengan seseorang yang belum ia ketahui.Tidak ada hal buruk yang ia dengar selain kekurangan ekonomi untuk menghadapi Luis. Ya! Luis, kejadian tak terduga membuat Gama mengetahui beberapa fakta tentang Luis."Ya, sudah. Ibu akan siapkan makanan, Anna periksalah kondisi tuan Gama."Kalimat yang terdengar samar-samar itu sontak membuat Gama terkejut ketika pintu terbuka secara tiba-tiba. Baik Anna maupun Gama menjadi tersentak satu sama lain."Tu-tuan sudah bangun?""Sudah.""Istirahat saja lagi, sampai tuan benar-benar pulih."Gama tidak menolak, ia berjalan kembali dan duduk di tepi ranjang. Kini lelaki itu menatap Anna yang masih berdiri di posisi semula."Kenapa di sana? Kemarilah. Aku perlu menanyakan sesuatu padamu."Anna kemudian duduk di kursi kayu kecil tak jauh dari ranjang berada. Perempuan itu menunduk, entah karena malu atau karena takut, Gama masih menerka-nerkanya sendiri."Apa tidak ada rumah sakit di sini? Kenapa aku tidak mendapat perawatan medis saja? Kenapa kamu dan ibumu malah merawatku seenaknya?""Maaf, Tuan. Rumah sakit di sini cukup jauh dan harus di tempuh beberapa kali dengan kendaraan umum, akan ada banyak pengeluaran yang harus kami siapkan, sedangkan kami tidak memilikinya. Tapi, tuan tidak perlu khawatir, aku sudah banyak belajar tentang pengobatan alternatif, tuan pasti akan segera pulih."Mendengar penuturan Anna membuat Gama melirik dari ujung rambut sampai ujung kaki sosok di depannya. Cantik, pandai, sopan, namun tetap tidak memilih untuk menerima banyak harta dari lelaki yang tergila-gila padanya."Usiamu berapa?"Anna mengangkat wajah menatap Gama dengan sedikit kerutan di keningnya. "Hah?""Usiamu berapa?" Gama kembali mengulangi pertanyaan yang sama."Sembilan belas tahun.""Apa? Sembilan belas tahun? Kamu dua belas tahun lebih muda dariku.""Tuan sudah tiga puluh tahun?" Anna ikut memperjelas.'Ternyata sembilan belas tahun, aku bahkan mengira dia masih sekolah.' Gama bergumam dalam hati seraya menatap Anna yang masih terkejut."Apa tuan akan pulang setelah mengingat semuanya?" tanya Anna tiba-tiba.Gama yang semula masih memerhatikan Anna mulai tersadar. "Kamu mengusirku?""Bukan, bukan begitu. Maksudku ... apa yang akan tuan lakukan? Jika tuan ingat sesuatu pasti tuan merindukan keluarga tuan, bukan? Begitu pun keluarga tuan, mereka pasti sangat cemas. Terlebih anak-anak, biasanya mereka akan cenderung terus bertanya pada ibunya.""Anak-anak?"Anna mengangguk dengan polosnya. Ia tidak sadar jika kalimat itu sedikit menyindir lawan bicaranya."Apa aku terlihat setua itu? Jangankan anak, menikah saja belum.""Apa?!" sentak Anna."Apa? Apanya yang apa? Tidak jelas?"Melihat bagaimana Anna terkejut membuat Gama mendekatkan wajahnya tepat di depan telinga perempuan di depannya secara tiba-tiba. "Aku belum menikah," bisiknya berhasil membuat Anna bergidik geli.Tidak hanya merasa menggelikan, wajah polos Anna tampak berubah kemerahan hanya karena bisikan singkat dari lelaki untuk pertama kalinya. Tangannya dengan refleks mengusap leher seolah ada sesuatu yang masih membuat bulu kuduknya berdiri."Kenapa diam? Masih belum jelas?"Anna berdiri dengan cepat. "Jelas, Tuan. Aku sudah mendengarnya.""Kenapa wajahmu merah?"Anna menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa.""Apa Luis itu kekasihmu? Mantan kekasih?"Tatapan Anna berubah seketika, berubah menjadi sebuah ketidaksukaan yang jelas dipamerkan. Ia duduk kembali sebelum akhirnya membuka suara."Bukan, dan tidak akan pernah. Aku tidak suka lelaki pemaksa sepertinya. Lelaki yang mengira bahwa semua bisa dikendalikan dengan uang.""Tapi, faktanya memang