Share

4. Nyonya Enzio

“Tidak mungkin!!” tolak Anne mentah-mentah. Menggelengkan kepala dengan keras dan menegakkan punggung. Bagaimana mungkin, satu-satunya cara yang tersisa yang ia gunakan untuk membalas dominasi Luciano di hidupnya pun direnggut dengan cara licik seperti ini.

Luciano benar-benar tak memberinya udara untuk bernapas. Semua kekuasaan pria itu merenggut segala hal yang dimilikinya. Kepercayaan kedua orang tuanya, tubuhnya, dan seluruh hidupnya sudah berada di tangan Luciano.

“Aku tak sudi mengandung anakmu, Luciano.”

“Kau sudah.” Luciano mengedikkan bahunya dengan penuh ketenangan yang sangat terkendali. Seringainya menikmati setiap kepucatan yang menggaris di wajah Anne dengan penuh kepuasan. “Sebaiknya kau mulai mengerti bahwa hidupmu, saat ini hanyalah milikku, Anne sayang.”

“Tidak. Aku tak ingin mengerti dan aku tak akan mengerti. Aku sungguh membencimu, Luciano. Kau hanyalah pria gila yang terobsesi pada wanita tak berdaya sepertiku. Menggunakan kekuasaanmu untuk menginjak-injak wanita lemah sepertikut. Kau benar-benar pengecut.”

Ekspresi di wajah Luciano seketika membeku, bibirnya menipis tajam dan rahangnya mengeras. “Apa kau bilang?” desisnya tajam.

“Kau tak lebih dari pria berengsek yang pengecut. Hanya mampu menggunakan kekuasaanmu sebagai seorang pria. Tidak, seorang pria tidak akan melakukan hal semenjijikkan ini pada wanita. Seorang pria tidak akan memperlakukan wanita seperti ini. Kau bukan seorang pria, Luciano.”

Wajah Luciano merah padam, belum pernah ada seorang pun yang cukup bodoh menantangnya seperti ini. Apalagi mencoba menginjak-injak harga dirinya. “Tutup mulutmu, Anne,” geram Luciano.

“Tidak. Aku tidak akan tutup mulut.” Anne semakin menjadi. Amarahnya pun tak kalah meluapnya dibandingkan Luciano. Dan ia tak peduli. Segala cara akan ia lakukan demi membuat Luciano menyesal telah menjebak dirinya sebagai seorang istri. Ia akan memberikan sakit kepala yang sangat untuk pria itu. Dan yang pasti ia akan membuat Luciano muak pada dirinya sehingga pria itu tak memiliki pilihan selain membuangnya. “Kau bukan seorang pria, kau tak lebih dari berengsek yang …”

Anne berhenti menyelesaikan kalimatnya. Tangan Luciano melayang dan menjambak rambutnya ke belakang. Membuat wajahnya terdongak dan wajah pria itu yang dipenuhi kemurkaan membayang di atasnya. Bahkan dengan posisi seperti itu, Anne masih sempat melanjutkan kalimatnya. “…pengecut. Itulah dirimu.”

Luciano menggeram, kedua matanya memerah saking bergeloranya kemarahan yang menyelimuti tatapan tajam pria itu. Menusuk tepat di kedua mata Anne. Tubuh Anne merinding oleh rasa takut, seluruh tulang di tubuhnya serasa meleleh sakit tajam dan mengerikannya tatapan pria itu. Akan tetapi ia tak peduli. Ia sudah kehilangan kewarasannya.

Dan Luciano pun sudah kehilangan kewarasannya untuk menghadapi penghinaan yang dilontarkan Anne. Wanita ini bukan hanya sengaja mengusik harga dirinya, tetapi sengaja memancing sisi gelapnya. Cengkeramannya menguat dan bahkan wanita itu tidak mengaduh meski Luciano tahu Anne kesakitan. Wanita itu sengaja ingin keduanya hancur. Dan Luciano tak akan memberikannya. “Karena itu anakku, maka kau ingin menggugurkannya, bukan?”

Dada Anne sudah dipenuhi kebencian dan amarah yang menutupi segela nalurinya.

