Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Plaakkk…Satu tamparan mendarat dengan keras di pipi Anne. Yang sudah dipoles riasan pengantin dengan sempurna. Rasa panas menjalar di seluruh permukaan pipinya. Wajahnya terputar ke samping, saking kuatnya dorongan dari tamparan tersebut hingga tubuhnya tersungkur ke lantai dan testpack berwarna merah muda dengan dua garis biru yang saling bersilang itu meluncur jatuh ke lantai dan berhenti tepat di sepasang kaki yang mengenakan sepatu putih. Yang baru saja muncul.Pandangan nanar Anne mengikuti benda pipih itu hingga berhenti. Air mata yang menggenang di kedua kelopak mata membuat pandangannya mengabur, tetapi saat wajahnya bergerak naik ke atas dan tatapannya bersirobok dengan kedua mata hijau gelap tersebut. Air mata Anne jatuh. Bukan karena betapa ia sudah menyakiti pria itu, tetapi karena betapa puasnya ia telah mengecewakan pria itu. Kebencian di dadanya bergemuruh terhadap sosok yang saat ini mengenakan setelan putih dengan setangkai bunga mawar dan saputangan merah di saku ja
Anne terbangun dengan tubuh yang remuk redam di sekujur tubuhnya. Dan satu-satunya perasaan yang melekat di tubuynya hanyalah rasa jijik. Merasakan tubuhya yang begitu kotor dan belum pernah Anne merasakan sejijik ini pada siapa pun atau apa pun sebesar rasa jijik pada dirinya sendiri saat ini. Semalam, Luciano menyentuh setiap jengkal kulit di tubuhnya. Merenggut dirinya dengan cara apa pun yang bisa pria itu ambil. Mencabik-cabik harga dirinya akan kepuasan yang telah pria itu renggut darinya. Membuat dirinya harus mengabulkan keinginan pria itu terhadap tubuhnya yang seolah tiada akhirnya. Menginginkan, menginginkan, dan menginginkan dirinya terus menerus. Hingga Anne benar-benar kewalahan dan akhirnya Luciano membebaskan dirinya hingga menjelang pagi. Dengan kecupan basah dan penuh peluh di keningnya. Anne tak ingat bagaimana dirinya terlelap oleh rasa lelah. Saat ia bangun, ia menyadari tubuhnya masih telanjang bulat di balik selimut tebal. Dan rasa sakit dari pangkal pahanya.
Anne berharap make up tipis yang ia poleskan di wajahnya mampu menyamarkan jejak air mata yang membekas di sekeliling matanya. Meski kedua matanya tampak pilu dan genangan mulai membentuk di kedua kelopak matanya. Anne kembali mengerjap, mengurai kaca bening tersebut agar tidak sampai jatuh meleleh ke pipinya. Sudah cukup tangisan dan jerit tangis ketidak berdayaannya terhadap nasibnya yang berada dalam genggaman Luciano. Satu-satunya cara yang tersisa hanyalah terlihat tampil sebaik mungkin di hadapan kedua orang tuanya. Agar mereka tidak khawatir, meski kekecewaan papanya sulit untuk Anne terima. Sekali lagi Anne mematut pantulan wajahnya. Di antara semua sikap kasar Luciano padanya, tak satu pun dari jejak kekasaran tersebut membekas di kulit tubuhnya. Selain kissmark yang nyaris memenuhi leher dan dadanya. Sekali lagi Anne memeriksa kedua pergelangan tangannya, mencari bekas merah karena pria itu yang mencengkeram tangannya terlalu kuat. Yang mungkin bisa ia tunjukkan pada papa
“Tidak mungkin!!” tolak Anne mentah-mentah. Menggelengkan kepala dengan keras dan menegakkan punggung. Bagaimana mungkin, satu-satunya cara yang tersisa yang ia gunakan untuk membalas dominasi Luciano di hidupnya pun direnggut dengan cara licik seperti ini. Luciano benar-benar tak memberinya udara untuk bernapas. Semua kekuasaan pria itu merenggut segala hal yang dimilikinya. Kepercayaan kedua orang tuanya, tubuhnya, dan seluruh hidupnya sudah berada di tangan Luciano. “Aku tak sudi mengandung anakmu, Luciano.” “Kau sudah.” Luciano mengedikkan bahunya dengan penuh ketenangan yang sangat terkendali. Seringainya menikmati setiap kepucatan yang menggaris di wajah Anne dengan penuh kepuasan. “Sebaiknya kau mulai mengerti bahwa hidupmu, saat ini hanyalah milikku, Anne sayang.” “Tidak. Aku tak ingin mengerti dan aku tak akan mengerti. Aku sungguh membencimu, Luciano. Kau hanyalah pria gila yang terobsesi pada wanita tak berdaya sepertiku. Menggunakan kekuasaanmu untuk menginjak-injak wa