begitu, bukan?" timpal Gama, "Dia memiliki segalanya.""Tapi, tidak dengan cinta," timpal Anna singkat dan jelas."Tahu apa anak muda yang belum berpengalaman sepertimu mengenai cinta, dari gerak-geriknya saja sudah bisa ditebak jika kamu tidak tahu apa pun."Pembicaraan keduanya tampak memicu sedikit percekcokan. Anna tidak begitu senang dengan cara Gama menilainya saat mereka tidak saling mengenal satu sama lain."Cinta itu di mana seseorang merasa pulang ketika bersamanya, merasa nyaman dan merasa cukup."Jawaban Anna membungkam Gama yang hendak melontarkan kembali ejekan pada sosok di depannya. Entah apa yang lelaki itu lihat dari seorang Anna, namun ia merasa seperti sedang berhadapan dengan anak kecil, meski jauh dari dalam hatinya, ia tetap berhutang nyawa pada Anna."Baiklah, baiklah, lalu apa Luis itu kekasihmu? Jujur saja. Dia sepertinya sangat tergila-gila padamu. Berapa usianya?" Pertanyaan Gama masih menimbulkan rasa tak suka dari Anna."Tuan, dia bukan kekasihku, kami tidak memiliki hubungan apa pun. Dia hanya anak orang terpandang di desa ini. Semua orang patuh padanya karena sebagian banyak lahan adalah milik ayahnya, termasuk tanah yang aku pijak ini."Gama menggeleng-gelengkan kepalanya secara perlahan, ia mengerti apa yang dijelaskan oleh sosok di depannya tersebut. Di pedesaan, mungkin Luis termasuk pemegang kekuasaan.Cukup lama berpikir, Gama kembali menatap Anna dengan lebih serius. Entah apa maksudnya, namun pikirannya telah jauh berkelana ke kehidupannya sendiri."Kenapa tuan menatapku begitu? Apa ada yang salah?"Tanpa menjawab pertanyaan dari perempuan di depannya, Gama berdiri dan berjalan mendekat, hingga Anna mundur beberapa langkah untuk memberikan jarak."Tu-tuan, ada apa?"Dugg!Suara benturan kecil di kepala belakang Anna menghentikan langkah keduanya. Anna yang menadahkan wajah seketika menunduk membuat Gama hanya bisa melihat pucuk kepala Anna."Kepalamu terbentur. Kenapa, kamu takut? Kalau kamu takut, kenapa merawatku sebaik ini?" ucapnya seraya mengusap kepala Anna dengan lembut.Anna dibuat mematung meraskan usapan lembut di kepalanya. Tangannya memilin ujung baju untuk melampiaskan kegugupan tanpa mengatakan sepatah kata pun."Luis bukan siapa pun bagimu, tapi bagi lelaki seperti dia, kamu adalah miliknya dan akan sulit melepaskan diri. Berhati-hatilah padanya. Dia berbahaya. Dia bisa melakukan apa pun dengan uang, termasuk mendapatkanmu."Masih menunduk gugup, Anna mengangguk cepat. "Aku akan berhati-hati, Tuan. Terima kasih banyak sudah mengingatkan.""Tapi ..."Anna menongak menatap Gama yang menahan kalimatnya. "Tapi apa?""Dia berbahaya, tapi ... aku lebih berbahaya darinya," jawab Gama membuat Anna menelan ludah dengan berat.Kegugupan kian dapat dirasakan, Gama dibuat tersenyum melihat kedipan takut dari Anna ke padanya. Dengan cepat tangan kekar itu mengusap wajah Anna cukup keras. "Aku tidak akan memakanmu, tenang saja," ujar Gama seraya kembali duduk di tepi ranjang meninggalkan Anna yang masih mematung di dinding kamar.'Apa maksudnya?' tanya Anna dalam hati, lalu menatap Gama yang juga menatapnya sembari berbaring. Anna dengan cepat menggelengkan kepala, 'Sebenarnya apa maksud kata-kataya?'"Makanlah yang banyak." Gama mengangguk mengiyakan permintaan perempuan baruh baya yang baru saja ia ketahui bernama Lusi tersebut. Gama menatap satu demi satu semua menu yang tersaji di hadapannya. Tidak ada satu pun yang ia ketahui, selain sayur sup di mana terlihat beberapa potong wortel, kentang dan potongan tomat segar. "Kami tidak bisa menyajikan makanan mahal. Ini makanan seadanya, maaf