Dalam satu jam, mobil yang ditumpangi Anne berhenti di depan teras rumah Luciano. Pengawal yang duduk di depan bergegas turun lebih dulu untuk membukakan pintu wanita itu. "Tuan menunggu Anda di lantai dua," ucap pengawal itu dengan nadanya yang datar. Napas Anne tertahan, menatap pintu utama yang terbuka lebar dan ia bisa melihat kedua kaki tanga. Ia menelan ludahnya. Menelan ketakutannya sebelum mendesah singkat dan mulai mengangkat kakinya. Kedua kakinya terayun menyeberangi ruang tamu yang luas dan langkahnya kembali terhenti ketika sampai di depan anak tangga. Berusaha menetralisir ketakutan di dadanya ketika mengingat ancaman Luciano dan peringatan Reene. "Apa Anda baik-baik saja, Nyonya," ucap salah satu penjaga di samping tangga. Membuyarkan lamunan Anne Anne tersentak pelan. Menggeleng dengan cepat dan mulai menggerakkan kedua kakinya menaiki anak tangga. Dengan jantung yang berdebar-debar. Di sisi lain, Reene menyaksikan kegugupan Anne dengan senyum yang mengembang sang
Anne muntah di wastafel, dengan air mata yang mengalir di pipi. Mencuci mukanya dengan air dingin, berkali-kali dan berharap itu bisa membersihkannya dari rasa kotor yang memenuhi wajahnya. Tetapi tetap saja semua itu tak membuat rasa jijik di dada terhadap dirinya sendiri berhenti. Kepalanya menoleh keluar pintu kamar mandi. Melihat Luciano bangkit berdiri sambil menaikkan celana pria itu dengan seringai gelap yang tersungging untuknya. Sekaligus kepuasan yang begitu besar. Kemudian berbalik dan berjalan ke arah tangga. Tubuh Anne jatuh terduduk di lantai. Ia benar-benar tak tahan menghadapi situasinya. Seolah dihajar habis-habisan untuk menyerah dan pasrah di bawah kaki pria itu. Dan ia hampir menyerah. Tetapi kebenciannya terhadap Luciano mendorongnya untuk tetap bertahan. Anne menghapus air matanya. Menarik napasnya dalam-dalamnya dan menguatkan hati. Tidak ada siapa pun yang akan menolongnya jika bukan dirinya sendiri. Baiklah, Luciano bisa melakukan apa pun pada dirinya. Pria
Luciano menggedor meja di hadapannya dengan kedua kepala tangannya. Buju-buku jari pria itu memutih saking kuatnya cengkeraman tersebut. Menunjukkan kemarahannya terhadap Anne benar-benar tak bisa ditahannya. Wanita itu telah merampok segala emosi di dadanya. Kesabarannya benar-benar raib dan kepalanya terasa berdenyut memikirkan bagaimana lagi cara menaklukkan wanita yang satu itu. Faraz hanya terduduk di kursi yang ada di depan meja tempat Luciano berdiri. Matanya melirik barang-barang yang jatuh ke lantai. Hanya mengamati dengan keseriusan yang terlalu dalam karena rasa laparnya. Ia baru saja memasukkan dua suap nasi ke mulut ketika Luciano muncul membopong Anne dengan handuk di wajah wanita itu. Faraz pikir itu adalah sebuah kecelakaan, karena Luciano tampak begitu khawatir. Sebelumnya, Faraz tak pernah melihat Luciano sepanik itu. Luciano sangat pandai mengendalikan emosi pria itu. Terlihat begitu tenang dan datar. Setenang air danau dalam situasi genting apa pun. Saking datar
Anne tak bisa menolak keinginan Luciano. Selama seminggu penuh, pria itu sengaja menghukumnya dengan menggunakan tubuhnya. Mendapatkan apa pun yang pria itu inginkan dari setiap senti kulit tubuhnya.Satu pelajaran yang Anne dapat dari semua kepasrahannya membiarkan Luciano melakukan apa pun sesuka pria itu. Pria itu menjadi sedikit melunak dan tak sering bersikap lembut saat ia menjadi patuh. Anne sendiri tak mengharapkan sikap tersebut, tetapi dengan sikap Luciano yang melonggar. Pria itu membiarkan dirinya mendapatkan sedikit kebebasan. Dengan memberikan ponselnya yang pria itu rampas dan ia bisa menghubungi kedua orang tuanya dan Ibra.Mamanya menanyakan tentang kehamilannya dan bagaimana Luciano memperlakukannya. Dan satu-satunya jawaban yang ia miliki hanya Luciano yang bersikap sangat baik padanya. Ditambah ia bingung bagaimana caranya menjelaskan kegugurannya. Papanya tak banyak bicara, hanya menyuruhnya menjaga sikap dan menjadi istri yang baik untuk Luciano. Anne tak sungguh
