Anne kembali mengenakan pakaiannya dengan terburu, berjalan ke arah tangga yang mengarah ke lantai tiga. Jelas suara tembakan itu berasal dari sana.
"Maaf, Nyonya. Anda tidak boleh berada di sini," hadang penjaga yang berjaga di lantai tiga tepat di samping kanan dan kiri tangga."Aku mendengar suara tembakan. Apa yang terjadi? Di mana Luciano?""Tuan sedang mengurusnya. Anda tidak boleh berada di sini."Anne merasa begitu kesal. "Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di sini?" ucapnta lagi dengan keras kepala."Ya, Nyonya. Sebaiknya Anda segera turun. Saya akan memberitahukan keberadaan Anda dan tuan akan menemui Anda.""Aku tidak butuh tuanmu. Aku hanya butuh tahu apa yang terjadi.""Maafkan kami, Nyonya. Anda…""Ada apa ini?" Luciano muncul di belakang penjaga yang menghadang langkah Anne.Anne melihat Luciano yang tengah menyelipkan sebuah pistol ke dalam saku jas pria itu. Hanya sepersekian detik, tetapi Anne yakin apa yang dilihatnya.Wajah Anne membeku, dugaan yang tak sanggup ia tanggung memenuhi dadanya. Apakah Luciano yang melepaskan tembakan itu? Lalu apa yang ditembak Luciano? Atau… wajah Anne lebih memucat ketika memikirkan … siapa yang ditembak Luciano."Kenapa kau di sini, Anne sayang?" Suara Luciano terdengar begitu lembut ketika berjalan ke depan Anne. Kepala pria itu tertunduk dan telapak tangannya terulur merangkum wajah Anne yang memucat. "Bukankah kau sedang mandi?"Anne menatap wajah Luciano. Ia memang sedang mencari tahu siapakah sebenarnya Luciano Enzio yang ada di hadapannya ini. Tetapi Anne belum pernah merasa sepenasaran ini, tentang pria yang sudah menikahinya ini?Jawaban itu seolah mengambang, tetapi Anne tak bisa menggapainya. Dan dengan sudut matanya, ia.melihat gerakan di lantai 3, dua orang pengawal Luciano yang sedang menggotong sesuatu. Anne sudah menggerakkan kepalanya ke samping, ketika Luciano mengembalikan perhatiannya kepada pria itu."Kita kembali ke kamar." Luciano memutar tubuh Anne dan membawa wanita itu kembali ke lantai dua.Pikiran Anne masih melayang, sesuatu yang berlumuran darah membayang di benaknya. Apakah itu? Siapakah itu? Pertanyaan besar itu menggantung di atas kepalanya."Kau tak ingin mandi?" Suara Luciano memecah lamunan Anne yang masih berdiri di tengah ruangan.Anne mengedipkan matanya, menoleh ke arah Luciano yang berdiri di samping meja nakas. Melepaskan jam tangan, mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku luar jas dan sebuah pistol yang kemudian diletakkan bersama jam tangan tersebut.Anne menelan ludahnya, jadi benar yang ia dengar adalah suara tembakan. "Apa yang kau lakukan dengan benda itu, Luciano?"Luciano hanya melirik ke arah Anne, melepaskan satu persatu kancing kemejanya. "Karena kau belum mandi, ide bagus jika kau menemaniku. Kemarilah."Anne tetap bergeming di tempatnya. Menatap pistol di nakas kemudian kembali menatap wajah Luciano. "Siapa yang kau bunuh baru saja?"Luciano tersenyum tipis. Menatap lurus kedua mata Anne sebelum memberi wanita itu jawaban yang diinginkan. "Kau tak mengenalnya."Anne terkesiap pelan. Rasa takut membuat bulu kuduknya meremang. Jadi benar pria itu telah membunuh seseorang. Beberapa menit yang lalu. Di rumah ini. Anne menggelengkan kepalanya, kemudian melangkah mundur dan berbalik. Berlari menuju tangga. Ia menuruni anak tangga dengan terburu. Tak hanya pria berengsek yang kejam. Luciano, pria yang menikahinya adalah seorang pembunuh.Anne tak bisa menerima ini. Penjaga yang berjaga di lantai satu hendak menghadangnya, tetapi kedua