“Baiklah jika itu yang kau inginkan, Anne. Aku akan memberikannya.” Luciano menyentakkan jambakkannya, membuat tubuh Anne terbanting di punggung sofa. Selanjutnya, satu-satunya suara yang terdengar menyelimuti mobil hanyalah isak tangis Anne.

Anne benar-benar nyaris gila mempertimbangkan antara kebencian dan nalurinya sebagai seorang ibu. Dan hingga mobil berhenti di halaman rumah sakit, Anne belum bisa memutuskannya. Lengan Anne setengah di seret oleh Luciano. Keduanya langsung masuk ke dalam lift khusus setelah salah satu anak buah Luciano mengatakan dokter sudah menunggu di lantai 8. Dan semakin dekat ke lantai yang mereka tuju, kaki Anne semakin bergetar hebat. Hingga ia tak peduli lagi jika Luciano berdecak mencemooh ketakutannya tersebut.

Sungguh, ia menbenci Luciano dengan darah yang mengaliri darahnya. Kebencian itu meresap hingga ke tulang sumsumnya. Dan ia tak sudi mengandung anak pria itu. Tetapi ketika Luciano mengabulkan kebenciannya tersebut, keterkejutan yang besar seketika meremas dadanya. Dan saat ia membayangkan hal tersebut, jantungnya benar-benar serasa dibetot. Seluruh tubuhnya serasa melayang, seolah setengah jiwanya direnggut.

Lift berdenting, tubuh Anne hanya membeku ketika Luciano sudah berjalan keluar. “Cepat, Anne.”

Anne mengerjap, menatap wajah keras Luciano dengan air mata yang menggenangi kedua matanya. Bahkan dengan pandangannya yang terhalang air mata, ia bisa merasakan keseriusan Luciano yang ingin melenyapkan anak dalam kandungannya. Melenyapkan darah daging pria itu dengan tanpa hati.

Luciano mundur satu langkah dan menyambar tangan Anne, menyeret wanita itu keluar dari dalam lift hanya dalam satu gerakan yang ringan.

“Lepaskan, Luciano,” jerit Anne meronta. Mencoba mempertahankan kakinya tetap di tempat dengan sia-sia. Kekuatan Luciano jelas lebih besar dari tubuhnya yang lemah. Ia sudah terlalu banyak menangis, meratapi nasibnya yang memilukan dan ketidak berdayaannya benar-benar melumpuhkan seluruh tubuhnya. Semua itu berjumbal jadi satu memenuhi dada dan kepalanya.

Anne tak bisa menahan semua perasaan itu lebih lama lagi. Hingga kesadaran benar-benar direnggut paksa darinya. Tubuh Anne jatuh lunglai dan Luciano menangkapnya. Jantung Luciano benar-benar nyaris melompat saking kagetnya, dan jika ia terlambat setengah detik saja menangkap tubuh Anne, ia yakin kepala Anne akan jatuh membentur lantai.

“Anne?” Luciano menggoyangkan tubuh Anne dan tangannya menepuk-nepuk lembut pipi Anne yang matanya terpejam dan bibirnya memucat.

***

Rasa pusing yang teramat sangat menusuk kepala Anne ketika kesadaran perlahan kembali membangukannya. Kelopak matanya bergerak dengan perlahan sebelum kemudian pandangan perlahan menjadi jelas dan semakin jernih.

Anne menyadari ia terbangun dan berbaring di ruangan yang serba putih. Dengan bau antiseptic yang begitu pekat. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, hanya ada kesunyian. Benaknya mengingat apa yang membuatnya berbaring di tempat ini. Pertengkarannya dengan Luciano dan tujuan mereka datang ke rumah sakit untuk …

Tangan Anne bergerak ke perut, apakah Luciano sudah melenyapkan anaknya?

Pintu bergerak terbuka dan Luciano melangkah masuk. Pandangan pria itu langsung menangkap Anne yang menoleh ke arahnya. “Kau sudah bangun?”

Wajah terluka Anne seketika berubah dingin. Tangan wanita itu bergerak turun dari perut dan membuang wajahnya. Kebencian kembali menyeruak memenuhi dadanya.

