"Ayana!" seru Dindar saat sarapan pagi berlangsung.
Ayana yang masih merasa sakit hati dengan perkataan kasar Dindar semalam hanya melirik Dindar tanpa berucap."Kamu masih marah samaku, Ay?" Dindar bertanya sambil terkekeh menatap Ayana.Lagi, Ayana masih bungkam. Wanita mana yang tak sakit hati jika suaminya memarahi dan menyalahkan dirinya sebab melakukan tak kesengajaan disaat mereka sama-sama meneguk madu."Maaf, ya, Ay!"Ayana menghela nafas seraya menyudahi sarapannya. Sudah biasa Ayana mendengar permintaan maaf Dindar setelah Dindar memarahinya sebab kesalahan yang sama."Kenapa kau tak menjawab, Ay?" tanya Dindar."Aku sudah terbiasa dengan permintaan maafmu, Mas!" Nada bicara Ayana tampak lesu. Sekilas mata Ayana melirik ke arah Dindar yang saat ini bergeming dengan mata sama menatap Ayana.Sekali lagi Ayana menghembuskan nafas sebelum akhirnya ia berdiri untuk membereskan meja makan."Tidak perlu kau lakukan itu, Ay!" Dindar segera berdiri dari kursinya, lalu berjalan menghampiri Ayana dan mengambil alih piring kotor dari tangan Ayana."Biar aku saja yang melakukannya!" Dindar tersenyum seraya mengecup mesra pipi Ayana sebelum akhirnya Dindar pergi ke dapur dan meletakkan piring kotor di wastafel.Ayana yang keheranan dengan sikap suaminya tersebut hanya bisa menggelengkan kepala.Selanjutnya Ayana mengambil sisa piring di meja makan lalu membawanya ke dapur menyusul Dindar."Kok kamu bandel, sih. Kan Aku sudah bilang biar aku saja yang melakukannya." Dindar protes saat Ayana sudah tiba di dapur dan menaruh piring kotor di wastafel dimana saat ini Dindar tengah mencuci perabotan kotor."Sudah, Mas. Biar aku saja yang lanjutkan. Nanti Mas bisa telat datang ke kantor." Ayana sedikit menyunggingkan senyuman."Ya ampun…perhatian sekali istriku." Dindar berucap dengan sangat manisnya. Selanjutnya ia menyudahi aktivitas mencuci piring, mendekati tempat Ayana berdiri."Karena kamu nakal. Sini aku beri hukuman." Tangan kiri Dindar meraih pinggang ramping Ayana."Mas, apaan, sih." Ayana tersenyum dengan perlakuan Dindar. Namun saat tangan kanan Dindar meraih tengkuk Ayana untuk diciumnya, tiba-tiba Dindar lekas mendorong kasar Ayana hingga tubuh kecil istrinya tersebut hampir menabrak meja kalau saja Ayana tak menahan diri."Mas!" pekik Ayana."Kenapa ada tanda merah di lehermu, Ay!" Dindar menatap tajam. Bak pedang yang siap melukai musuhnya."Apa! Kau menanyakan tanda merah ini, Mas?" Ayana tersenyum getir."Iya!""Bukankah ini perbuatanmu semalam, Mas!" Ayana menunjuk lehernya penuh kegeraman."Iya, aku tahu itu perbuatanku, Ay. Lalu siapa lagi. Sebab hanya aku yang boleh menyentuh dirimu. Namun pertanyaannya bukan itu. Tapi kenapa tanda merah itu masih ada." Nafas Dindar tampak memburu. Penuh emosi."Bagaimana mau hilang, Mas. Sedangkan ini hasil semalam!" balas Ayana."Ya hilangin, dong, Ay. Bagaimanapun caranya kamu hilangkan itu bekas. Apa kamu sengaja, heum. Mau memajang itu tanda, begitu?""Apa?" Kening Ayana mengkerut mendengar tuduhan Dindar."Mas, kok bisanya nuduh aku begitu." Ayana tak terima."Ya