penjaga tersebut segera menghentikan niatnya saat menoleh ke ujung tangga. Tempat Luciano baru saja muncul yang memberikan satu isyarat kecil dengan ujung jemarinya.Anne berlari menyeberangi ruang tamu yang luas, kakinya sudah akan menyentuh teras ketika suara tembakan memecah telinganya dan menyusul suara benda pecah. Anne menjerit, langkahnya terhenti dan tubuhnya meringkuk di lantai. Memeluk kepalanya dengan tubuh yang bergetar hebat.Anne terisak, saat keheningan baru saja menyelimuti seluruh ruangan. Menyusul langkah kaki yang semakin mendekat."Siapa sebenarnya kau, Luciano?" Suara Anne serasa mencekik lehernya. Tubuhnya lemah dan Luciano menahan berat tubuhnya di pinggang.Luciano hanya tersenyum tipis, tangannya terulur membersihkan wajah Anne dari helaian rambut yang menempel di wajah karena air mata. "Kau belum siap mengetahuinya, istriku.""Kau pembunuh.""Mungkin salah satu pekerjaan yang tak bisa dihindari. Jangan seterkejut itu."Air mata Anne semakin mengalir. Tanpa suara. Rasa jijik, merasa dikhianati, ditipu mentah-mentah. Semua bercampur aduk jadi satu. Kepalanya menggeleng-geleng dengan pilu. Kedua kakinya sepenuhnya meleleh dan tiba-tiba kepalanya menjadi berat. Sepenuhnya jatuh ke dalam kegelapan.Luciano menangkap tubuh Anne dalam satu gerakan yang ringan. Kemudian membopong tubuh mungil Anne dan naik kembali ke lantai dua. Membaringkan tubuh Anne di tempat tidur.***Saat Anne terbangun, suasana kamar yang sunyi menyambut seluruh kesadarannya. Anne mengerang pelan dengan rasa sakit di kepala. Tangannya bergetar memijit di pelipis sambil berusaha bangun terduduk.Satu-satunya yang Anne ingat hanyalah suara tembakan dan pecahan benda yang berhamburan di lantai. Dan semua itu adalah perbuatan Luciano.Kau pembunuh?Mungkin salah satu pekerjaan yang tak bisa dihindari.Anne menggigit bibirnya, berusaha sangat untuk tidak menjerit dan kembali terkejut. Membunuh adalah pekerjaan yang dilakukan Luciano. Anne tak berani membayangkan apa pekerjaan pria itu yanh sesungguhnya.Di mata publik, Luciano Enzio adalah presiden direktur Enz Tech. Tak hanya itu, pria itu juga adalah pebisnis sukses sekaligus filantropis dengan kerajaan bisnis yang hampir memiliki seluruh kota. Bisnis Luciano pun tak hanya di dalam kota ini. Nyaris di seluruh kota besar di negara ini. Yang Anne yakini pun tak hanya ada di dalam negeri.Anne berhenti memperhitungkan seberapa besar dan luasnga jaringan bisnis Luciano. Kepalanya sudah terlalu dipenuhi kebencian dan pemberontakannya terhadap Luciano. Pria itu terlalu berkuasa di mana pun.Kedua kaki Anne bergerak turun, masih terduduk dan menunggu rasa pusing di kepalanya mereda. Dan setelah pusingnya menghilang, Anne menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Berusaha menenangkan dirinya dan ia harus tenang.Setelah menghela napas beberapa kali, Anne membuka matanya dengan perlahan. Emosinya sudah lebih tenang dan pikirannya perlahan mulai jernih.Jika membandingkan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki Luciano terhadap dirinya, seujung kuku pun ia tak akan bisa menandingi pria itu. Maka satu-satunya cara hanyalah mengikuti alur yang diinginkan oleh Luciano. Sambil menunggu kesempatan yang tepat untuk membalas pria itu. Atau setidaknya melarikan diri.Anne tak peduli siapa sebenarnya Luciano, hanya dengan mengetahui bayangan gelap hidup pria itu saja sudah membuat bulu kuduknya meremang oleh rasa takut. Ia yakin kehidupan Luciano yang sesungguhnya lebih gelap dari yang bisa ia bayangkan.Anne bangkit dan