Sinar matahari menerobos masuk celah jendela kaca yang terbuka. Pantulan cahaya hangat itu perlahan membuka mata lelaki yang semula masih menutup mata rapat-rapat.
Suara gorden yang terbuka tidak sedikit pun membuat lelaki bernama Gama itu terbangun, begitu pula dengan suara langkah kaki yang berirama senada seperti sebuah ketukan heels yang anggun."Apa kamu tidak akan bangun?"Bukan sinar matahari, bukan suara gorden, tidak pula dengan suara ketukan langkah kaki, namun sentuhan lembut pada pipi membuat Gama terbangun seketika. Mata yang masih tampak berat mencoba menelaah sosok yang tengah duduk di tepi ranjang tepat di depannya."Mona." Gama berucap seraya membenarkan posisinya hingga duduk dengan tegak."Bagaimana keadaanmu? Aku menunggu kemarin. Ibumu bilang kamu akan datang, ternyata tidak.""Aku minta maaf, aku masih sedikit lelah. Jadi, aku memutuskan untuk beristirahat lebih lama.""Aku tahu itu. Aku senang kamu kembali, Gam," ucapnya seraya mengusap punggung tangan Gama.Gama hanya tersenyum menatap Mona dengan perasaan tak karuan. Mona, sosok perempuan berwajah cantik dan sensual itu masih tidak bisa menarik perhatian Gama kembali, setelah hubungan keduanya berakhir di masa kuliah karena jarak, Gama tidak bisa menumbuhkan rasanya lagi meski jari manisnya sudah melingkar cincin pertunangan.Gama mengusap wajah di mana sentuhan Mona terlepas begitu saja, lelaki itu beranjak dari atas kasur empuk yang megah berniat untuk membersihkan diri. Sikap dinginnya pada Mona dapat dirasakan oleh siapa pun, termasuk mona sendiri."Aku mencemaskanmu, Gam. Aku tidak bisa tidur dengan tenang saat tahu kamu tidak pulang berhari-hari. Aku pikir kamu menghindariku untuk tidak segera menikah, ternyata aku salah, kamu pergi karena terjadi sesuatu yang buruk, sekali lagi maafkan aku atas prasangka ini," tutur Mona tiba-tiba menghentikan langkah Gama dengan cepat.Lelaki yang bertelanjang dada itu tersenyum, lalu berbalik tanpa memudarkan senyuman tipisnya. "Tidak perlu meminta maaf, kamu benar tentang semuanya.""Ma-maksudmu?""Aku memang benar-benar kecelakaan, tapi aku juga benar-benar menghindari pernikahan ini. Pernikahan kita yang aku rasa belum siap untuk aku lakukan. "Jawaban Gama membuat Mona mematung terkejut, meski tahu bahwa Gama belum menerimanya kembali, tetapi mendengarnya secepat itu adalah kejutan bagi Mona.Bibir seksi Mona melengkung dengan paksa hingga melukis sebuah senyuman getir. "Belum siap? Apa yang belum siap? Kita sudah memiliki segalanya, usia, materi, planning, pengenalan keluarga, kita juga sudah sangat saling mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun, Gam. Apa yang membuatmu ragu?""Rasa!" Jawaban singkat itu membungkam semua pertanyaan yang Mona tujukan, "Aku tidak mencintaimu, Mona.""Belum, Gama, belum. Kita belum mencobanya lagi.""Kamu sudah mencobanya, tapi aku tidak, bukan belum, tapi tidak ingin mencobanya lagi.""Gama ...""Aku harus mandi. Lain kali jangan masuk ke dalam kamarku seenaknya," ucap Gama seraya memasuki kamar mandi.Tidak ada lagi percakapan antara keduanya. Mona menghela napas panjang sebelum akhirnya meninggalkan kamar dalam keadaan tersenyum girang. Perempuan cantik itu tampaknya tidak ingin siapa pun tahu bagaimana hubungannya bersama Gama. Ia terus menahan diri hanya untuk mencoba menemukan Gama yang dulu sangat mencintainya...Waktu terus bergulir, langit yang sudah menampakan warna jingga membuat Anna sibuk merapikan halaman rumah untuk segera beristirahat.Langkah perempuan muda itu tidak selincah biasanya, ia bisa merasakan pandangan yang semakin tak karuan. Anna yang mendengar suara panggilan dari sang ibu dari dalam rumah sesegera mungkin untuk menyelesaikan pekerjaannya."Ibu sudah selesai, sekarang bersihkan dirimu, lalu kita makan dan beristirahat." Permintaan Lusi hanya mendapat anggukan kepala.Lebih dari hitungan menit, satu jam sudah Anna berada di dalam kamar mandi. Tidak ada