lalu apalagi.""Kenapa apa-apa yang itu dihasilkan oleh perbuatan Mas Dindar tapi selalu aku yang disalahkan? Kenapa, Mas. Kenapa!""Jangan melawan, Ay. Aku tak suka." Dindar mencengkeram kuat bahu Ayana."Mas. Kau menyakitiku." Ayana mengaduh kesakitan."Kenapa kau selalu melawanku, heum?" Rahang Dindar mengeras. Sedangkan tangannya semakin kuat meremas bahu Ayana yang kecil."Mas. Sakit!" teriakan Ayana seketika langsung membuat Dindar segera melepas cengkeramannya."Jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Aku tak suka." Setelah berucap dengan sengitnya, Dindar segera berlalu tanpa ada pamitan seperti biasanya pada Ayana.Ayana hanya bisa memejamkan mata seraya duduk dengan lemas di kursi meja makan.*****Ayana segera membuka pintu saat mendengar suara bel rumah. Ia tahu yang datang adalah Dindar, sebab bertepatan pada jadwal kepulangan Dindar dari kantor.Ayana segera menyunggingkan senyuman pada Dindar. Sebab itu perintah dari Dindar saat menyambut kepulangan Dindar.Tak hanya itu, Ayana harus selalu rapi dan dalam keadaan bersih dan wangi saat mau menyambut Dindar.Seperti biasa, Dindar menyibak rambut Ayana dan menenggelamkan wajahnya di leher putih jenjang wanita cantik itu."Kau benar-benar istri yang mengerti suami. Kau sudah menyingkirkan tanda merah itu," bisik Dindar di telinga Ayana.Ayana hanya tersenyum kecut. Ia memang telah menutupi tanda merah bekas perbuatan Dindar semalam dengan foundations."Ini, Sayang, buat kamu." Seperti biasa pula, Dindar selalu membawakan bunga untuk Ayana."Terima kasih." Ayana meraih bunga itu dan menciumnya yang segera disusul oleh Dindar mencium kening Ayana."Oh ya, aku juga belikan gaun untukmu." Dindar memberikan paper bag pada Ayana."Buat apa, Mas?" tanya Ayana sambil meraih paper bag tersebut."Nanti kamu akan aku bawa ke pesta peringatan hari ulang tahun perusahaan terbesar di kota ini. Nanti kamu harus dandan secantik mungkin, ya." Dindar berucap dengan penuh kelembutan dengan tangan membelai hangat kepala Ayana, membuat Ayana menyunggingkan senyuman tulus.*****"Kamu cantik banget, Ay," puji Dindar saat Ayana keluar dari rumah sudah dalam tampilan yang memukau dalam balutan dress yang dibelikan Dindar tadi.Ayana hanya tersenyum sipu sambil mengucapkan terimakasih."Cup!" Dindar mengecup pipi Ayana. "Inilah alasanku kenapa aku mau menikahimu, Ay," bisik Dindar.Lagi, Ayana hanya bisa tersenyum sipu."Yaudah, berangkat, yuk." Dindar meraih pinggang ramping Ayana. Mesra.*****Suasana pesta tampak bising dengan suara musik disco.Ayana yang sedari tadi berdiri di samping Dindar yang tengah berbincang-bincang dengan temannya berjinjit untuk berbisik di telinga Dindar."Mas, aku mau ke toilet dulu," izin Ayana. Dindar tak segera menjawab, tampak berpikir. Namun selanjutnya ia menganggukkan kepalanya.Ayana yang sudah kebelet pun segera berlari, namun ia bingung, letak toilet wanita di mana. Karena ia sudah tak tahan, langsung saja masuk tanpa melihat terlebih dahulu tulisan yang tertera kalau toilet itu khusus pria.Setelah selesai dengan hajat