melanjutkan niatnya untuk berendam di bath up. Menjernihkan pikiran dan merilekskan tubuhnya. Setengah jam kemudian, saat ia keluar dari kamar mandi. Luciano duduk di sofa tunggal yang mengarah langsung ke pintu kamar mandi. Pria itu bersandar di punggung sofa dengan kedua kaki bersilang. Di antara sela-sela jemarinya terdapat sebatang rokok dan pandangan pria itu menatap lurus kemunculan Anne.Anne berhenti, membalas tatapan pria itu dengan ketenangan yang berusaha dikendalikannya. Tidak terlalu berhasil tetapi setidaknya kedua kakinya tidak lagi gemetar."Kemarilah." Luciano mengangkat kedua tangannya.Anne mempertimbangkan untuk menolak ajakan Luciano. Namun, tatapan pria itu yang tak membutuhkan bantahan membuat Anne mengangkat kedua kakinya ke arah pria itu.Luciano menangkap tangan Anne begitu wanita itu berada dalam jangkauan tangannya. Mendudukkan Anne di pangkuannya sedangkan satu tangannya yang lain meletakkan rokok di asbak.Anne menahan napasnya, asap rokok tak pernah bersahabat dengan hidungnya, yang membuatnya sedikit menjauh dari wajah Luciano."Ah, kau tak suka pria perokok. Aku baru ingat."Anne hanya diam. Ia tak pernah mengatakannya tetapi Luciano tahu. Dan ini pertama kalinya Anne melihat Luciano memegang batang rokok. Rasanya satu persatu ia telah membuka lapisan diri Luciano yang sesungguhnya. Yang Anne yakin semakin dalam ia membuka lapisan diri pria itu, rasanya akan semakin gelap."Aku hanya memiliki waktu sebentar. Dalam satu jam aku harus berada di bandara. Jadi ada beberapa hal yang ingin kuberitahu padamu."Anne nyaris tak mampu menahan hatinya yang ingin menjerit bahagia. Semakin cepat Luciano pergi, makan semakin baik.Seringai tersamar di ujung bibir Luciano. Tentu saja ia bisa membaca kesenangan yang tersirat di kedua mata Anne meski wajah wanita itu terlihat begitu datar. Dan dengan sedikit kesabarannya memaklumi wanita itu. Selalu ada pemakluman bagi Anne Lucas, ah tidak. Anne Enzio."Aku akan pergi selama dua hari. Dan selama kau pergi, kau bisa menyesuaikan dirimu di rumah ini.""Aku ingin berjalan-jalan." Anne memberanikan diri untuk menginginkan sesuatu.Luciano menatap kedua mata Anne, sedikit menyipitkan mata yang membuat tubuh Anne menegang di pangkuannya.Napas Anne tertahan. Telinganya sudah bersiap mendengar penolakan tegas Luciano, tetapi pria itu malah memberinya apa yang diinginkannya."Ya, aku sudah menyiapkan sopir dan beberapa pengawal yang akan menjagamu."Kening Anne berkerut. Pertama oleh kejuta Luciano yang tidak terduga, kedua mungkin sopir masih bisa ia terima tetapi pengawal. "Aku tak membutuhkan pengawal, Luciano.""Sekarang kau membutuhkannya.""Untuk?""Salah satunya jika kau mencoba melarikan diri. Meski aku tahu itu hanya kemungkinan kecil karena kau pasti akan mempertimbangkan tentang kedua orang tuamu. Tetapi aku tak pernah menoleransi kecerobohan sekecil apa pun."Anne menelan ludahnya. Apakah bahkan Luciano bisa membaca pikirannya.Luciano terkekeh kecil. Ia hanya menebak tetapi rupanya tebakannya tak meleset sedikit pun. Yang membuat pria itu semakin gemas akan kekerasan kepalaan Anne. Bahkan setelah sejauh ini, wanita itu masih tak menyerah."Dan satu lagi. Jauhi lantai tiga. Tapi kau bisa pergi ke lantai empat. Di sana ada perpustakaan, ruang olahraga, area bersantai atau hanya sekedar pemandangan. Kau bisa pergi ke mana pun selain lantai tiga."Dan entah kenapa, semakin Anne dilarang malah membuat rasa penasaran wanita itu meningkat. Dia hanya perlu mengangguk. Menjadi istri penurut demi menyenangkan