kecurigaan, Lusi sibuk menyiapkan makanan sederhana seperti biasanya. Sembari menanti putrinya, ia juga berlanjut membersihkan tempat tidur dan dapur sisa-sisa dari aktivitasnya memasak.TOK! TOK TOK!Ketukan pintu malam itu cukup membuat Lusi terkejut luar biasa, bukan tanpa alasan, namun itu pertama kalinya ada seseorang yang bertamu malam hari.Suara ketukan itu kian bertambah ketika Lusi tidak menjawab dengan kalimat apa pun. Perempuan paruh baya itu bersiap dengan sebuah kayu sekedar untuk berjaga-jaga."Siapa?" tanya Lusi meski dalam pikirannya hanya ada satu nama, yakni Luis, "Siapa?" tanyanya untuk kedua kali."Aku."Jawaban singkat itu seketika membuat Lusi terkejut dan segera mengintip lebih dekat dari celah kecil dinding kayu rumahnya. Matanya membulat saat mengetahui bahwa sosok Gama ada di depan rumahnya.Lusi segera membuka pintu dengan gegabah, pertemuannya kedua itu menciptakan senyum bahagia satu sama lain.Satu cangkir teh hangat sudah tersaji di atas meja makan. Gama tersenyum, bukan karena segelas teh, namun karena meja dan keberadaannya yang sudah kembali duduk di kursi kayu tersebut."Ibu senang tuan Gama dalam keadaan baik-baik saja. Ibu juga sudah meyakinkan pada Anna bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk pada tuan."Ucapan terakhir Lusi cukup menimbulkan rasa penasaran bagi Gama. "Apa putrimu mengira aku lelaki payah yang akan kalah darinya dalam bertahan hidup di desa terpencil ini?" celetuk Gama dengan nada menggoda yang diiringi sedikit tawa."Anna memang begitu, dia terlalu perasa."Gama mengangguk-anggukan kepalanya seraya melirik ke setiap sudut rumah. "Di mana dia?" tanyanya saat menyadari bahwa sosok yang sedang menjadi topik pembicaraan itu tak kunjung menampakan batang hidungnya."Dia ... Oh iya, Anna sedang mandi, tapi ini sudah sangat lama, biar aku periksa dulu."Lusi mencoba memberi tahu putrinya, sementara Gama duduk di tempat sembari menikmati teh hangat yang sangat cocok dengan suasana desa tersebut. Dingin dan sunyi."Ann? Anna? Apa kamu dengar ibu? Ann?"Suara panik Lusi yang tiba-tiba terdengar membuat Gama bergegas menghampiri. Lelaki itu melihat Lusi sibuk mengetuk pintu tertutup di depannya."Ada apa, Bu?""Sudah lebih dari dua jam Anna di dalam, di kamarnya tidak ada, aku rasa terjadi sesuatu padanya di dalam."Gama mencoba mengambil alih, ia mengetuk pintu seraya terus memanggil nama yang sama. Air masih terdengar mengalir, Gama sangat yakin bahwa terjadi sesuatu pada Anna."Boleh aku mendobrak pintunya?"Lusi mengangguk mengizinkan, saat itu pula Gama mengambil posisi dan mendobrak pintu sekerasnya hingga terbuka dalam sekali dorongan. Tidak melenceng, baik Lusi mau pun Gama terkejut melihat Anna tergelatak dengan handuk yang hampir terlepas masih membungkus sebagian tubuhnya.Gama dengan sigap membopong perempuan yang tak sadarkan diri itu ke dalam kamar dan menutupinya dengan selimut karena bisa merasakan seberapa dingin tubuh Anna."Ann ... Anna."Lusi mencoba mengusap wajah putrinya dengan rasa cemas luar biasa. Tidak lupa mencoba memberikan sesendok teh hangat berharap kedua mata anak semata wayangnya tersebut terbuka dan sadar."Apa dia sakit?" tanya Gama."Tidak.""Boleh aku memeriksanya sebentar?"Lusi menoleh, lalu beranjak tanpa mengatakan apa pun. Gama yang merasa mendapat izin pun duduk di tepi ranjang. Tangan lelaki itu mulai menyentuh tangan Anna, berlanjut kening dan berakhir di wajah. Gama menyadari sesuatu yang mengganjal setelah melihat luka di sudut bibir Anna."Kenapa mulutnya terluka? Apa dia terjatuh?""Itu ... itu karena terpukul."Jawaban Lusi seolah tepat dengan apa yang telah Gama pikirkan sebelumnya. Wajah lelaki itu tampak sedikit bersemraut merah menahan amarah."Luis? Luis yang memukulnya?" tanya Gama.Anna membuka matanya secara perlahan ketika mendengar suara air yang sedang diaduk dalam gelas. Tatapan Anna tertuju langsung pada sosok lelaki yang tengah duduk