Luciano berdiri di samping ranjang, senyum tipis tersemat di antara bibirnya. Tangannya terulur, ujung jemarinya menyentuh pundak Anne. Kemudian bergerak menurun dengan elusan yang lembut dengan punggung jemari tersebut.

Anne menyentakkan tangannya dan berbaring miring, memunggungi Luciano. Ia siap bertengkar kembali, tetapi kepalanya masih pusing dan tubuhnya masih lemah. Rasanya ingin menangis, tetapi tangisannya pun tak bisa memberinya kepuasan. Anne hanya memilih menahan kebencian dan kemarahannya terpendam dalam-dalam. Satu-satunya hal yang tersisa hanyalah bersabar, pun dengan kesabarannya yang tak pernah tersisa setiap berhadapan dengan Luciano.

“Karena keadaanmu cukup lemah dan belum bisa melakukan perjalanan jauh, jadi kau akan mulai tinggal di rumahku setelah pulang dari rumah sakit.”

Anne tetap bergeming, merasakan Luciano yang duduk di belakang punggungnya dan ia tak bisa menghindari sentuhan pria itu yang menyingkirkan helaian rambut dari sisi wajahnya dan menyelipkan ke belakang telinga. Kemudian mengelus rambutnya yang terurai, memain-mainkannya dengan gerakan yang lembut. Seolah sikap lembut tersebut sebagai bentuk rayuan ataupun permintaan maaf atas sikap kasar yang dilakukan pria itu di dalam mobil.

Ya, Luciano memang bisa memperlakukannya sangat lembut dan di saat berikutnya mampu berbuat keji dalam sekejap mata.

“Aku memiliki pekerjaan yang tak bisa kutinggalkan di Italia.”

Kali ini kening Anne bereaksi. Menghubungkan kedua kbar tersebut dan mulai berpikir dengan seksama. Ia tidak bisa melakukan perjalanan jauh dan Luciano memiliki pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Jadi …

Luciano yang menyadari reaksi Anne pun mendengus tipis. “Kuharap kau tidak merindukanku, Anne sayang.”

Untuk pertama kalinya, Anne patuh dengan sukarelan dan dengan hati yang sepenuhnya ikhlas.

Luciano membungkuk dan mendaratkan kecupan di pelipis Anne. Anne tak menolak, karena terlalu gembira akan perpisahan tersebut.

Setelah Anne merasa badannya kembali bersemangat dalam setengah jam, dokter datang dan memeriksa keadaan Anne meski wanita itu menolak pemeriksaan selanjutnya. Tidak, ia belum siap dengan kehamilan ini setelah mengetahui anak dalam kandungannya adalah milik Luciano dan pria itu mengalah.

Luciano sering datang ke rumahnya, menjemput dan mengantarnya ke pesta dan menggandengnya ke tempat umum di mana pun pria itu inginkan. Akan tetapi, tidak sekali pun Anne tahu dan ingin tahu di mana rumah Luciano.

Rumah Luciano berada di kawasan elit pusat kota, dengan gerbang tinggi berwarna hitam. Rumah bertingkat empat, dengan pilar di sisi kanan dan kiri. Menoleh ke kanan halaman rumah, Anne langsung menemukan jajaran mobil mewah koleksi Luciano yang sebagian kecil pernah Anne liat. Selebihnya Anne tak bisa melihat lebih karena halaman depan pria itu terlalu luas. Dengan penjagaan ketat dan di mana-mana Anne bisa melihat pria bertubuh besar yang brseragam serba hitam. Berdiri dengan sikap siaga. Anne belum pernah melihah penjaga sebanyak ini di rumah mana pun.

Saat mobil berhenti di depan teras, pintu langsung dibukakan oleh pelayan dan Luciano turun lebih dulu kemudian mengulurkan tangan pada Anne. Anne jelas menolak dan turun dengan kedua tangan dan kedua kakinya sendiri.

“Selamat datang Tuan dan Nyonya Enzio,” sapa salah satu pelayan yang paling tua, diikuti pelayan yang lain membungkuk dan memberi hormat pada keduanya. “Semua barang Nyonya sudah kami letakkan di kamar Anda, Tuan,” lapor salah satu pelayan.