jika tuan tidak terbiasa memakan semua ini," seru Anna tiba-tiba. Gama tampak tidak merasa canggung, lelaki itu tersenyum, lalu memakan habis satu mangkuk kecil sup yang sudah disediakan untuknya. "Enak," pujinya singkat, lalu menatap Anna lekat-lekat, "Anak-anak jaman sekarang mudah sekali tersinggung," sambung Gama kembali dengan sedikit pelan. Anna yang mendengar hanya diam dengan sedikit lirikan mata yang tajam. "Ibu memasak semuanya?" "Bukan. Anna yang memasak semuanya setiap hari. Ibu sangat lelah, jadi biasanya akan tertidur setelah kembali dari kebun." Gama kemudian melirik Anna
Gama membuka jendela kamar di mana Anna sudah sibuk memotong kayu dengan sebilah kapak. Melihat matahari tampak sudah cukup terik, Gama bisa menerka bahwa Lusi sudah tidak berada di rumah. Untuk beberapa saat Gama memilih untuk tetap memperhatikan Anna dari balik jendela. Gurat senyumnya terlukis ketika mengingat perkataan Lusi di mana membeberkan fakta bahwa Anna jatuh hati saat dirinya tidak sadarkan diri. "Anak itu." Gama berucap dengan nada meremehkan, namun setengah merasa salah tingkah dan cukup gemas. Ia tidak menyangka akan disukai perempuan yang usianya cukup jauh di bawahnya. "Perlu bantuan, Nona kecil Anna?" godanya berhasil membuat sang empu menoleh dan segera membelakangi sumber suara. Merasa tidak puas godaannya diabaikan, Gama lantas keluar dan berdiri di samping Anna yang masih sibuk memotong kayu. Dari wajahnya sudah bisa ditebak jika perempuan berkaos polos dan rok panjang itu menahan kesal. "Biar aku bantu, Nona." Anna menepis tangan yang berniat mengambil ali
Gama duduk di sebuah kursi besar yang terletak tepat di depan jendela kaca kamarnya. Sudah satu minggu lebih kepergian lelaki itu dari kediaman Anna yang membawanya pulang dan lupa kembali sekedar untuk berpamitan pada sosok penolong tersebut. Rasa bahagia bertemu dengan keluarga tercinta nyatanya sedikit berbeda. Gama merasa ada sesuatu yang kurang, yang mengganjal di hatinya seperti sebuah berat hati. Ada rasa bersalah karena tidak berpamitan pada Anna dan Lusi, meski Gama tahu bahwa kepergiannya sangat diinginkan oleh Anna, namun tetap tidak mengurangi jasa dan hutang nyawa atas pertolongan Anna. Lamunan Gama mengenai kebersamaannya dengan Anna bahkan membuatnya tidak sadar jika perempuan tua sudah berjalan mendekat ke arahnya dengan raut wajah penuh tanya. "Gama, ada apa, Nak? Ibu perhatikan semenjak kamu kembali, kamu banyak melamun."Gama tersentak dan menoleh pada sosok yang ternyata adalah Dena sang ibu. Tidak ada jawaban langsung yang diberikan Gama, lelaki itu hanya diam
Sinar matahari menerobos masuk celah jendela kaca yang terbuka. Pantulan cahaya hangat itu perlahan membuka mata lelaki yang semula masih menutup mata rapat-rapat.Suara gorden yang terbuka tidak sedikit pun membuat lelaki bernama Gama itu terbangun, begitu pula dengan suara langkah kaki yang berirama senada seperti sebuah ketukan heels yang anggun. "Apa kamu tidak akan bangun?" Bukan sinar matahari, bukan suara gorden, tidak pula dengan suara ketukan langkah kaki, namun sentuhan lembut pada pipi membuat Gama terbangun seketika. Mata yang masih tampak berat mencoba menelaah sosok yang tengah duduk di tepi ranjang tepat di depannya. "Mona." Gama berucap seraya membenarkan posisinya hingga duduk dengan tegak. "Bagaimana keadaanmu? Aku menunggu kemarin. Ibumu bilang kamu akan datang, ternyata tidak.""Aku minta maaf, aku masih sedikit lelah. Jadi, aku memutuskan untuk beristirahat lebih lama.""Aku tahu itu. Aku senang kamu kembali, Gam," ucapnya seraya mengusap punggung tangan Gama.