di samping ranjangnya, perlahan ia terkejut ketika menyadari bahwa lelaki itu adalah Gama. "Tuan Gama?" "Sudah bangun? Lama sekali tidurnya.""Tu-tuan ada di sini? Di rumahku?" "Iya, ini rumahmu, aku tidak akan mengaku."Seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri, Anna melirik setiap sudut ruangan, lalu menatap Gama lekat-lekat.PLAK!"Shit! Apa kamu gila? Kenapa tiba-tiba menamparku, hah?" sentak Gama ketika pipinya secara tidak terduga mendapat tamparan keras dari Anna. Anna yang terkejut menutup mulutnya dan segera mengusap pipi Gama seraya meminta maaf. "Maaf, aku pikir aku hanya berhalusinasi. Sekali lagi maaf."Gama dengan cepat menepis sentuhan Anna di wajahnya, lelaki itu masih menunjukan gelagat tak suka. "Sudah jelas aku ada di depan mata, halusinasi apanya?""Maaf.""Minumlah!" titah Gama seraya me
Anna menggenggam kuat tangan sang ibu di hadapan Gama yang baru saja menjelaskan keinginannya untuk membawa mereka keluar dari desa tersebut. Tidak main-main dan tidak hanya sebatas kata, Gama bahkan sudah menyiapkan semuanya untuk menjamin tidak ada penahanan apa pun dari orang yang merasa memiliki hak atas utang piutang keluarga Lusi. "Apa tidak akan ada masalah berkepanjangan dan tidak memberatkan tuan juga?" Gama menaruh sebuah kartu berwarna hitam di atas meja. "Permasalahan kalian tentang uang, 'kan? Aku bisa melunasi semuanya. Kalian tenang saja."Lusi melirik Anna, lalu menatap Gama lekat-lekat. "Nominalnya tidak sedikit, itu pasti akan memberatkan tuan. Aku rasa tidak perlu, Tuan.""Aku bisa menangani semuanya.""Apa alasan tuan sampai sebaik ini pada kami?" Pertanyaan Lusi membuat Gama dengan spontan menatap Anna yang tampak masih ragu-ragu dan cemas. Lelaki itu pun tersenyum sembari beralih menatap Lusi. "Anggap saja ini tanda terima kasihku. Aku tahu kalian membantu dan
BRUAKK!Pintu terbuka di mana Gama tanpa basa-basi menarik tubuh Luis yang masih berbaring di atas tubuh Anna. Tidak terhitung seberapa banyak pukulan yang di daratkan oleh Gama pada Luis saat Lusi membantu Anna keluar dari dalam kamar. "Benar-benar lelaki tidak tahu malu. Beraninya melecehkan perempuan di depan ibunya sendiri. Apa pikiranmu tidak disisakan untuk menyimpan akal sehat?" hardik Gama seraya terus menghajar Luis. Meski bobot tubuhnya tidak sebanding dengan Gama, Luis tampaknya tidak ingin kalah. Ia berbalik menyerang Gama setelah berhasil mendorongnya. "Kamu yang tidak tahu malu, jika sosok tidak tahu malu sepertimu tidak datang, hubungan kami tetap seperti biasa. Tapi, apa? Kamu akan membawa calon istriku ke kotamu dengan seenaknya."Gama menyunggingkan sudut bibirnya, lalu menahan pukulan di udara saat melihat bagaimana Luis sudah setengah tak berdaya. "Aku tahu apa yang ada dalam otak lelaki sepertimu. Jadi, jangan merasa paling tersakiti. Cobalah yang lihat yang leb
"Selamat pagi," sapa Gama pagi-pagi buta seraya membuka pintu kamar Anna. Perempuan yang masih terlelap itu tidak tergubris. Gama merasa tidak terganggu, ia berjalan mendekati sofa yang terletak di sisi lain kamar untuk meletakan sebuah bag besar, sebelum akhirnya beralih mendekati tepi ranjang. Gama berlanjut melirik gorden yang terbuka, tidak hanya itu, ia juga mendapati jendela dengan kondisi yang sama. "Bangun!" ucap Gama berbisik tepat di depan telinga Anna hingga sang empu terkejut dan bangkit. Sikap spontanitas itu membuat Anna yang berniat duduk sontak mencium Gama secara tidak sengaja.Keduanya mematung bersamaan dalam posisi masing-masing. Anna menutup mulutnya dengan sebelah tangan, perasaannya berubah takut setelah melihat ekspresi Gama yang hanya diam tak berkutik. "Maaf, Tuan, aku tidak sengaja. Kenapa tuan ada di situ?" ucap Anna dengan nada gugup yang jelas terdengar. Wajah memerah itu pun tidak bisa disembunyikan. Alih-alih menjawab permintaan maaf Anna, Gama jus
