"Makanlah yang banyak."
Gama mengangguk mengiyakan permintaan perempuan baruh baya yang baru saja ia ketahui bernama Lusi tersebut.Gama menatap satu demi satu semua menu yang tersaji di hadapannya. Tidak ada satu pun yang ia ketahui, selain sayur sup di mana terlihat beberapa potong wortel, kentang dan potongan tomat segar."Kami tidak bisa menyajikan makanan mahal. Ini makanan seadanya, maaf jika tuan tidak terbiasa memakan semua ini," seru Anna tiba-tiba.Gama tampak tidak merasa canggung, lelaki itu tersenyum, lalu memakan habis satu mangkuk kecil sup yang sudah disediakan untuknya."Enak," pujinya singkat, lalu menatap Anna lekat-lekat, "Anak-anak jaman sekarang mudah sekali tersinggung," sambung Gama kembali dengan sedikit pelan. Anna yang mendengar hanya diam dengan sedikit lirikan mata yang tajam."Ibu memasak semuanya?""Bukan. Anna yang memasak semuanya setiap hari. Ibu sangat lelah, jadi biasanya akan tertidur setelah kembali dari kebun."Gama kemudian melirik Anna yang masih sibuk menyantap makanan. "Makananmu sangat lezat. Ya, ini tidak luar biasa, tapi cukup lezat sehingga siapa pun pasti akan menambahkan nasi beberapa kali."Anna mulai berhenti menyuapi dirinya dan menatap Gama sekilas. "Terima kasih, Tuan.""Apa kalian terbiasa memanggil orang lain dengan sebutan tuan?" tanya Gama dengan nada tak suka.Anna dan Lusi saling menoleh satu sama lain. Tidak ada dari keduanya yang membuka suara untuk menjawab pertanyaan sederhana itu. Gama kemudian menatap piring yang telah kosong, lalu memfokuskan pandangannya pada Anna."Kamu masih menyebut lelaki tidak sopan itu dengan sebutan tuan? Apa tidak ada rasa berat hati? Dia hampir melecehkanmu, apa menurutmu kata tuan tidak menjijikkan untuk lelaki sepertinya?" tanya Gama dengan nada jauh lebih tegas.Alih-alih Anna yang menimpali perkataan Gama, Lusi lah yang justru terkejut luar biasa setelah mengetahui bahwa ada seseorang yang hendak bertindak buruk terhadap putrinya. Perempuan itu memandang putrinya penuh tanda tanya. Rasa tak percaya tengah menyelimutinya, namun melihat Anna diam saja mampu membuatnya paham bahwa semua perkataan Gama adalah kebenaran."Ann, apa yang dikatakannya benar?""Tidak, Bu.""Lalu, kenapa kamu diam saja di fitnah begitu? Sekali lagi ibu tanya, apa Luis melakukan sesuatu?""Hampir, setidaknya jika aku tidak ada mungkin akan terjadi hal buruk pada putrimu," timpal Gama membuat Anna dengan cepat menutup mulut lelaki di sampingnya."Ibu jangan khawatir, dia terlalu berlebihan.""Hei, ak-"Belum sempat Gama menceritakan kebeneran, Anna sudah lebih dulu menarik tangan lelaki itu menjauh dari meja makan. Gama tersenyum jahil, ia tidak memberikan perlawanan apa pun saat tangan mungil terus menariknya secara paksa hingga berhenti di halaman belakang.Tatapan Anna menajam seolah tengah memberikan bidikan pada Gama, tetapi Gama tidak terlihat terintimidasi sama sekali."Jangan bicarakan semua pada ibu. Dia akan terus memikirkan hal-hal buruk yang akan mengganggu kesehatannya.""Bagaimana dengan kesehatanmu sendiri?" timpal Gama tak ingin kalah."Aku tidak apa-apa. Ini sudah berlalu.""Kamu pikir dia tidak akan melakukannya lagi? Kamu yakin? Dia sudah terlanjur bersikap buruk, kamu sudah tahu apa yang ada dalam pikirannya, kenapa ada perempuan bodoh sepertimu, hah?"Mendapati lelaki di depannya menuturkan kata 'bodoh' membuat Anna mematung dalam beberapa detik berikutnya. Tangannya mengepal sempurna, air matanya tampak terbendung dengan bibir yang terus mengulum umpatan."Pergilah dari rumahku dan tidak perlu mengajari anak yang bodoh ini. Tempat tuan bukan di sini. Lagi pula apa urusan tuan?""Ini menjadi urusanku karena kamu sudah merawatku dengan baik selama di sini. Anggap saja ini