Share

5 - Tingginya Sensitivitas

"Jadi, kau tidak ingat sama sekali apa yang sudah kalian lakukan kemarin malam di dalam kamar?" Barret bertanya dengan rasa ingin tahu yang semakin bertambah besar.

"Aku tidak ingat. Kau boleh percaya ataupun tidak jawabanku. Terserah padamu saja."

"Aku tidak percaya. Walaupun, aku mabuk. Aku masih ingat bagaimana aku dan Aldora menghabiskan malam panas. Dia yang mengerang dengan suara seksi p--"

"Bisakah kau jangan menceritakan secara detail? Itu adalah privasi kita. Kau tidak bisa membukanya kepada orang lain, tanpa ada persetujuan dariku dahulu. Mengerti?"

Barret mengangguk dengan gerakan santai dan memperlebar senyuman ke arah sang kekasih guna menanggapi permintaan dari wanita itu. Ia juga mengedipkan mata.

Barret tak akan melakukan rayuan apa pun untuk menenangkan Aldora yang sedang kesal. Kekasihnya tak benar-benar marah. Dari raut wajah tampak jelas menunjukkan rasa malu. Ada semburat warna merah pada kedua pipi. Hanya suara Aldora saja yang terdengar seperti kesal. Memiliki perbedaan ekspresi wanita itu. Ia bisa mengenali baik.

"Okay, Sayang. Akan aku tutup mulutku."

Barret lantas mengalihkan pandangannya ke sosok sang adik, Synda. Sebentar saja. Ia cepat memindahkan atensi pada Alexander. Barret pun seketika mengeluarkan tawanya. Disebabkan oleh aksi dilakukan Alexander. Barret tiba-tiba saja mendapatkan ide untuk mengerjai mantan kekasih adiknya itu. Dan, Synda akan menjadi candaannya juga.

"Ceritakan saja kepada kami apa yang sudah kalian lakukan. Jangan pernah merasa malu atau sungkan. Terutama kau, Adikku," ujar Barret dengan santai sembari menyeringai ke arah Synda. Sengaja dilakukan olehnya.

"Apa yang kau bicarakan? Aku dan dia tidak melakukan apa-apa yang muncul di dalam pikiran kotormu." Synda spontan meninggikan nada suara, akibat kesal.

"Jangan berpura-pura padaku. Kenapa kau tidak jujur saja, Adikku? Kita adalah saudara, aku akan dengan senang hati mendengarkan semua keluh kesahmu."

Synda menggerutu. Kian jengkel akan sikap ditunjukkan kakaknya. "Aku tidak akan mau berbagi cerita apa pun denganmu! Kau biasanya suka bermulut besar."

"Baiklah, kalau begitu. Tapi, soal hubunganmu dengan Alexander pengecualian bagaimana?"

"Kau senang sekali untuk ikut campur masalahku. Apa maumu?" Synda kembali menaikkan intonasi.

Synda menajamkan tatapan dan membuat ekspresi wajahnya sedatar mungkin untuk memerlihatkan kepada sang kakak bahwa ia benar-benar sedang kesal. Pertanyaan yang dilontarkan tidak dianggap sebagai guyon belaka. Terlebih, berkaitan dengan mantan kekasihmya. Tak akan pernah main-main. Ia bahkan enggan membahas Alexander.

Bukan karena menaruh kebencian pada pria itu. Hanya saja membahas masa lalu tidak menyenangkan untuknya. Mengingat, ada beberapa hal tentang Alexander yang masih belum mampu dihilangkan hingga kini.

Terutama, kenangan manis yang pernah di antara mereka terjadi. Membekas menerus pada lubuk hati terdalam dan pikirannya. Meski, semua sudah berupaya untuk ia lupakan. Nyatanya, tidak mudah seperti yang diinginkan. Masih kerap berputar di dalam kepalanya sebagai memori-memori indah. Menyebalkan memang jika logika sudah bermain. Tetapi, perasaan memiliki peranan tersendiri yang tak bisa diabaikan.

"Apa mauku? Hmm. Aku ingin kau dan Alex kembali menjadi kekasih. Kalian sangatlah cocok satu sama lain. Percaya padaku."

Synda menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Lebih ditajamkan tatapan ke sang kakak. Ia kian emosi mendengar bagaimana Barret begitu percaya diri menyampaikan pendapat tentang hubungannya dengan Alexander.

"Kau juga masih sayang dia bukan, Adikku? Ayolah, kembali padanya. Aku mendukung."

"Aku tidak mau." Synda menjawab tegas.

"Hahah. Jangan begitu. Lagipula, kau dan Alex akan terlibat kerja sama. Kalian akan jadi lebih sering berinteraksi dan bertemu. Bisa saja kalian bercinta setiap mal--"

Synda tak membiarkan sang kakak untuk melanjutkan ucapan. Sudah dibungkamnya menggunakan tangan kanan mulut Barret supaya kakak sulungnya mau berhenti ria berceloteh. Ia juga memberikan remasan di bagian lengan kiri Barret cukup kuat. 

Dilakukan sebentar saja. Bagaimana pun juga dirinya bukanlah tipe orang yang suka menyiksa saudara sendiri. Tidak akan juga melampiaskan kekesalannya berlebihan dengan kekerasan fisik yang menyakitkan.

"Aku tidak mau menangani kerja sama apa pun dengan dia. Kau jangan memaksaku."

Barret menyeringai lebar sembari ditatapnya sang adik dengan pancaran kedua mata yang memancarkan sorot mengejek. "Kau yakin tidak mau menjalankan tugas?"

"Baiklah. Kau akan segera diberhentikan dari perusahaan. Apakah kau setuju, Synda? Jika kau tidak bekerja lagi, kesempatanmu untuk menyaingiku akan hilang, Adikku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status