Share

5. Pulang

Gama membuka jendela kamar di mana Anna sudah sibuk memotong kayu dengan sebilah kapak. Melihat matahari tampak sudah cukup terik, Gama bisa menerka bahwa Lusi sudah tidak berada di rumah. Untuk beberapa saat Gama memilih untuk tetap memperhatikan Anna dari balik jendela. Gurat senyumnya terlukis ketika mengingat perkataan Lusi di mana membeberkan fakta bahwa Anna jatuh hati saat dirinya tidak sadarkan diri.

"Anak itu."

Gama berucap dengan nada meremehkan, namun setengah merasa salah tingkah dan cukup gemas. Ia tidak menyangka akan disukai perempuan yang usianya cukup jauh di bawahnya.

"Perlu bantuan, Nona kecil Anna?" godanya berhasil membuat sang empu menoleh dan segera membelakangi sumber suara.

Merasa tidak puas godaannya diabaikan, Gama lantas keluar dan berdiri di samping Anna yang masih sibuk memotong kayu. Dari wajahnya sudah bisa ditebak jika perempuan berkaos polos dan rok panjang itu menahan kesal.

"Biar aku bantu, Nona."

Anna menepis tangan yang berniat mengambil alih benda tajam di tangannya. "Tidak perlu, Tuan, istirahat saja, aku bisa melakukannya sendiri."

"Sepertinya kamu ingin aku terus beristirahat di sini, Nona Anna. Kalau boleh tahu sejak kapan kamu menyukaiku?"

Kesal Gama menggodanya terus menerus, Anna menghentikan aktivitasnya dan menatap Gama dengan tatapan tak suka. "Jangan memanggilku nona!"

"Bukankah tuan itu berpasangan dengan nona? Kamu sendiri terus memanggilku tuan."

"Itu berbeda, itu tentang kasta dan ucapan hormatku pada yang lebih tua," timpal Anna.

Jawaban Anna seketika membuat Gama berhenti berkata-kata. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, namun dari tatapannya sedikit berbeda meski raut wajahnya datar.

"Biar aku membantumu. Duduklah!"

Gama mengambil paksa kapak dan meminta Anna untuk duduk beristirahat. Gama merasa perlu melakukan semuanya karena kebaikan Anna selama berhari-hari padanya. Itu untuk pertama kalinya pula dirinya melihat bagaimana seseorang begitu mencemaskannya tanpa melihaat seberapa kuat tenaganya, besar tubuhnya dan banyaknya harta yang dimiliki. Kecemasan Anna bisa dirasakannya bernilai ketulusan, terlepas itu cinta remaja atau bukan, tetapi Gama sangat menghargainya.

"Kenapa tuan tidak pergi kemarin?" tanya Anna memecahkan keheningan.

"Karena kamu mencemaskannya."

"Bohong. Sudah jelas tuan masih berada di depan pintu."

Gama menyunggingkan sudut bibirnya tanpa menoleh sedikit pun. "Karena kamu mencemaskanku itu sebabnya aku tidak bisa pergi," jawab Gama setengah menggoda Anna.

Tidak ada respon apa pun yang dikeluarkan Anna, selain sedikit mendesis kesal. Hal itu membuat Gama tampak semakin senang mengeluarkan kalimat yang bisa mengganggu perempuan muda di depannya.

Lelaki berkaos polos itu mendekatkan wajahnya pada Anna yang sedikit mundur untuk menjaga jarak. "Kamu tahu, sebelumnya aku memikirkan cara bagaimana bisa segera pulih dan pulang, setelah mendengar bahwa ada perempuan muda yang cukup cantik jatuh hati padaku, aku jadi sedikit berat untuk pergi. Bagaimana perasaannya seandainya aku pulang?"

"Ishh!" Anna mendorong dada Gama sampai keduanya kembali berjarak, "Aku tidak tahu jika tuan semenyebalkan ini saat sadar, seandainya aku tahu, aku tidak akan merasakannya."

"Merasakannya? Merasakan apa? Jadi, kamu benar-benar jatuh cinta pada lelaki yang tidak kamu kenali ini?"

"Aku hanya cemas melihat keadaanmu saja. Kamu tidak berdaya, kamu sekarat, darah di mana dengan luka yang tidak kecil, tidak ada siapa pun dan tidak ada apa pun. Aku merasa iba padamu. Itu saja!"