sebuah balas budiku padamu dan juga ibumu," jawab Gama seketika membungkam kemarahan Anna yang hampir memuncak, "Aku tahu bukan hal yang mudah untuk kalian merawatku selama ini, jadi biarkan aku membalaskan semuanya sekarang.""Tidak perlu, Tuan, aku dan ibuku ikhlas merawatmu, lagi pula kami tidak memberikan yang terbaik."Gama tidak lagi berucap, ia menatap wajah Anna yang disangkanya masih menaruh benci karena kalimat buruk yang sempat diutarakannya."Biar aku bantu siapkan sesuatu untuk dibawa pulang olehmu," tutur Anna seraya masuk kembali ke dalam rumah dan dengan cepat memasuki kamar.Gama tahu apa yang akan dilakukan oleh Anna, bagaimana pun ia merasa tidak enak hati karena menyakiti perasaan seseorang yang telah menolong dan merawatnya. Langkah tidak kalah cepat hingga berhasil menyusul perempuan yang tengah merajuk tersebut."Ini, ini barang-barang yang aku dan ibuku temukan di pakaian tuan. Hanya ini saja, tidak ada identitas apapun, itu sebabnya kami tidak bisa melaporkannya pada polisi, selain jarak yang juga sangat sulit ditempuh. Ambilah dan pergi sekarang juga." Anna berucap sembari memberikan beberapa benda kecil pada Gama."Anna! Kenapa bicara begitu? Kondisi kesehatannya belum stabil. Sulit mendapat akses untuk sampai di kota, hari juga sudah mulai gelap." Lusi menatap anak lelaki di depannya, "Jangan diambil hati, duduk dan istirahat saja lagi sampai benar-benar pulih."Berbeda dengan Anna, Lusi justru melarang Gama untuk meninggalkan rumah karena khawatir akan kesehatan Gama."Dia sudah pulih, Bu, tempat ini tidak cocok untuknya, dia sepertinya dari kalangan atas, itu sebabnya aku memintanya pulang agar seseorang bisa merawatnya jauh lebih baik.""Ann, siapa yang mengajarkanmu begitu, hah?""Aku akan pergi! Terima kasih dan maaf sudah banyak merepotkan kalian," seru Gama yang dengan cepat menyambar barang-barang miliknya dan bergegas keluar dari dalam rumah.Sementara Gama berlalu pergi, Lusi masih menatap putrinya dengan rasa tak percaya. Untuk pertama kalinya ia melihat bagaimana perempuan selembut Anna bisa mengusir orang yang sedang dalam masa sulit."Kamu ini kenapa, Ann? Bisa-bisanya kamu mengusir Gama."Anna tidak menjawa pertanyaan sang ibu, ia hanya diam seraya memilin ujung bajunya sendiri."Kamu lupa kenapa kita merawatnya? Kamu sendiri yang memaksa ibu untuk merawatnya, menjaganya sampai sadar. Kamu bahkan sudah mengorbankan banyak waktu untuk selalu menjaganya dengan baik, lalu setelah sadar kamu mengusirnya? Bagaimana jika lukanya yang belum pulih itu kembali bereaksi? Tempat kita bukan perkotaan, Ann. Gama tidak akan mendapat transfortasi apa pun menjelang malam begini.Masih tidak mendapat respon apa pun dari putrinya, Lusi mendekat dan menatap Anna lebih dalam, "Kamu suka pada Gama karena dia selalu menggenggam tanganmu agar tetap tinggal di sisinya, meski kamu tahu dia dalam keadaan tidak sadar. Kamu menyukainya, 'kan?" tutur Lusi, pelan. Alih-alih menjawab pertanyaan sang ibu, Anna lebih memilih untuk berpaling dan berlari keluar sampai kakinya tersandung dan tubuhnya tersungkur di hadapan sepasang kaki seseorang. Perlahan wajahnya menadah, hingga menyadari sesuatu."Tuan?"Gama membuka jendela kamar di mana Anna sudah sibuk memotong kayu dengan sebilah kapak. Melihat matahari tampak sudah cukup terik, Gama bisa menerka bahwa Lusi sudah tidak berada di rumah. Untuk beberapa saat Gama memilih untuk tetap memperhatikan Anna dari balik jendela. Gurat senyumnya terlukis ketika mengingat perkataan Lusi di mana membeberkan fakta bahwa Anna jatuh hati saat dirinya tidak sadarkan diri. "Anak itu." Gama berucap dengan nada meremehkan, namun setengah merasa salah tingkah dan cukup gemas. Ia tidak menyangka akan disukai perempuan yang usianya cukup jauh di bawahnya. "Perlu bantuan, Nona kecil Anna?" godanya berhasil membuat sang empu menoleh dan segera membelakangi sumber suara. Merasa tidak puas godaannya diabaikan, Gama lantas keluar dan berdiri di samping Anna yang masih sibuk memotong kayu. Dari wajahnya sudah bisa ditebak jika perempuan berkaos polos dan rok panjang itu menahan kesal. "Biar aku bantu, Nona." Anna menepis tangan yang berniat mengambil ali
