Share

7. Kamar mandi

Sinar matahari menerobos masuk celah jendela kaca yang terbuka. Pantulan cahaya hangat itu perlahan membuka mata lelaki yang semula masih menutup mata rapat-rapat.

Suara gorden yang terbuka tidak sedikit pun membuat lelaki bernama Gama itu terbangun, begitu pula dengan suara langkah kaki yang berirama senada seperti sebuah ketukan heels yang anggun.

"Apa kamu tidak akan bangun?"

Bukan sinar matahari, bukan suara gorden, tidak pula dengan suara ketukan langkah kaki, namun sentuhan lembut pada pipi membuat Gama terbangun seketika. Mata yang masih tampak berat mencoba menelaah sosok yang tengah duduk di tepi ranjang tepat di depannya.

"Mona." Gama berucap seraya membenarkan posisinya hingga duduk dengan tegak.

"Bagaimana keadaanmu? Aku menunggu kemarin. Ibumu bilang kamu akan datang, ternyata tidak."

"Aku minta maaf, aku masih sedikit lelah. Jadi, aku memutuskan untuk beristirahat lebih lama."

"Aku tahu itu. Aku senang kamu kembali, Gam," ucapnya seraya mengusap punggung tangan Gama.

Gama hanya tersenyum menatap Mona dengan perasaan tak karuan. Mona, sosok perempuan berwajah cantik dan sensual itu masih tidak bisa menarik perhatian Gama kembali, setelah hubungan keduanya berakhir di masa kuliah karena jarak, Gama tidak bisa menumbuhkan rasanya lagi meski jari manisnya sudah melingkar cincin pertunangan.

Gama mengusap wajah di mana sentuhan Mona terlepas begitu saja, lelaki itu beranjak dari atas kasur empuk yang megah berniat untuk membersihkan diri. Sikap dinginnya pada Mona dapat dirasakan oleh siapa pun, termasuk mona sendiri.

"Aku mencemaskanmu, Gam. Aku tidak bisa tidur dengan tenang saat tahu kamu tidak pulang berhari-hari. Aku pikir kamu menghindariku untuk tidak segera menikah, ternyata aku salah, kamu pergi karena terjadi sesuatu yang buruk, sekali lagi maafkan aku atas prasangka ini," tutur Mona tiba-tiba menghentikan langkah Gama dengan cepat.

Lelaki yang bertelanjang dada itu tersenyum, lalu berbalik tanpa memudarkan senyuman tipisnya. "Tidak perlu meminta maaf, kamu benar tentang semuanya."

"Ma-maksudmu?"

"Aku memang benar-benar kecelakaan, tapi aku juga benar-benar menghindari pernikahan ini. Pernikahan kita yang aku rasa belum siap untuk aku lakukan. "

Jawaban Gama membuat Mona mematung terkejut, meski tahu bahwa Gama belum menerimanya kembali, tetapi mendengarnya secepat itu adalah kejutan bagi Mona.

Bibir seksi Mona melengkung dengan paksa hingga melukis sebuah senyuman getir. "Belum siap? Apa yang belum siap? Kita sudah memiliki segalanya, usia, materi, planning, pengenalan keluarga, kita juga sudah sangat saling mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun, Gam. Apa yang membuatmu ragu?"

"Rasa!" Jawaban singkat itu membungkam semua pertanyaan yang Mona tujukan, "Aku tidak mencintaimu, Mona."

"Belum, Gama, belum. Kita belum mencobanya lagi."

"Kamu sudah mencobanya, tapi aku tidak, bukan belum, tapi tidak ingin mencobanya lagi."

"Gama ..."

"Aku harus mandi. Lain kali jangan masuk ke dalam kamarku seenaknya," ucap Gama seraya memasuki kamar mandi.

Tidak ada lagi percakapan antara keduanya. Mona menghela napas panjang sebelum akhirnya meninggalkan kamar dalam keadaan tersenyum girang. Perempuan cantik itu tampaknya tidak ingin siapa pun tahu bagaimana hubungannya bersama Gama. Ia terus menahan diri hanya untuk mencoba menemukan Gama yang dulu sangat mencintainya.

.

.

Waktu terus bergulir, langit yang sudah menampakan warna jingga membuat Anna sibuk merapikan halaman rumah untuk segera beristirahat.

Langkah perempuan muda itu tidak selincah biasanya, ia bisa merasakan pandangan yang semakin tak karuan. Anna yang mendengar suara panggilan dari sang ibu dari dalam rumah sesegera mungkin untuk menyelesaikan pekerjaannya.

"Ibu sudah selesai, sekarang bersihkan dirimu, lalu kita makan dan beristirahat." Permintaan Lusi hanya mendapat anggukan kepala.

