Share

Tali Dan Lakban

"Berikan Ayana pengobatan yang terbaik, Dok," ucap Dindar pada Dokter Althan. Dokter yang bekerja pada Dindar.

Dokter Althan tersenyum seraya menyimpan stetoskopnya. "Saya sudah melakukan pengobatan yang terbaik untuk Bu Ayana. Dia tidak apa-apa," ujar Dokter Althan sambil mengemasi alat-alatnya.

"Tapi kenapa dia belum sadarkan diri juga?" Dindar menatap tajam pada Dokter Althan.

Lagi, Dokter Althan tersenyum. "Sebentar lagi dia juga akan sadar, Pak."

Dindar tak membalas. Ia mengalihkan pandangannya menatap Ayana yang terbaring di ranjang dengan kepala berbalut perban.

"Kalau begitu kau boleh pergi." Dindar berucap tanpa menatap Dokter Althan.

"Baik, Pak."

"Amplop di meja ruang tengah jangan lupa diambil," ingat Dindar dengan masih tanpa menatap Althan.

"Baik, Pak. Terima kasih."

Setelah kepergian Althan, Dindar melangkah mendekati ranjang Ayana.

Benar apa yang dikatakan oleh Althan, tak berapa lama dari itu, Ayana sadarkan diri.

Sontak Dindar tersenyum. "Kau sudah sadar, Ay?"

Ayana tak menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa malas untuk menatap wajah Dindar. Tak seperti sebelumnya. Ayana suka menatap wajah pria yang dicintainya tersebut. Hingga ia mengabaikan restu papanya.

Ayana jatuh cinta pada Dindar sebab kelembutan Dindar dan sikapnya yang penuh perhatian. Dulu sebelum menikah, Dindar tak seperti setelah menikah. Tepatnya setelah kejadian di malam pertama mereka. Dimana saat itu Ayana yang merasa hanyut dalam permainan Dindar tentu saja mengeluarkan suara khas perempuan saat di cumbu suaminya.

Namun Ayana terkejut dengan sikap perubahan Dindar yang dari lembut tiba-tiba kasar. Walaupun sikapnya setelah menikah tak selamanya selalu sama. Kadang lembut dan kadang kasar. Membuat Ayana bingung. Dengan sikap Dindar.

"Aku sudah membelikan bubur. Kau makanlah." Suara Dindar terdengar lembut. Namun entah kenapa kali ini Ayana tak terpengaruh lagi.

Dindar segera beranjak untuk mengambil bubur yang dimaksud.

"Aku tidak lapar."

Sontak perkataan Ayana membuat langkah Dindar terhenti. Dan memberikan tatapan tajamnya pada Ayana.

"Kau harus sembuh, Ay. Jadi lapar tidak lapar kau harus makan." Gigi Dindar bergemeletuk menahan geram.

"Kau tidak boleh memaksa," balas Ayana masih tanpa menatap Dindar.

"Aku suka memaksamu. Makanlah. Lalu setelah itu minum obatnya." Setelah berucap, Dindar keluar kamar sambil membanting pintu.

*****

Ayana yang sudah mandi atas perintah Dindar, ia segera merapikan diri. Saat melangkah ke arah meja rias untuk ber make up, tiba-tiba….

"Prang!"

Ayana terkejut saat Dindar membuang semua alat make up Ayana ke lantai hingga hancur dan pecah. Hanya menyisakan skincare saja.

"Mas!" pekik Ayana, "apa yang kau lakukan?"

"Membuang make up mu!"

"Tapi kenapa?"

"Mulai saat ini kau tak boleh ber make up. Kau hanya boleh perawatan saja. Pakai skincare."

"Kenapa, Mas? Bukan nya aku sudah terbiasa dari dulu. Bahkan kau menyukainya." Ayana menatap heran.

"Iya. Tapi sekarang tidak. Sebab kecantikanmu itu membawa petaka. Kau selingkuh dariku." Gigi Dindar bergemeletuk sedangkan tangannya mencengkeram lengan Ayana kuat.

"Mas. Dengar, aku tidak selingkuh. Semalam itu salah paham. Aku dan pria itu—"

"Cukup, Ay!" bentak Dindar, "aku tak mau mendengar apapun. Tentang dirimu dan pria brengsek itu." Setelah berucap, Dindar segera meraih ponselnya menelpon seseorang.

"Halo. Segera pat4hkan kaki pria yang semalam bersama istriku."

Mata Ayana melebar saat mendengar titah Dindar pada anak buahnya tersebut.

"Mas. Apa yang kau lakukan?" tanya Ayana setelah Dindar selesai dengan teleponnya.

"Seperti apa yang kamu dengar tadi." Dindar menjawab enteng.

"Mas. Jangan pernah lakukan itu. Pria itu—"

"Kenapa? Kau takut kekasihmu itu tak punya kaki?" Dindar tersenyum tampak mengejek.

"Dia bukan kekasihku," sanggah Ayana.

"Kalau begitu kamu jangan panik gitu. Toh dia bukan kekasihmu."

"Tapi dia tidak salah apa-apa, Mas. Kau tak boleh menyakitinya."

Dindar segera menarik tengkuk Ayana dan mendekatkan wajah Ayana pada wajahnya.

"Jangan pernah memikirkan pria lain selain diriku, Ay. Jika sampai itu terjadi…maka kau akan menanggung akibatnya." Dindar mendorong Ayana hingga ia mundur beberapa langkah.