Gama duduk di sebuah kursi besar yang terletak tepat di depan jendela kaca kamarnya. Sudah satu minggu lebih kepergian lelaki itu dari kediaman Anna yang membawanya pulang dan lupa kembali sekedar untuk berpamitan pada sosok penolong tersebut. Rasa bahagia bertemu dengan keluarga tercinta nyatanya sedikit berbeda. Gama merasa ada sesuatu yang kurang, yang mengganjal di hatinya seperti sebuah berat hati. Ada rasa bersalah karena tidak berpamitan pada Anna dan Lusi, meski Gama tahu bahwa kepergiannya sangat diinginkan oleh Anna, namun tetap tidak mengurangi jasa dan hutang nyawa atas pertolongan Anna. Lamunan Gama mengenai kebersamaannya dengan Anna bahkan membuatnya tidak sadar jika perempuan tua sudah berjalan mendekat ke arahnya dengan raut wajah penuh tanya. "Gama, ada apa, Nak? Ibu perhatikan semenjak kamu kembali, kamu banyak melamun."Gama tersentak dan menoleh pada sosok yang ternyata adalah Dena sang ibu. Tidak ada jawaban langsung yang diberikan Gama, lelaki itu hanya diam
Sinar matahari menerobos masuk celah jendela kaca yang terbuka. Pantulan cahaya hangat itu perlahan membuka mata lelaki yang semula masih menutup mata rapat-rapat.Suara gorden yang terbuka tidak sedikit pun membuat lelaki bernama Gama itu terbangun, begitu pula dengan suara langkah kaki yang berirama senada seperti sebuah ketukan heels yang anggun. "Apa kamu tidak akan bangun?" Bukan sinar matahari, bukan suara gorden, tidak pula dengan suara ketukan langkah kaki, namun sentuhan lembut pada pipi membuat Gama terbangun seketika. Mata yang masih tampak berat mencoba menelaah sosok yang tengah duduk di tepi ranjang tepat di depannya. "Mona." Gama berucap seraya membenarkan posisinya hingga duduk dengan tegak. "Bagaimana keadaanmu? Aku menunggu kemarin. Ibumu bilang kamu akan datang, ternyata tidak.""Aku minta maaf, aku masih sedikit lelah. Jadi, aku memutuskan untuk beristirahat lebih lama.""Aku tahu itu. Aku senang kamu kembali, Gam," ucapnya seraya mengusap punggung tangan Gama.
Anna membuka matanya secara perlahan ketika mendengar suara air yang sedang diaduk dalam gelas. Tatapan Anna tertuju langsung pada sosok lelaki yang tengah duduk di samping ranjangnya, perlahan ia terkejut ketika menyadari bahwa lelaki itu adalah Gama. "Tuan Gama?" "Sudah bangun? Lama sekali tidurnya.""Tu-tuan ada di sini? Di rumahku?" "Iya, ini rumahmu, aku tidak akan mengaku."Seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri, Anna melirik setiap sudut ruangan, lalu menatap Gama lekat-lekat.PLAK!"Shit! Apa kamu gila? Kenapa tiba-tiba menamparku, hah?" sentak Gama ketika pipinya secara tidak terduga mendapat tamparan keras dari Anna. Anna yang terkejut menutup mulutnya dan segera mengusap pipi Gama seraya meminta maaf. "Maaf, aku pikir aku hanya berhalusinasi. Sekali lagi maaf."Gama dengan cepat menepis sentuhan Anna di wajahnya, lelaki itu masih menunjukan gelagat tak suka. "Sudah jelas aku ada di depan mata, halusinasi apanya?""Maaf.""Minumlah!" titah Gama seraya me
