Share

6. Dasar Jal-ang!

Gama duduk di sebuah kursi besar yang terletak tepat di depan jendela kaca kamarnya. Sudah satu minggu lebih kepergian lelaki itu dari kediaman Anna yang membawanya pulang dan lupa kembali sekedar untuk berpamitan pada sosok penolong tersebut.

Rasa bahagia bertemu dengan keluarga tercinta nyatanya sedikit berbeda. Gama merasa ada sesuatu yang kurang, yang mengganjal di hatinya seperti sebuah berat hati. Ada rasa bersalah karena tidak berpamitan pada Anna dan Lusi, meski Gama tahu bahwa kepergiannya sangat diinginkan oleh Anna, namun tetap tidak mengurangi jasa dan hutang nyawa atas pertolongan Anna.

Lamunan Gama mengenai kebersamaannya dengan Anna bahkan membuatnya tidak sadar jika perempuan tua sudah berjalan mendekat ke arahnya dengan raut wajah penuh tanya.

"Gama, ada apa, Nak? Ibu perhatikan semenjak kamu kembali, kamu banyak melamun."

Gama tersentak dan menoleh pada sosok yang ternyata adalah Dena sang ibu. Tidak ada jawaban langsung yang diberikan Gama, lelaki itu hanya diam sembari memuta-mutar cincin yang melingkar di salah satu jarinya.

"Kamu ingin bertemu Mona?"

Mendengar nama Mona seketika membuat Gama mematung cukup lama, kemudian menggeleng seraya meraih tangan Dena yang mengusap pundaknya. "Tidak, Bu, ini bukan tentang Mona. Aku hanya teringat seseorang yang sudah menolongku."

"Kamu ingin mengirim imbalan pada mereka?"

"Itu ide yang bagus, tapi ada yang lebih penting dari sebuah nominal sepertinya, aku belum sempat berpamitan. Rasa penasaran membuatku terus bergerak sampai menemukan jalan pulang dan lupa kembali."

"Mereka pasti tahu kalau kamu sudah berhasil pulang."

Ungkapan Dena mengingatkan Gama pada ekspresi cemas Anna saat dirinya hendak pergi dari rumah sederhana itu. Tanpa sadar gurat senyum yang jarang sekali terlihat itu bertahan cukup lama.

"Kenapa? Tadi murung, sekarang tersenyum sendiri. Mereka juga pasti senang kamu sudah pulang, Gam. Ibu yakin itu."

Ungkapan kedua dari Dena lagi-lagi membuat Gama mengulang percakapannya bersama Anna, namun tampak berbeda dari sebelumnya mengembang sempurna perlahan memudar.

'Pulanglah!' Satu kata itulah yang terngiang-ngiang dalam ingatan Gama.

Satu minggu berlalu, Gama merasa ada sesuatu yang bilang dalam kesehariannya.

"Oh, iya, memangnya siapa orang yang sudah menolonngmu? Mungkin saja perasaanmu akan jauh lebih senang jika seandainya ibu kirimkan sesuatu yang bisa membantu mereka di sana. Katamu kehidupan mereka berada di ekonomi bawah,'kan?" ucap Dena kembali.

"Biar Gama yang pikirkan itu, Bu. Oh iya, ada apa ibu kemari?" Gama mencoba mengalihkan suasana.

Dena melirik jam yang melingkar di tangannya, lalu kembali mengusap pundak putranya dengan lembut. "Mona akan kemari, mungkin lima menit lagi sampai. Kita akan makan bersama, sekaligus membahas kerja sama purusahaan kecantikannya yang akan berkolaborasi dengan perusahaan kecantikan milik ibu. Semoga kamu tidak ada kesibukan apa pun, ya, Gam," tuturnya seraya berjalan keluar dari dalam kamar.

Gama tidak menimpalinya dengan kalimat apa pun, namun mencoba memikirkan kembali kehidupannya sebelum peristiwa kecelakaan penuh hal mengganjal itu terjadi. Lelaki berpakaian rapi itu melirik kembali seisi kamarnya.

Tangan kekar yang semula saling bertautan satu sama lain itu mulai menyentuh dada bidang yang terdapat bekas luka terparah dari tubuhnya. Gama masih mengingat aroma dedaunan yang setiap hari dijadikan obat oleh Anna. Sentuhan dari tangan mungil milik perempuan bernama Anna itu seperti magnet yang terus menepel di pikirannya.