Setelahnya, Dindar membalikkan badan hendak keluar kamar. Namun sebelum itu, ia menatap Ayana. "Oh ya. Segera lepas perban di kepalamu itu, Ay. Aku tidak suka melihatnya. Mengganggu pemandangan saja."

"Lukanya belum sembuh, Mas."

"Kala begitu lekas minum obatmu. Nanti malam aku sudah tak ingin melihat perban di kepalamu itu. Membuatmu jelek saja." Dindar kembali melanjutkan langkahnya.

Lagi, air mata Ayana jatuh membasahi pipinya. Ia menyesali, kenapa bisa jatuh cinta pada pria seperti Dindar.

*****

"Dindar kemana, Ay?" Dina, Kakak Dindar bertanya pada Ayana.

Dina tak hanya datang seorang diri, melainkan bersama Mama Dindar juga.

"Dia ada rapat mendadak katanya, Mbak," jawab Ayana sambil menyuguhkan minuman pada kakak ipar dan mertuanya tersebut.

"Itu kepalamu kenapa, Ay?" tanya Mama Dindar.

"Jatuh, Ma!" Sengaja Ayana tak jujur. Sebab tentu Dindar akan marah bila ia menceritakan tentang perilaku Dindar pada Ayana.

"Tapi kayak bukan jatuh," tanggap Mama Dindar lagi.

Ayana hanya tersenyum hambar. Selanjutnya ia berdiri hendak pergi ke dapur.

"Kamu kok belum hamil juga, sih, Ay?" Pertanyaan Dina sontak membuat langkah Ayana terhenti.

"Kamu KB, Ay?" Kali ini Mama Dindar yang bertanya.

Saat Ayana ingin mengatakan tidak, tiba-tiba Dina menyela. "Sepertinya iya, Ma." Dina berdiri menghampiri Ayana.

"Terlihat sekali dari penampilan Ayana yang semakin hari semakin memukau. Badannya semakin ok saja." Dina melipat tangannya di dada sambil menelisik Ayana.

"Aku tahu, Ay. Wanita secantik kamu sudah pasti akan menolak untuk punya anak. Sebab takut akan badannya rusak."

"Bukan seperti itu, Mbak!" Ayana menyangkal.

"Tidak usah mengelak, Ay. Tadi Mbak liat di meja rias kamu hanya ada perawatan. Bahkan sangat banyak dan berbagai macam merk."

"Kau boleh menjaga tubuh untuk kecantikanmu, Ay. Tapi bukan berarti mengabaikan kehamilan. Kami butuh keturunan dari Dindar. Putra satu-satunya di keluarga kami." Kali ini mama Dindar yang berucap.

"Di Keluarga kami kecantikan wanita tak diprioritaskan. Namun keturunan, oleh karena itu jangan sampai keturunan kau tukar dengan kecantikanmu."

Ayana hanya bisa menghela nafas mendengar ucapan sengit dari ipar dan mertuanya.

Ayana tak tahu harus membalas kata-kata mereka dengan apa.

****

"Minum, Ay!" Dindar meletakkan obat pada Ayana yang saat ini tengah sibuk membuka perban di kepalanya.

Ayana mendesah. Saat lagi dan lagi Dindar memberikan pil KB pada Ayana di setiap mereka ingin melakukannya.

"Mas. Sampai kapan Mas Dindar akan memberiku pil ini?" Ayana mengangkat wajahnya menatap Dindar dengan sayu.

"Aku tidak mau kau hamil yang nantinya akan merusak badan cantikmu itu."

"Tapi keluargamu menginginkan aku hamil, Mas!" Dindar yang awalnya hendak membuka laci terhenti menatap Ayana.

"Jangan pedulikan mereka. Ini rumah tangga kita bukan mereka. Aku yang menentukan mau diapakan keluarga, atau rumah tangga kita."

"Tapi rumah tangga kita ini tidak normal, Mas?"

"Apa katamu?" Dindar memberikan tatapan tajamnya pada Ayana.

"Mas gak merasa aneh, ya?"

"Gak. Aku senang malah hidup seperti ini denganmu. Asal kau tak membuat kesalahan."

"Tapi aku salah di mata keluargamu, Mas."

"Biarkan saja. Mereka tidak akan berani menyentuhmu. Kau salah dimata mereka atau lainnya tidak apa-apa, asal jangan salah dimataku."

"Tapi, Mas—" kata-kata Ayana terhenti saat melihat tangan Dindar mengeluarkan tali dan lakban dari dalam laci.

"Untuk apa itu, Mas?" Tiba-tiba saja perasaan Ayana tak nyaman.

"Untuk mengingat tanganmu dan menutup mulutmu!"

"Apa?" Mata Ayana melebar. Terkejut.

"Aku tidak suka mendengar suaramu yang menjijikan itu, Ay. Suara yang seolah kau sangat menikmatinya."

"Kau yang memberikannya, Mas. Lalu kau juga yang mencegahnya. Aku bisa tanpa harus kau ikat dan mulutku kau tutup."

Dindar terus melangkah mendekati Ayana berdiri ketakutan.

"Mas—"

"Diam! Aku tidak suka dibantah olehmu, Ay!" Dindar segera menarik tangan Ayana. Mengabaikan permohonan Ayana.

__________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status