Share

2 - Godaan Alexander

"Kau sudah makan atau belum?"

Synda menggeleng pelan. Namun, tak ingin memberi respons imbuhan lewat kata-kata untuk pertanyaan yang dilontarkan sang kakak. Synda yakin jika sudah bisa dipahami oleh saudara sulungnya itu, walau dirinya tak menjawab dengan jelas atau detail.

"Kenapa tidak cicipi ayam dan pasta, jika kau belum makan? Nanti kau bisa sakit. Dapat berpengaruh untukku juga. Pekerjaan akan dilimpahkan kepadaku, saat kau sakit."

Synda memilih meneguk wine yang tersisa banyak di dalam gelasnya, dibandingkan ia harus meladeni Barret Sydney yang sedang mabuk. Ia bisa memaklumi jika sang kakak akan lebih banyak mengoceh, ketika sudah dipengaruhi oleh minuman beralkohol.

Suasana hatinya juga tengah tak baik akibat harus berada di satu tempat dengan mantan kekasihnya. Benar, mereka masih duduk di teras belakang. Dirinya, sang kakak, Aldora, dan Alexander. Hanya berempat saja.

"Ayolah, Adikku. Kau harus makan. Apa kau tahu? Tubuhmu semakin kurus sekarang."

"Aku sendiri tidak sadar kau yang tambah kurus, aku baru diberitahu Alex. Dia yang sangat menyadari kau kehilangan berat badan cukup banyak. Apakah dipengaruhi kau putus dengan Alexander? Mengak--"

"Sudahlah, Barret. Kau semakin tidak jelas saja berbicara. Tidak bisakah jika kau mabuk kau diam? Jangan mengatakan yang dapat membuat orang lain kesal. Termasuk juga adikmu. Lagipula, di sini ada Alexander."

Synda segera mengangguk dan mendelik ke arah sang kakak. Sungguh, ia sangat kesal dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan. Synda tahu bahwa saudara sulungnya itu tengah dipengaruhi vodka. Namun, tetap saja harus memerhatikan cara berbicara.

"Dia memang menyebalkan!" Synda berseru dengan intonasi suara kencang, disengaja.

Kemudian, wanita itu beranjak bangun. Ia akan pulang. Lebih lama bersama kakaknya, maka tidak akan menjamin jika emosi dan kekesalan berkurang. Yang ada sebaliknya. Tak ada guna jika melawan orang mabuk. Hanya akan menguras energi saja, tak ada manfaat yang dapat diambil nantinya.

"Kau mau ke mana? Diamlah di sini. Jangan pergi, disaat sudah tengah malam. Kau tahu jika di luar sana tidak cukup aman. Akan ada banyak preman menunggumu di jalan."

"Lagipula, tamumu belum pulang. Bukankah tidak sopan jika kau meninggalkanku? Kau harus menghargai orang yang datang untuk menjaga hubungan baik denganmu. Tidak peduli akan masa lalu yang pernah terjadi."

Synda langsung menolehkan kepalanya ke sosok Alexander yang baru selesai berucap. Ia melemparkan tatapan sinis dan tak suka karena pria itu juga menyeringai. Seakan ingin menantang dirinya. Synda tentu saja berusaha membalas dengan setimpal. 

"Aku juga punya hak. Mau tetap di sini atau pergi adalah urusanku sendiri. Aku tidak peduli jika ada tamu. Aku juga butuh waktu beristirahat." Synda menjawab dingin.

"Hei, Adikku. Kau jangan bersikap begitu. Kau harus menghargai Alexander. Dia akan menjadi klien baru perusahaan kita. Aku dan dia juga berteman baik. Mengerti? Kau tidak boleh membantah ucapan kakakmu."

"Synda, sebentar saja. Tidak akan lama. Kau nanti pasti akan pulang. Aku membantu."

Tak ada pilihan lagi selain menuruti ucapan Aldora. Ia memercayai wanita itu akan bisa membantu. Synda pun memutuskan untuk duduk kembali di sofa, tepat di samping kiri sang mantan kekasih. Ia tahu bahwa pria itu masih memandangnya. Namun, diputuskan mengabaikan saja. Tak ada keuntungan yang akan didapatkan olehnya juga membalas.

"Synda, aku beri kau tugas menangani kerja sama perusahaan kita dengan Mr. Dominiq."

Langsung ditolehkan kepala ke arah sang kakak. Mata membelalak kaget. "Aku sudah bilang aku tidak mau. Kenapa kau memaksa terus? Kau memutuskannya sendiri. Ak--"

"Kau kenapa tidak mau, Sayang? Dulu, saat kita menjalin hubungan, kau dan aku sudah pernah bekerja sama. Kenapa sekarang kau tidak mau? Apakah kau takut padaku?"

Synda langsung mengalihkan pandangan ke sosok mantan kekasihnya. "Takut kepadamu, Mr. Dominiq? Tidak. Aku sama sekali tidak takut harus bekerja sama denganmu lagi."

"Hmm. Aku hanya berusaha menjaga jarak dan diriku darimu. Matamu penuh gairah setiap menatapku. Kau masih menginginkan aku bukan?" Synda bertanya santai saja.

"Haha. Kau benar. Aku masih sangat ingin dirimu, Sayang. Aku tidak bisa melupakan apa pun tentangmu, Synda. Jadi, apa dengan kerja sama ini, kemungkinan memberi kita kesempatan mengalami cinta membara?"

Synda menyipitkan kedua matanya. "Hmm, bagaimana jika aku menolak? Kau akan bisa melakukan apa untuk membuatku tertarik?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status