"Ayolah, Gama, dia masih terlalu muda untukmu." Gama bergumam sendiri sembari terkekeh geli.

Tampaknya tidak hanya Gama, di sebuah kamar dengan nuansa yang berbeda, kecemasan Anna tidak kalah bergelutnya. Perempuan muda yang terbiasa merawat seseorang itu terlihat sangat kehilangan, terlebih dengan perasaan cemas yang tidak ada hentinya menghantui karena kepergian tanpa pamit yang dilakukan oleh Gama.

Rasa resah tampaknya tidak hanya dirasakan oleh Gama seorang diri, jauh dari hiruk pikuk perkotaan, di sebuah desa di mana rumah sederhana berdinding kayu tengah menampung perempuan yang sudah hitungan hari merasakan cemas. Kepergian Gama dari rumahnya menjadi alasan dari kesedihan tersebut.

Anna, perempuan yang selama ini merasa bertanggung jawab atas kesehatan Gama terus dibuat bertanya tentang keberadaan Gama. Ia tidak bisa tenang karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Ibu pulang!"

Seruan cukup keras dari Lusi tidak lantas membuat Anna menyadarinya, Lusi yang tahu bahwa putrinya tengah melamun pun segera duduk berhadapan sampai Anna dibuat terkejut.

"Ibu? Ibu sudah pulang? Biar Anna ambilkan minum."

Seperti biasanya, Anna dengan cepat beranjak mengambilkan segelas air yang tidak memerlukan waktu banyak sudah kembali.

Dalam satu tegukan saja air yang dibawa oleh Anna sudah ludes terteguk. Masih dengan senyuman hangat, Lusi menaruh gelas kosong di tangannya dan mengusap tangan sang putri selembut mungkin.

"Masih memikirkan tuan Gama? Ann ... ini sudah satu minggu lebih, ibu rasa dia sudah lupa tentang kita."

"Tidak, Bu. Anna hanya merasa khawatir dengan lukanya saja."

"Tidak." Lusi menggelengkan kepala perlahan seraya menatap putrinya lekat-lekat, "Kamu tidak hanya mencemaskan lukanya, tapi orangnya. Kamu menyukainya, 'kan, Ann?"

Ada diam sesaat, sebelum akhirnya menggeleng ragu.

"Ann ... ibu rasa tuan Gama itu berasal dari keluarga atas, keluarga dengan segala hal bisa dimiliki, dia jug sudah dewasa, ibu pikir sudah ada keluarga yang menunggunya kembali. Itu sebabnya dia tidak kemari lagi. Seandainya jawabanmu benar, bahwa tidak ada perasaan lebih, mungkin itu jauh lebih baik untuk kita. Kita tidak sederajat dengannya."

Anna terdiam kembali seolah mengiyakan semua perkataan Lusi.

"Jadi, lelaki yang kamu banggakan itu sudah pergi?" Suara lantang Luis membuat Anna dan ibunya menoleh bersamaan.

Helaan napas terdengar jelas dari Anna ketika lelaki berwajah oriental itu mendeket dan berdiri tegak di depannya dengan angkuh. "Aku sudah katakan kalau tidak ada yang mencintaimu sebaik aku, Ann," ucap Luis seraya berniat mengusap pipi Anna, namun lebih dulu mendapat tepisan kuat.

"Jangan menyentuhku. Apa tuan lupa bagaimana seseorang menghajar tuan Luis yang terhormat sampai tersungkur ke tanah? Apa tuan ingin tuan Gama melakukannya lagi, hah?"

"Kamu sudah berani, Ann!" sentaknya sembari mencengkram kuat pipi Anna dengan sebelah tangannya.

"Tuan, tolong lepaskan Anna, maafkan dia."

"Biarkan saja, Bu. Lelaki seperti ini layak memperlakukan perempuan dengan caranya sendiri," timpal Anna kian menambah geram Luis.

Wajah penuh amarah itu menatap Anna dengan kesal, bersamaan dengan cengkraman yang semakin kuat.

Anna tahu apa yang Luis lakukan terhadapnya, Anna merasakan sakit di wajahnya, tetapi ia terus menyembunyikan rasa sakit di hadapan Luis dengan tidak meringis sedikit pun.

Luis menyunggingkan sudut bibirnya pada Anna. "Jangan menyentuhku katamu? Aku tidak boleh menyentuhmu, tapi lelaki lain bebas tidur denganmu? Dasar jal-ang!"

PLAK!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status