kecilnya, Ayana segera keluar. Namun saat ia keluar dari pintu toilet, ia kebingungan sebab banyak para pria yang sedang mengantri.Seorang pria menunjuk sebuah tulisan pada Ayana.Ayana segera menggigit bibirnya tatkala melihat tulisan kalau toilet itu adalah khusus pria.Karena tak tahan menahan malu, Ayana dengan kepala menunduk segera berlari ke arah pintu toilet utama. Namun karena ia tak melihat-lihat, tiba-tiba…."Brukk!"Ayana tak sengaja bertabrakan dengan seorang pria yang hendak masuk.Tubuh Ayana yang tak siap sontak mental mundur ke belakang saat terdorong oleh tubuh pria tadi hingga membentur tembok. Alhasil tubuh Ayana dan pria tersebut berdempetan.Kejadian itu hanya berdurasi beberapa detik saja. Sebab tiba-tiba…."Ayana!" teriak Dindar. Menatap tajam ke arah Ayana.Sontak Ayana segera mendorong tubuh pria tersebut hingga jatuh ke lantai."Mas Dindar." Bibir Ayana bergetar saat mengucapkannya.Ayana tahu, suaminya yang bertemperamen tersebut sudah salah paham. Dan Ayana juga tahu kalau dirinya akan terkena amarah hebat dari Dindar.*****"Brukk!""Akhh…!" Ayana berteriak saat tubuhnya di lempar oleh Dindar hingga membentur meja ruang tamu.Setelah melihat kejadian di toilet tadi, Dindar segera menyeret Ayana untuk pulang."Dasar jalang!" umpat Dindar sembari mendekati Ayana dan mencengkram rahang wajahnya hingga membuat Ayana meringis kesakitan."Kau berpura-pura ingin pergi ke toilet, namun kau ke sana hanya ingin bertemu dengan pria selingkuhanmu itu!" Dindar mendorong tubuh Ayana hingga jatuh ke sofa."Mas. Itu tidak seperti yang Mas Dindar pikirkan!""Lalu seperti apa, heum? Apa kau—" kata-kata Dindar terhenti saat matanya tak sengaja melihat tanda merah di leher jenjang Ayana."Dan ini." Mata Dindar memanas seraya tangannya menyentuh leher Ayana. "Jadi, karena aku melarangmu untuk menikmati saat bersamaku, lalu kau mencari pelampiasan lain, Ayana?" Rahang Dindar mengeras.Ayana yang ketakutan hanya bisa menggelengkan kepalanya."Kau benar-benar wanita jalang, Ayana!" Dindar menarik tubuh Ayana kasar dan melemparnya."Tidak, Mas…ahh…," pekik Ayana saat kepalanya terbentur sudut meja dan mengeluarkan darah."Ayana!" Dindar tercengang saat melihat darah mengalir dari kepala Ayana, sedangkan Ayana sudah tak sadarkan diri."Ayana…!" Dindar berteriak histeris. Air matanya mengalir.________"Berikan Ayana pengobatan yang terbaik, Dok," ucap Dindar pada Dokter Althan. Dokter yang bekerja pada Dindar.Dokter Althan tersenyum seraya menyimpan stetoskopnya. "Saya sudah melakukan pengobatan yang terbaik untuk Bu Ayana. Dia tidak apa-apa," ujar Dokter Althan sambil mengemasi alat-alatnya."Tapi kenapa dia belum sadarkan diri juga?" Dindar menatap tajam pada Dokter Althan.Lagi, Dokter Althan tersenyum. "Sebentar lagi dia juga akan sadar, Pak."Dindar tak membalas. Ia mengalihkan pandangannya menatap Ayana yang terbaring di ranjang dengan kepala berbalut perban."Kalau begitu kau boleh pergi." Dindar berucap tanpa menatap Dokter Althan."Baik, Pak.""Amplop di meja ruang tengah jangan lupa diambil," ingat Dindar dengan masih tanpa menatap Althan."Baik, Pak. Terima kasih."Setelah kepergian Althan, Dindar melangkah mendekati ranjang Ayana.Benar apa yang dikatakan oleh Althan, tak berapa lama dari itu, Ayana sadarkan diri.Sontak Dindar tersenyum. "Kau sudah sadar, Ay?" Ayana