Luciano sebelum dua hari kebebasannya.Luciano mengernyit akan kepatuhan Anne, tetapi memilih mengabaikan apa pun yang coba wanita itu pikirkan di balik anggukan singkat tersebut. Atau mungkin saja wanita itu cukup belajar akan apa yang terjadi di ruang tamu.Pria itu menarik pinggang Anne, membuat wajah mereka saling berdekatan dan ia tak akan melewatkan kesempatan untuk bersenang-senang dengan tubuh Anne.Ia melumat bibir Anne dengan menggebu dan penuh gairah. Telapak tangannya menyelinap di ke balik jubah, menyentuh kulit telanjang Anne yang memicu aliran darahnya mengalir dengan deras. Wanita tak pernah tidak memuaskan. Seperti yang sudah Luciano perkirakan ketika ia pertama kali bertemu dengan Anne. Kecantikan dan seluruh tentang Anne berhasil menarik perhatiannya. Katakan ia sudah terobsesi dengan wanita ini, ia tak akan membantah. Bukan ide yang buruk memiliki obsesi yang sedikit berlebihan pada Anne. Ditambah background keluarga Anne, yang akan semakin memperkuat reputasinya di hadapan masyarakat. Dan akan menutupi segala dunia gelap yang berada di tangannya.***Sudah dua jam yang lalu sejak kepergian Luciano. Sore itu Anne masih terduduk di dalam kamar. Ia sudah cukup mengamati area lantai dua ini, dan tak ada apa pun yang cukup menarik perhatiannya. Saat berdiri di balkon pun, ia hanya menemukan penjagaan ketat Luciano yang tak memiliki celah.Anne mengambil ponselnya, menghubungi Ibra untuk bertemu di suatu tempat. Setidaknya ia butuh teman untuk bicara atau ia akan semakin menggila berdiam diri di dalam kamar ini."Apa kau sedang sibuk?" tanya Anne begitu panggilan tersambung."Sedikit. Papamu membawaku untuk memeriksa proyek dan kami baru saja sampai di kantor. Aku perlu mengambil sesuatu di ruanganku. Ada apa?""Aku ingin makan sesuatu.""Tempat biasa?""Boleh. Setengah jam lagi. Bagaimana?""Oke.""Sampai jumpa di sana.""Bye."Anne menurunkan ponselnya dengan senyum kelegaan. Kemudian bergegas bangkit dan mengambil outernya yang masih ada di dalam koper lalu berjalan ke arah tangga.Anne baru sampai di tengah ruang tamu ketika mendengar suara mobil berhenti di depan teras. Anne terus melangkah, dan berhenti di depan pintu utama. Melihat sebuah mobil SUV putih, pintunya bergerak terbuka dan muncul seorang wanita. Wanita cantik.Kedua mata Anne mengamati penampilan wanita itu. Rambutnya pirang, lurus hingga punggung. Mengenakan mini dress berwarna merah dan stiletto yang senada.Wanita itu langsung menyadari keberadaan Anne dan tersenyum tipis. Suara langkah kakinya terdengar begitu anggun, menghampiri Anne yang masih berdiri membeku di ambang pintu.Anne mencoba mengingat, wajah wanita ini terlihat begitu familiar. Tetapi Anne tak bisa mengingat lebih banyak. Wanita itu berhenti tepat di depan Anne. Dengan kedua lengan yang disilangkan di depan dada dan dagu yang sedikit diangkat. Menampilkan keanggunan sekaligus keangkuhan."Kau pasti Anne, istri pertama Luciano," ucap wanita itu dengan suara yang diatur setenang dan sehalus mungkin.Kening Anne mengernyit tipis, akan kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu. Istri pertama? Bukankan itu artinya…"Perkenalkan. Aku Reene. Sepupu sekaligus calon istri cadangan Luciano."Calon istri cadangan? Anne mengulang dalam hati. Sekali lagi menatap penampilan Reene, yang bisa dibilang sangat sempurna. Seperti Luciano. Rasanya mereka memang lebih cocok bersama. "Sebelumnya, kuharap kau memahami posisimu. Seseorang seperti Luciano, yang memegang kerajaan bisnis sangat besar di negeri inu. Tentu saja