Anna membuka matanya secara perlahan ketika mendengar suara air yang sedang diaduk dalam gelas. Tatapan Anna tertuju langsung pada sosok lelaki yang tengah duduk di samping ranjangnya, perlahan ia terkejut ketika menyadari bahwa lelaki itu adalah Gama. "Tuan Gama?" "Sudah bangun? Lama sekali tidurnya.""Tu-tuan ada di sini? Di rumahku?" "Iya, ini rumahmu, aku tidak akan mengaku."Seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri, Anna melirik setiap sudut ruangan, lalu menatap Gama lekat-lekat.PLAK!"Shit! Apa kamu gila? Kenapa tiba-tiba menamparku, hah?" sentak Gama ketika pipinya secara tidak terduga mendapat tamparan keras dari Anna. Anna yang terkejut menutup mulutnya dan segera mengusap pipi Gama seraya meminta maaf. "Maaf, aku pikir aku hanya berhalusinasi. Sekali lagi maaf."Gama dengan cepat menepis sentuhan Anna di wajahnya, lelaki itu masih menunjukan gelagat tak suka. "Sudah jelas aku ada di depan mata, halusinasi apanya?""Maaf.""Minumlah!" titah Gama seraya me
Anna menggenggam kuat tangan sang ibu di hadapan Gama yang baru saja menjelaskan keinginannya untuk membawa mereka keluar dari desa tersebut. Tidak main-main dan tidak hanya sebatas kata, Gama bahkan sudah menyiapkan semuanya untuk menjamin tidak ada penahanan apa pun dari orang yang merasa memiliki hak atas utang piutang keluarga Lusi. "Apa tidak akan ada masalah berkepanjangan dan tidak memberatkan tuan juga?" Gama menaruh sebuah kartu berwarna hitam di atas meja. "Permasalahan kalian tentang uang, 'kan? Aku bisa melunasi semuanya. Kalian tenang saja."Lusi melirik Anna, lalu menatap Gama lekat-lekat. "Nominalnya tidak sedikit, itu pasti akan memberatkan tuan. Aku rasa tidak perlu, Tuan.""Aku bisa menangani semuanya.""Apa alasan tuan sampai sebaik ini pada kami?" Pertanyaan Lusi membuat Gama dengan spontan menatap Anna yang tampak masih ragu-ragu dan cemas. Lelaki itu pun tersenyum sembari beralih menatap Lusi. "Anggap saja ini tanda terima kasihku. Aku tahu kalian membantu dan
BRUAKK!Pintu terbuka di mana Gama tanpa basa-basi menarik tubuh Luis yang masih berbaring di atas tubuh Anna. Tidak terhitung seberapa banyak pukulan yang di daratkan oleh Gama pada Luis saat Lusi membantu Anna keluar dari dalam kamar. "Benar-benar lelaki tidak tahu malu. Beraninya melecehkan perempuan di depan ibunya sendiri. Apa pikiranmu tidak disisakan untuk menyimpan akal sehat?" hardik Gama seraya terus menghajar Luis. Meski bobot tubuhnya tidak sebanding dengan Gama, Luis tampaknya tidak ingin kalah. Ia berbalik menyerang Gama setelah berhasil mendorongnya. "Kamu yang tidak tahu malu, jika sosok tidak tahu malu sepertimu tidak datang, hubungan kami tetap seperti biasa. Tapi, apa? Kamu akan membawa calon istriku ke kotamu dengan seenaknya."Gama menyunggingkan sudut bibirnya, lalu menahan pukulan di udara saat melihat bagaimana Luis sudah setengah tak berdaya. "Aku tahu apa yang ada dalam otak lelaki sepertimu. Jadi, jangan merasa paling tersakiti. Cobalah yang lihat yang leb
"Selamat pagi," sapa Gama pagi-pagi buta seraya membuka pintu kamar Anna. Perempuan yang masih terlelap itu tidak tergubris. Gama merasa tidak terganggu, ia berjalan mendekati sofa yang terletak di sisi lain kamar untuk meletakan sebuah bag besar, sebelum akhirnya beralih mendekati tepi ranjang. Gama berlanjut melirik gorden yang terbuka, tidak hanya itu, ia juga mendapati jendela dengan kondisi yang sama. "Bangun!" ucap Gama berbisik tepat di depan telinga Anna hingga sang empu terkejut dan bangkit. Sikap spontanitas itu membuat Anna yang berniat duduk sontak mencium Gama secara tidak sengaja.Keduanya mematung bersamaan dalam posisi masing-masing. Anna menutup mulutnya dengan sebelah tangan, perasaannya berubah takut setelah melihat ekspresi Gama yang hanya diam tak berkutik. "Maaf, Tuan, aku tidak sengaja. Kenapa tuan ada di situ?" ucap Anna dengan nada gugup yang jelas terdengar. Wajah memerah itu pun tidak bisa disembunyikan. Alih-alih menjawab permintaan maaf Anna, Gama jus