"Mas, hentikan!" bentak Ayana. Sontak membuat usaha Dindar terhenti."Aku bukan binatang yang sesuka Mas Dindar lakukan dengan seenaknya!" Kali ini Ayana melawan. Nafasnya memburu menahan emosi."Aku istrimu, Mas. Tapi cara kau memperlakukanku sudah seperti bukan istrimu saja. Dengan kau mengikat dan melakban mulutku itu sudah seperti kau bukan ingin mengambil hakmu. Tapi kau merampas milik orang lain." "Diam, kau!" bentak Dindar, membuat Ayana kaget.Dindar mencengkeram rahang Ayana. "Kenapa sekarang kau membantah keinginanku, Aya?" "Lepas, Mas. Sakit." Ayana menyingkirkan tangan Dindar dari wajahnya."Aku tidak akan membantah jikalau Mas Dindar melakukan sesuatu yang wajar. Tapi ini tidak wajar, Mas. Kapan aku pernah menolak keinginan Mas Dindar. Kapan, Mas. Kapan?" Ayana membalas tatapan Dindar."Ayana, kau—""Aku bahkan diam saja saat Mas Dindar menyakitiku. Lihat ini!" Ayana menunjuk bekas luka di kepala Ayana yang masih belum sembuh dan berbekas sebab perbuatan Dindar kemarin
"Sebenarnya apa, Dok?" tanya Ayana yang tak sabar untuk mendengar kelanjutan kata-kata dokter Althan.Althan tampak mendesah sembari mengusap wajahnya kasar."Maaf. Sebenarnya aku kurang tahu pasti dengan sikap yang dialami oleh suami Bu Ayana. Namun menurut prediksiku yang seorang dokter. Tampaknya suami Bu Ayana mengalami kepribadian ganda. Sebab jika saya lihat sepertinya setelah ia menyakiti Bu Ayana ia sangat menyesalinya. Dan saya bisa melihat itu sendiri saat Bu Ayana tak sadarkan diri sebab kepala Bu Ayana terluka karena perbuatan suami Bu Ayana."Ayana tampak menghela nafas. Tanpa Altha jelaskan pun kalau Dindar selalu menyesali perbuatannya pada dirinya, Ayana sendiri juga tahu itu. Cuman masalahnya Ayana tak tahu cara mengatasi sikap kelainan yang Dindar miliki itu. Sedangkan ia sudah tak tahan dengan sikap kasar Dindar.Ayana menjatuhkan diri di sofa sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "Aku sudah capek dibuat seperti ini terus, Dok," keluh Ayana. Tampak frusta
"Aku adalah Aham!" ucap pria di depan Ayana."Aham?" Kening Ayana mengkerut seraya tampak berpikir dan mengingat-ingat. Apa ia mengenal atau pernah bertemu dengan pria yang mengaku bernama Aham tersebut."Abraham Pamungkas." Aham memperjelas namanya."Aku tidak mengenalmu. Dan aku rasa aku juga tak pernah punya urusan apalagi salah padamu. Oleh karena itu lepaskan aku," ucap Ayana. Pria itu tersenyum kecut. "Kau bilang kita tak pernah bertemu?" Aham semakin memajukan tubuhnya lagi. Hingga semakin dekat jarak antara Aham dan Ayana."Menjauh dariku. Kau salah orang. Kita tak pernah bertemu," sengit Ayana."Kita pernah bertemu, Ayana!" Mata Aham lekat menatap Ayana."Kapan? Dan dimana?" tanya Ayana. Dengan suara bergetar."Pada malam itu. Di pesta!""Pesta?""Tepatnya di depan toilet!"