Reene terdiam. Masih menunggu penjelasan Anne lebih lanjut dan mencoba mencermati keseriusan wanita itu lebih dalam lagi."Jika bisa, aku akan memberikan Luciano padamu, kau tahu keinginanku bukan apa-apa dibandingkan dengan kekuasaannya di hidupku."Keduanya terdiam. Tenggelam dalam keheningan masing-masing. Reene belum sepenuhnya memercayai Anne, tapi ia bisa memanfaatkan keinginan wanita itu."Kita mungkin bisa bekerja sama, Reene," tambah Anne kemudian dengan suara lebih rendah setelah memutar pandangannya ke sekeliling mereka dan memastikan tidak ada siapa pun yang mendengar mereka."Apa yang kau inginkan?""Aku ingin bebas dan lepas dari pernikahan ini."Reene menyangsikan keinginan Anne tersebut, tetapi menahannya dalam hati. "Aku tak berjanji tapi aku akan membantu.""Jika aku berhasil lepas dari pernikahan ini, kaulah satu-satunya wanita yang akan menggantikan posisiku, bukan? Kita sama-sama diuntungkan."Reene mengangguk, seringai tersamar di ujung bibirnya. Ia tak sungguh-s
Anne masih termenung, menatap Ibra yang menunggu respon darinya. "Lalu apa yang kau ingin aku lakukan? Mengatakan aku tidak mencintai Luciano dan melarikan diri dengannya? Itu yang selalu kupikirkan, tapi aku tidak senaif itu. Aku tak ingin menambah beban kecewa kedua orang tuaku setelah sandiwara kehamilanku. Dan kau pikir berapa lama aku akan melarikan diri? Kedua orang tuaku tak akan berhenti meratapiku sampai mereka menghembuskan napas terakhir." Semakin Ibra mendengar jawaban Anne, kerutan di kening pria itu semakin dalam. "Kenapa jawabanmu terdengar sinis? Aku hanya mengatakan padamu apa yang dia bilang. Dan saranku, sebaiknya kau menjauhinya dan jangan berhubungan dengannya." Anne tak setuju dengan ide itu. Dan Ibra menangkap isyarat keras kepala tersebut. "Ck. Aku sudah mengatakan padamu, menjaga hubungan baik-baik saja itu adalah pilihan yang buruk. Tak ada pertemanan antara pria dan wanita tanpa ada salah satu dari kalian yang terluka, Anne. Terutama antara kau dan dia."
“Apa yang akan kau lakukan padanya, Luciano?” Anne mengulang pertanyaan dengan cicitan yang semakin jelas. Semakin gelap seringai Luciano, hanya membuat tubuh Anne semakin bergetar hebat. Tangan Luciano terangkat ke wajah Anne, menyentuhkan punggung tangannya di sepanjang garis rahang wanita itu dengan senyum yang semakin mengembang dengan gelap. Menyentuh di sepanjang garis yang perna Anne buat dengan pecahan kaca. Bekasnya masih ada, tersamar di kulit wanita itu. Dan akan kembali seperti semula berkat perawatan khusus dokternya. “Kau begitu cantik, Anne.” Itu sama sekali bukan pujian. Semakin Luciano memuji, itu akan berakhir menjadi sebuah derita. “Aku tak akan menyalahkan siapa pun yang tertarik dan menginginkanmu. Kau begitu mudah diinginkan. Hanya saja … mereka perlu diberitahu bahwa apa yang mereka inginkan. Sudah menjadi milikku.” Punggung tangan Luciano turun ke bawah. Bergeser ke belakang dan dalam sekali sentakan, pria itu membawa leher Anne ke wajanya. “Ini akan mengin
Anne merasa sedikit lega sempat menelan satu pil saat di rumah Ibra kemarin. Memperkirakan hal semacam ini akan terjadi. Rasanya gairah Luciano tak habis-habis terhadapnya. Di kamar mandi, di tempat tidur. Seolah Luciano giat menidurinya hanya demi membuatnya hamil. Seperti sumpah pria itu. Sepanjang malam pria itu sama sekali tak membiarkannya bernapas. Menuntaskan rasa haus pria itu dalam satu malam setelah berminggu-minggu menahan gairah. Anne dibuat terheran. Setiap malam yang ia habiskan bersama Luciano, rasanya pria itu selalu bergairah untuknya. Membuatnya berpikir bahwa pria itu tidak mencoba mencari wanita lain sebagai pemuas nafsu. Anne harus membuat Luciano berpaling darinya dan meniduri Reene. Perhatian pria itu harus teralih darinya. Anne menyingkirkan lengan Luciano yang melilit perut telanjangnya di balik selimut dari belakang. Berusaha sepelan mungkin tanpa membangunkan pria itu. Ia berhasil menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya. Membungkuk dan memungut p