Lebih dari hitungan menit, satu jam sudah Anna berada di dalam kamar mandi. Tidak ada kecurigaan, Lusi sibuk menyiapkan makanan sederhana seperti biasanya. Sembari menanti putrinya, ia juga berlanjut membersihkan tempat tidur dan dapur sisa-sisa dari aktivitasnya memasak.

TOK! TOK TOK!

Ketukan pintu malam itu cukup membuat Lusi terkejut luar biasa, bukan tanpa alasan, namun itu pertama kalinya ada seseorang yang bertamu malam hari.

Suara ketukan itu kian bertambah ketika Lusi tidak menjawab dengan kalimat apa pun. Perempuan paruh baya itu bersiap dengan sebuah kayu sekedar untuk berjaga-jaga.

"Siapa?" tanya Lusi meski dalam pikirannya hanya ada satu nama, yakni Luis, "Siapa?" tanyanya untuk kedua kali.

"Aku."

Jawaban singkat itu seketika membuat Lusi terkejut dan segera mengintip lebih dekat dari celah kecil dinding kayu rumahnya. Matanya membulat saat mengetahui bahwa sosok Gama ada di depan rumahnya.

Lusi segera membuka pintu dengan gegabah, pertemuannya kedua itu menciptakan senyum bahagia satu sama lain.

Satu cangkir teh hangat sudah tersaji di atas meja makan. Gama tersenyum, bukan karena segelas teh, namun karena meja dan keberadaannya yang sudah kembali duduk di kursi kayu tersebut.

"Ibu senang tuan Gama dalam keadaan baik-baik saja. Ibu juga sudah meyakinkan pada Anna bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk pada tuan."

Ucapan terakhir Lusi cukup menimbulkan rasa penasaran bagi Gama. "Apa putrimu mengira aku lelaki payah yang akan kalah darinya dalam bertahan hidup di desa terpencil ini?" celetuk Gama dengan nada menggoda yang diiringi sedikit tawa.

"Anna memang begitu, dia terlalu perasa."

Gama mengangguk-anggukan kepalanya seraya melirik ke setiap sudut rumah. "Di mana dia?" tanyanya saat menyadari bahwa sosok yang sedang menjadi topik pembicaraan itu tak kunjung menampakan batang hidungnya.

"Dia ... Oh iya, Anna sedang mandi, tapi ini sudah sangat lama, biar aku periksa dulu."

Lusi mencoba memberi tahu putrinya, sementara Gama duduk di tempat sembari menikmati teh hangat yang sangat cocok dengan suasana desa tersebut. Dingin dan sunyi.

"Ann? Anna? Apa kamu dengar ibu? Ann?"

Suara panik Lusi yang tiba-tiba terdengar membuat Gama bergegas menghampiri. Lelaki itu melihat Lusi sibuk mengetuk pintu tertutup di depannya.

"Ada apa, Bu?"

"Sudah lebih dari dua jam Anna di dalam, di kamarnya tidak ada, aku rasa terjadi sesuatu padanya di dalam."

Gama mencoba mengambil alih, ia mengetuk pintu seraya terus memanggil nama yang sama. Air masih terdengar mengalir, Gama sangat yakin bahwa terjadi sesuatu pada Anna.

"Boleh aku mendobrak pintunya?"

Lusi mengangguk mengizinkan, saat itu pula Gama mengambil posisi dan mendobrak pintu sekerasnya hingga terbuka dalam sekali dorongan. Tidak melenceng, baik Lusi mau pun Gama terkejut melihat Anna tergelatak dengan handuk yang hampir terlepas masih membungkus sebagian tubuhnya.

Gama dengan sigap membopong perempuan yang tak sadarkan diri itu ke dalam kamar dan menutupinya dengan selimut karena bisa merasakan seberapa dingin tubuh Anna.

"Ann ... Anna."

Lusi mencoba mengusap wajah putrinya dengan rasa cemas luar biasa. Tidak lupa mencoba memberikan sesendok teh hangat berharap kedua mata anak semata wayangnya tersebut terbuka dan sadar.

"Apa dia sakit?" tanya Gama.

"Tidak."

"Boleh aku memeriksanya sebentar?"

Lusi menoleh, lalu beranjak tanpa mengatakan apa pun. Gama yang merasa mendapat izin pun duduk di tepi ranjang. Tangan lelaki itu mulai menyentuh tangan Anna, berlanjut kening dan berakhir di wajah. Gama menyadari sesuatu yang mengganjal setelah melihat luka di sudut bibir Anna.

"Kenapa mulutnya terluka? Apa dia terjatuh?"

"Itu ... itu karena terpukul."

Jawaban Lusi seolah tepat dengan apa yang telah Gama pikirkan sebelumnya. Wajah lelaki itu tampak sedikit bersemraut merah menahan amarah.

"Luis? Luis yang memukulnya?" tanya Gama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status