"Lalu, selama berhari-hari kamu merawatku, membasuh kotoran di tubuhku, mengobati banyak luka, sampai aku bisa kembali berdiri seperti ini, kamu juga yang selama ini ...." Gama menggantung kalimatnya, kemudian menatap Anna dengan senyum jahil.

"Selama ini apa?"

"Kamu yang selama ini mengganti pakaianku dan ...."

"Dan apa? Aku tidak melakukan apa pun padamu, aku bahkan tidak tertarik. Dasar mesum!" gerutu Anna kian kesal.

"Kalau seandainya aku benar-benar pergi semalam, bagaimana denganmu?"

"Tidak apa-apa. Itu berarti lukamu sudah sembuh total."

Gama menggeleng-gelengan kepala perlahan, "Belum. Lukaku masih sakit. Jadi, kamu perlu untuk cemas," Gama berucap dengan nada sedikit lebih lembut, "Kamu tahu, ini untuk pertama kalinya ada seseorang yang secemas itu padaku tanpa melihat aku siapa, aku bagaimana. Aku juga merasa beruntung karena di balik kejadian pahit ini, Tuhan membawamu padaku. Terima kasih, Anna."

"Kamu ini bicara apa? Sudah kukatakan jika siapa pun bisa melakukan itu ketika di posisiku. Jangan menyanjungku terus menerus. Aku tidak suka."

Gama menatap Anna lekat-lekat, lalu tertawa terbahak-bahak, hingga memecah obrolan yang beberapa detik lalu cukup serius.

Hal itu sontak membuat Anna mengerutkan dahi penuh tanya, sikap Gama sering membuatnya merasa tak nyaman.

"Kenapa tertawa? Apanya yang lucu?"

"Tidak ada sebenarnya, hanya saja kamu terlihat jauh lebih muda dari usiamu. Mungkin kita terlihat seperti anak dan ayah atau adik dan kakak," jawab Gama.

"Lalu?"

Gama menyunggingkan sudut bibirnya, lalu membungkukkan tubuh mendekatkan wajah pada Anna yang mematung dan terkejut dengan apa yang dilakukan lelaki di hadapannya tersebut.

"Lalu ... apa itu tidak masalah untukmu karena menyukai lelaki yang jauh lebih tua?" .

"Ishhh!"

"Awww!" Gama mengerang sakit ketika kaki mungil Anna menginjak kaki tanpa alas tersebut, namun, ia juga tampak puas tertawa seraya menatap kepergian Anna dari hadapannya.

"Ann, Anna! Hei, jangan begitu, bagaimana nasib perasaanmu jika aku pergi? Cintamu tidak akan mendapat jawaban apa pun, tapi ..." Gama diam menahan kalimatnya, "Cintamu mungkin tidak akan bertepuk sebelah tangan," lanjutnya dengan nada yang hampir tidak terdengar.

Di satu sisi, Gama terkekeh kembali cukup lama melihat Anna pergi dengan amarah yang menggebu-gebu terhadapnya. Ia tidak menyangka jika menggoda perempuan muda bisa semenyenangkan itu. Setidaknya, sampai dirinya bisa kembali pulang, Anna bisa menjadi teman yang akan membuat harinya jauh lebih menyenangkan.

"Perempuan yang lucu. Aku seperti sedang menghadapi anak-anak remaja yang keras kepala," gumam Gama masih dengan senyum gemas.

Puas menggoda Anna sampai perempuan itu beranjak pergi, Gama lantas melanjutkan aktivitas memotong kayu yang masih cukup banyak.

Asik menyelesaikan pekerjaannya, Gama memperhatikan sekeliling rumah sederhana yang sudah ia pijaki beberapa hari terakhir. Tidak sulit mejelaskan kondisi lingkungan di depannya, namun akan sulit untuk dijadikan sebuah arahan bagi siapa pun yang mungkin sedang mencari keberadaannya. Hal itu membuat Gama berjalan lebih jauh dari kediaman Anna, lelaki itu mencoba mencari tahu sendiri bagaimana keadaan desa terpencil tersebut.

Tidak ada banyak aktivitas. Gama melihat beberapa orang sibuk di sebuah lahan karet, tidak jauh dari sana, Gama juga melihat sungai membentang di mana dari kejauhan sudah bisa terlihat bahwa ada jalan membentang.