"Akhh…!" Ayana terpel4nting saat tangan kekar Dindar menangkis tangan Ayana yang begitu cepat ingin menghvnuskan b3lati ke perut Dindar.Dindar segera meraih tubuh kecil Ayana yang tersungkur di lantai dan membawanya duduk di sofa.Namun sebelum itu ia membuang bekau yang dioegang Ayana, melemparnya jauh.Ayana tertunduk takut. Takut akan amarah Dindar sebab barusan dirinya berusaha meleny4pkan Dindar."Ayana!"Ayana memejamkan matanya masih dengan kepala menunduk. Seruan Dindar benar-benar membuat detakan jantungnya berpacu lebih cepat. Jangankan menatap Dindar, masih mendengar suaranya saja wanita itu begitu takut. Hingga tangannya berkeringat dingin juga bergetar."Lihat aku, Ayana!"Ayana semakin takut. Ia tak tahu, apalagi yang akan Dindar lakukan pada dirinya kali ini. Tangan Ayana satunya meremas tangan yang lainnya. Gugup da
"Be-benarkah yang aku dengar ini, Mas?" Suara Ayana bergetar saat menanyakannya. Saking terkejutnya mendengar ini kandung dari Dindar mati sebab bunvh diri.Dindar menjawab dengan anggukan kepala."Lalu...apa penyebabnya?" tanyanya lagi."Karena pengkhianatan Ayahku. Ayahku seorang perwira, namun ia tukang selingkuh. Setiap malamnya Ayah selalu membawa perempuan yang berbeda-beda ke dalam rumah. Aku dan Ibu setiap malamnya selalu mendengar rintihan wanita selingkuhan Ayah. Rintihan dan des4han dari wanita-wanita jal4ng Ayah. Oleh karena itu, setiap malamnya Ibu selalu menangis. Hingga pada suatu malam, saat aku baru saja masuk ke kamar Ibu, aku sudah menemukan Ibu bergantung ke sebuah tali." Dindar mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Sedangkan Ayana ternganga seolah tak percaya dengan apa yang ia barusan dengar dari cerita Dindar.Ayana tak menyangka bahwa Dindar ternyata punya kisah menyedihkan
Saat terbangun di pagi hari, Ayana langsung dikejutkan dengan keberadaan Dindar yang sedang duduk di pinggir kasur menatap Ayana.Ayana segera duduk dari posisi baringnya. "Ada apa, Mas?" tanya Ayana sebab merasa ada yang lain dari tatapan Dindar.Dindar tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Selamat pagi," seru Dindar. Ayana segera menyunggingkan senyuman manisnya. Tiba-tiba Ayana merasakan kalau Dindar sudah mengembalikan sikap awal waktu pertama Dindar mendekati dirinya. Begitu banyak kemanisan dan kelembutan dan tentunya sangat perhatian.Dalam hati Ayana berdoa. Semoga Dindar memang telah benar-benar berubah, sudah kembali seperti sifat sebelumnya."Aku sudah pesankan kamu sarapan. Makanlah." Tangan Dindar mengelus lembut kepala Ayana.Meskipun rasa Ayana pada Dindar sudah tak seperti sebelumnya yang mencintai Dindar, namun Ayana merasa senang dan bahagia dengan perlakuan lembut dan perhatian Dindar saat ini. Walaupun sebelumnya Ayana ada keinginan untuk berpisah dari Dind
"Sekarang kau mengerti, kan, Ayana? Kenapa kamu harus mendengarkan aku. Aku mengatakan ini padamu karena kasihan. Kau tak tahu apa-apa tentang Dindar." Aham berkata dengan tatapan yang begitu serius. Seolah ingin memperlihatkan pada Ayana bahwa apa yang dikatakannya adalah sebuah keberan.Sejenak Ayana masih termangu dengan kata-kata Aham, namun untuk selanjutnya ia menggelengkan kepala."Tidak. Kau salah. Kau yang tak tahu apa-apa tentang Dindar. Dan sekarang aku sudah tahu. Aku tahu kenapa dia punya sifat seperti itu," ucap Ayana penuh keyakinan."Aku sudah sangat percaya padanya. Dan seharusnya aku kemarin tak percaya sama kamu," ucap lagi Ayana."Kau harus lebih percaya aku, Ayana.""Kau siapa. Kenapa aku harus percaya kamu," tanggap Ayana. Sengit. "Aku tidak kenal kamu.""Lalu apa kau kenal Dindar.""Dia suamiku.""Suami akan memberikan surga untuk istrinya tapi dia akan memberikan neraka untukmu, Ayana.""Aku tidak percaya kata-katamu lagi. Aku tidak tahu ada masalah apa kamu s