Sudah hampir setengah hari, Anna masih duduk di ruang tengah sembari menatap beberapa makanan ringan yang tersedia di atas meja. Setelah keinginannya ditolak mentah-mentah oleh Gama, Anna hanya bisa duduk-duduk santai tanpa melakukan kegiatan apa pun. Hal itu jelas cukup menjengkelkan untuk Anna yang terbiasa memiliki aktivitas di kediaman sebelumnya. Namun, Anna berada di titik rasa bosan. Ia akhirnya keluar dari rumah sekedar untuk menikmati lingkungan sekitar. Cukup sepi, namun ada beberapa bangunan yang sama megahnya. Anna mendapati bahwa tidak ada banyak orang yang beraktivitas seperti pada umumnya. Cukup jauh Anna berjalan-jalan santai menjelang sore. Perempuan itu pun berhenti di sebuah kursi kayu yang berada di sisi danau indah yang lebih tampak seperti sebuah taman. "Aku tidak akan pulang! Aku akan pulang saat aku ingin pulang!" Anna terdiam mendengar pembicaraan seseorang yang baru saja duduk di sampingnya. Lirikan Anna membuatnya tahu bahwa lelaki berseragam sekolah itu
Gama melempar tas kerjanya ke atas sofa yang terletak di dalam kamar, sementara itu tubuhnya dibiarkan merebah pada kasur empuk berwarna putih. Tidak hanya lelah perkara pekrjaan, asmaranya dengan Mona, Gama juga masih memikirkan terkait kecelakaannya. Ia merasa tidak memahami semua yang terjadi. TOK! TOK! "Gam, boleh ibu masuk?" Mendengar suara sahutan Dira dari luar pintu kamarnya, Gama sontak menoleh dan menjawab, "Boleh. Masuklah." Sosok perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dengan pakaian elegan itu sudah duduk di tepi ranjang. Jemari tangannya mengusap lembut pucuk kepala sang putra. "Ada apa? Ibu baru saja tahu kalau kamu dan Mona bertengkar sampai melepas cincin. Kalian sudah dewasa, kenapa masih saja kekanak-kanakan.""Ibu tahu apa yang lebih kekanak-kanakan dari sikapku? Ya, itu perjodohan konyol ini. Aku sudah dewasa, aku bisa menemukan cintaku sendiri.""Hidup jaman sekarang tidak bisa sekedar cinta, Gam, tapi juga finansial ke depannya. Perusahaan kita sudah
Gama membaringkan tubuhnya di atas kasur. Setelah perbincangannya dan Mona sedikit memanas, ia memilih untuk mengunjungi rumah pribadi di mana sudah ada banyak perubahan di dalamnya semenjak keberadaan Lusi dan Anna. Gama merasakan ada sedikit kehangatan dari suara air mengalir, mesin cuci menyala, AC yang mendadak menjadi sebuah kehangatan dan aroma makanan setiap kali kakinya berada di dapur. TOK! TOK!Suara ketukan pintu membuat lamunan Gama tersentak, ia lantas beranjak menghampiri sumber suara. "Ada apa, Bu?" tanyanya pada Lusi yang sudah berada di depan pintu. "Tuan mungkin belum makan. Semua makanan sudah siap di bawah." "Iya, Bu, nanti saja." Gama menimpal sekenanya, lalu berniat menutup pintu kembali, tetapi hanya dalam hitungan detik tubuhnya berbalik, "Bu!" Lusi yang merasa terpanggil seketika menoleh. "Ada apa, Tuan?""Ke mana Anna? Aku tidak melihatnya dari tadi. Suaranya saja tidak terdengar." Lusi tampak sedikit terkejut dan terdiam beberapa detik. "Euh, Anna ....
Dua pasang kaki tengah asyik berlari kecil di trotoar jalan yang dipenuhi dedaunan. Anna kembali bertemu Alex untuk kesekian kalinya. Baik Anna mau pun Alex tampak senang dan nyaman satu sama lain, usia yang hanya terpaut satu tahun membuat keduanya bersikap layaknya teman yang sudah saling mengenal lebih dari hitungan hari.Cukup lama berlari bersama, langkah lincah Alex tiba-tiba dibuat berhenti saat Anna berhenti bergerak. Lelaki berseragam itu menoleh tanpa melepas genggaman tangannya pada Anna. "Ada apa, Ann? Kenapa berhenti?" "Ini gerbang perumahan ini, 'kan? Aku pikir aku keluar terlalu jauh dari rumah, Al."Alex yang semula begitu erat menarik tangan Anna perlahan meregangkannya perlahan. "Di luar sama saja, Ann.""Kita tidak akan pulang malam?"Alex terkekeh sembari menggelengkan kepala. "Tidak akan, aku janji." Alex kembali meraih pergelangan tangan Anna, "tenang, Ann, kamu denganku. Aku akan tidak akan membawamu terlalu jauh." Anna pun tersenyum, lalu kembali membiarkan A