Kondisi rumah-rumah yang saling berkerumun di beberapa titik membuat suasana tidak terlalu ramai. Semua yang dikatakan Anna dan ibunya benar, desa tersebut sangat minim alat transportasi. Jalan yang sudah Gama pijaki saja masih sangat sepi dan hanya ada beberapa angkutan umum.

Keterbatasan membuat setiap mobil yang melintas terisi penuh. Gama tidak berpikir untuk pergi, ia hanya ingin mencari tahu tempat terakhir ia jatuh ke jurang.

"Jika Anna menemukanku di sungai, itu berarti aku jatuh di bagian jalan atau jembatan. Tapi, di mana?" Gama melirik sekelilingnya. Panas terik matahari membuat suasana kian sepi, tidak ada yang bisa ditanyakan pada seseorang.

"Sial! Kenapa aku tidak ingat apa pun sebelum kejadian. Aku jatuh karena kecelakaan mobil atau bagaimana? Tapi, kenapa Anna tidak memberi tahu bahwa ada kendaraan di dekatku seandainya aku jatuh dengan mobilku? Jika, bukan karena itu, lalu kenapa aku bisa sejauh ini?"

Tidak putus asa, Gama terus berjalan mencari tempatnya terjatuh sebisa mungkin. Ia ingin mengetahui alasan ia bisa pergi sejauh itu sendirian, tanpa identitas apa pun.

.

.

Hari sudah mulai gelap, makanan di atas meja masih tampak utuh. Anna, perempuan itu sudah berdiri di ambang pintu dengan perasaan gelisah dan dikuliti kecemasan saat lelaki yang masih belum benar-benar pulih itu tidak kunjung kembali setelah perseteruan kecilnya pagi hari.

Lusi yang sudah menyelesaikan sesi makan hanya bisa menunggu putrinya lebih tenang. Ia menyentuh bahu Anna mencoba menenangkan. "Makan dulu, Ann."

Anna menatap ibunya dengan raut wajah murung. Tergambar jelas ada kecemasan di dalam diri perempuan cantik tersebut.

"Tuan Gama itu sudah dewasa, sepertinya dia dari kalangan atas, dari cara bicara dan tindakannya, dia terlihat sangat pandai. Dia pasti tahu apa yang dia lakukan, Ann. Jangan cemas berlebihan." Lusi kembali memberikan nasihat pada putrinya agar segera beristirahat dan mengisi perut kosong sedari pagi.

"Anna tahu, Bu, tapi ini bukan perkotaan. Bagaimana jika tuan Gama tersesat dan salah jalan hingga ke hutan?"

"Kamu tidak merasa sudah memilikinya hanya karena merawatnya selama ini, 'kan, Ann?" tanya Lusi membuat Anna menoleh cepat.

Anna terdiam mendengar penuturan Lusi yang seolah membenarkan semua prasangka tersebut. Entah apa yang dirasakan oleh Anna, namun ia tampaknya memang benar-benar menaruh rasa peduli yang sangat tinggi terhadap Gama.

Merawat seseorang dalam waktu cukup singkat sepertinya berhasil membuat Anna merasa Gama sudah menjadi sebuah bagian dari keseharian. Rasa kasihan telah berubah menjadi rasa cemas yang melibatkan batin seorang perempuan terhadap lelaki pada umumnya.

"Ann, tuan Gama mungkin saja sudah memiliki keluarga."

Anna menggeleng pelan sembari tersenyum tipis. "Anna hanya khawatir terjadi sesuatu, Bu, lukanya belum pulih betul. Anna juga sadar tentang bagian lainnya."

"Ya sudah, sekarang makan dan kita istirahat."

"Iya, Bu."

.

.

Perut yang terisi, waktu yang kian larut tidak kunjung membuat Anna bisa tenang. Tepat pukul satu tengah malam, Anna terbangun dan masih belum menemukan sosok Gama berada dalam rumah, ia juga mencoba mengintip dari balik gorden di mana tidak ada tanda-tanda bahwa Gama sudah kembali. Keadaan luar masih sangat gelap, begitu pula dalam rumah. Anna kembali duduk di tepi ranjang, tidak sengaja matanya menangkap jaket hitam yang menggantung di salah satu dinding.

"Apa tuan Gama sudah benar-benar pulih dan bertemu keluarganya? Kenapa dia tidak kembali? Apa mungkin karena aku terlalu banyak bicara?" gumam Anna dengan perasaan tak karuan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status