Luciano mengangguk singkat. “Mulai hari ini kau akan tinggal di rumah ini. Kuharap kau merasa nyaman.”

“Di mana pun pasti lebih baik daripada di sini,” sinis Anne dalam gumaman yang lirih tanpa menoleh ke arah Luciano.

“Ya, maka pilihan yang kumiliki hanya membuat semua tempat yang kau inginkan lebih buruk daripada di sini.”

Anne tak sungguh-sungguh memahami kalimat Luciano. Yang ia tahu itu hanyalah sebuah ancaman bahwa Luciano akan menghancurkan apa pun yang diinginkan.

Luciano melangkah sambil menangkap pinggang Anne dengan cekalan yang kuat, membawa wanita itu masuk ke dalam. “Hanya rumah ini satu-satunya pilihanmu. Maka buat dirimu nyaman dengan caramu sendiri,” bisiknya di telinga Anne.

Tentu saja Anne akan melakukan hal itu, batinnya. Pandangannya langsung menemukan ruang tamu yang luas dengan tiga set sofa kulit. Di tengah ruangan, ia langsung di hadapkan pada tangga spiral di sisi kanan dan kiri, lengkap dengan pasangan penjaga di masing-masing kaki tangga dan di tengah-tengah tangga terdapat lampu hias yang besar. Semua tentang Luciano hanyalah tentang kemewahan. Bahkan dirinya yang terbiasa hidup berkecukupan dan bergaul dengan lingkungan kelas atas pun masih tak munafik untuk mengakui segala kemewahan yang dibangun dalam rumah ini.

“Kau bisa menggunakan lift atau tangga. Kamar kita ada di lantai dua. Satu-satunya area pribadi yang tidak ada penjaganya. Nanti akan ada orang yang membantumu menggunakan lift karena hanya bisa diakses menggunakan sidik jari. Yang hanya dimiliki olehku dan ketua pengawalku.”

Anne mendengarkan lebih banyak ketika Luciano menjelaskan banyak haltentang letak kolam renang, taman, halaman belakang, ruang olahraga atau apa pun. Satu-satunya hal yang ia rasakan hanyalah keengganan. Mereka sampai di lantai dua dan ia tahu kenapa lantai dua menjadi area pribadi. Lantai dua adalah satu ruangan yang luas. Seluruhnya menjadi area ruang tidur yang disekat hanya dengan kaca atau lemari hias. Tempat tidur berada di samping kiri mereka dengan pintu kaca yang langsung mengarah ke kolam renang panjang dan beratap langit. Kamar mandi di sisi lain, ruang ganti yang duakali leih luas dari luas kamarnya sendiri bedada di samping kanannya, dan deretan kopernya sudah berjajar di tengah-tengah ruangan. Yang semakin meyakinkan dirinya bahwa sekarang ia adalah seorang Nyonya Enzio.

“Istirahatlah, aku harus ke ruanganku sebentar untuk mengecek sesuatu.” Luciano memutar tubuh Anne menghadapnya. Merangkum wajah wanita itu dan mendaratkan kecupan di bibir Anne. Sebelum kemudian berjalan ke arah pintu lift yang ada di sebelah kiri dari tempat mereka berdiri.

Anne bergegas mengusap bibirnya begitu pintu lift tertutup dan melenyapkan sosok Luciano dari pandangannya. Setelah merasa cukup menghapus jejak bibir Luciano di bibirnya, Anne berjalan ke area kamar mandi. Satu-satunya hal yang diinginkannya hanyalah membersihkan diri.

Dan baru saja Anne menanggalkan pakaiannya, ketika ia mendengar suara tembakan dari arah luar. Anne terlonjak pelan. Menajamkan telinganya dan meyakinkan dirinya bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah suara tembakan. Lalu dugaannya semakin teryakinkan dengan suara tembakan yang menyusul tak lama kemudian.

Doorrrr …

Wajah Anne memucat. Menatap ke arah luar.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
M Rusdi
suka ceritanya
goodnovel comment avatar
Sofyan Yan
bagus banget
goodnovel comment avatar
Fauzy Gaus
sudah mulai pengenalan dan alur cerita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status