Anna menggenggam kuat tangan sang ibu di hadapan Gama yang baru saja menjelaskan keinginannya untuk membawa mereka keluar dari desa tersebut. Tidak main-main dan tidak hanya sebatas kata, Gama bahkan sudah menyiapkan semuanya untuk menjamin tidak ada penahanan apa pun dari orang yang merasa memiliki hak atas utang piutang keluarga Lusi. "Apa tidak akan ada masalah berkepanjangan dan tidak memberatkan tuan juga?" Gama menaruh sebuah kartu berwarna hitam di atas meja. "Permasalahan kalian tentang uang, 'kan? Aku bisa melunasi semuanya. Kalian tenang saja."Lusi melirik Anna, lalu menatap Gama lekat-lekat. "Nominalnya tidak sedikit, itu pasti akan memberatkan tuan. Aku rasa tidak perlu, Tuan.""Aku bisa menangani semuanya.""Apa alasan tuan sampai sebaik ini pada kami?" Pertanyaan Lusi membuat Gama dengan spontan menatap Anna yang tampak masih ragu-ragu dan cemas. Lelaki itu pun tersenyum sembari beralih menatap Lusi. "Anggap saja ini tanda terima kasihku. Aku tahu kalian membantu dan
BRUAKK!Pintu terbuka di mana Gama tanpa basa-basi menarik tubuh Luis yang masih berbaring di atas tubuh Anna. Tidak terhitung seberapa banyak pukulan yang di daratkan oleh Gama pada Luis saat Lusi membantu Anna keluar dari dalam kamar. "Benar-benar lelaki tidak tahu malu. Beraninya melecehkan perempuan di depan ibunya sendiri. Apa pikiranmu tidak disisakan untuk menyimpan akal sehat?" hardik Gama seraya terus menghajar Luis. Meski bobot tubuhnya tidak sebanding dengan Gama, Luis tampaknya tidak ingin kalah. Ia berbalik menyerang Gama setelah berhasil mendorongnya. "Kamu yang tidak tahu malu, jika sosok tidak tahu malu sepertimu tidak datang, hubungan kami tetap seperti biasa. Tapi, apa? Kamu akan membawa calon istriku ke kotamu dengan seenaknya."Gama menyunggingkan sudut bibirnya, lalu menahan pukulan di udara saat melihat bagaimana Luis sudah setengah tak berdaya. "Aku tahu apa yang ada dalam otak lelaki sepertimu. Jadi, jangan merasa paling tersakiti. Cobalah yang lihat yang leb
"Selamat pagi," sapa Gama pagi-pagi buta seraya membuka pintu kamar Anna. Perempuan yang masih terlelap itu tidak tergubris. Gama merasa tidak terganggu, ia berjalan mendekati sofa yang terletak di sisi lain kamar untuk meletakan sebuah bag besar, sebelum akhirnya beralih mendekati tepi ranjang. Gama berlanjut melirik gorden yang terbuka, tidak hanya itu, ia juga mendapati jendela dengan kondisi yang sama. "Bangun!" ucap Gama berbisik tepat di depan telinga Anna hingga sang empu terkejut dan bangkit. Sikap spontanitas itu membuat Anna yang berniat duduk sontak mencium Gama secara tidak sengaja.Keduanya mematung bersamaan dalam posisi masing-masing. Anna menutup mulutnya dengan sebelah tangan, perasaannya berubah takut setelah melihat ekspresi Gama yang hanya diam tak berkutik. "Maaf, Tuan, aku tidak sengaja. Kenapa tuan ada di situ?" ucap Anna dengan nada gugup yang jelas terdengar. Wajah memerah itu pun tidak bisa disembunyikan. Alih-alih menjawab permintaan maaf Anna, Gama jus
Sudah hampir setengah hari, Anna masih duduk di ruang tengah sembari menatap beberapa makanan ringan yang tersedia di atas meja. Setelah keinginannya ditolak mentah-mentah oleh Gama, Anna hanya bisa duduk-duduk santai tanpa melakukan kegiatan apa pun. Hal itu jelas cukup menjengkelkan untuk Anna yang terbiasa memiliki aktivitas di kediaman sebelumnya. Namun, Anna berada di titik rasa bosan. Ia akhirnya keluar dari rumah sekedar untuk menikmati lingkungan sekitar. Cukup sepi, namun ada beberapa bangunan yang sama megahnya. Anna mendapati bahwa tidak ada banyak orang yang beraktivitas seperti pada umumnya. Cukup jauh Anna berjalan-jalan santai menjelang sore. Perempuan itu pun berhenti di sebuah kursi kayu yang berada di sisi danau indah yang lebih tampak seperti sebuah taman. "Aku tidak akan pulang! Aku akan pulang saat aku ingin pulang!" Anna terdiam mendengar pembicaraan seseorang yang baru saja duduk di sampingnya. Lirikan Anna membuatnya tahu bahwa lelaki berseragam sekolah itu