memerlukan pewaris. Yang bisa dipercaya. Yang berasal dari keluarga terdekat. Kami tak mungkin membiarkan pewaris berasal dari orang asing sepertimu." "Kau hanyalah salah satu obsesinya. Dan seorang Luciano selalu mendapatkan apa pun yang diinginkan. Tapi aku adalah sebuah kebutuhan. Kita memiliki peran masing-masing di hidup Luciano. Jadi…" Anehnya, Anne sama sekali tak merasa tersinggung. Jika ada Reene, bukankah itu artinya ia memiliki kesempatan akan dibuang oleh Luciano. Dan ia bisa terbebas. Senyum tersamar di ujung bibirnya setelah cukup menelaah penjelasan Reene yang sangat menguntungkan dirinya. "Kuharap kita bisa berhubungan baik," lanjut Reene. "Sejuju
Tubuh Anne kembali terduduk dengan lemas ketika dokter menjelaskan tentang bagaimana keadaan Ibra. Yang cukup parah. Mengalami patah di kaki kanan, benturan di kepala dan mendapatkan beberapa jahitan, juga luka lainnya yang tergolong ringan. Operasi berjalan selama tiga jam dan Ibra sekarang berada dalam ruang pemulihan. Sebelum kemudian akan dibawa ke ruang perawatan jika keadaannya mulai membaik. Wajahnya masih lembab, oleh air mata yang rasanya tak berhenti mengalir. Luciano benar-benar keterlaluan. Semudah itu Luciano bermain-main dengan nyawa seseorang. Dan betapa tololnya Anne masih mencoba bermain-main dengan pria itu. Ia benar-benar sudah putus asa. Dan hajar habis-habisan untuk menyerah pada Luciano. Dengan cara yang paling keji dan pengecut. "Anne?" Suara lembut memanggil dari arah samping Anne. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Eshan?" Bibir Anne bergetar hebat. Menemukan pria tinggi dengan jas putih dan stetoskop yang masih mengalung di leher. Pria itu terheran, menatap
"Apa kau sudah tahu, Luciano?" sembur Reene begitu panggilannya tersambung. Ia tak berhenti mondar-mandir di tengah ruang tidur yang luas. Berada di salah satu ruangan di lantai satu. Kamar tidur pribadinya setiap kali bermalam di rumah ini. "Ada apa, Reene? Kau mengganggu waktuku untuk pertanyaan sialan itu?" "Anne hamil. Apa kau sudah tahu?" Luciano mendesah rendah. "Kau sudah tahu." "Apa maksudnya ini, Luciano?" Luciano terkekeh pelan. "Pertanyaan macam apa itu, Reene. Istriku hamil, tentu saja aku tahu." "Kalian baru menikah dua hari dan dia sudah hamil dua bulan. Bagaimana mungkin?" Luciano kemudian hanya menghela napasnya panjang. Terdengar jengah akan rentetan pertanyaan Reene yang membosankan. "Well, itu urusanku dan Anne, Reene. Kau tak suka tentang kabar ini?" "Lalu bagaimana denganku?" "Kau? Kenapa denganmu?" "Bagaimana dengan rencana pernikahan kita?" "Ah, itu. Kita akan membahasnya setelah aku pulang. Aku memiliki pekerjaan yang lebih serius." "Apa kau berpiki
Anak dalam kandungannya tak terselamatkan, dan bahkan Anne hampir kehilangan nyawa karena pendarahan yang hebat. Jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, nyawa wanita itu pasti sudah melayang. Beruntung ada pelayan yang datang dan menemukan wanita itu dalam keadaan sekarat. Anne pingsan selama beberapa jam, dan saat terbangun hari sudah sore. Kepalanya masih pusing dan rasa tak nyaman bersarang di perutnya. Tidak ada siapa pun di ruang perawatannya. Tetapi ia yakin ada dua pengawal Luciano yang berjaga di samping kanan dan kiri pintu. Telapak tangan Anne yang dipasang jarum infus bergerak menyentuh perutnya. Ia tak sudi mengandung anak Luciano, tetapi rasa kehilangan yang teramat sangat tetap saja tak bisa ia tahan. Seakan jantungnya dibetot dan ditarik keluar. Air mata menggenang di ujung kelopak matanya ketika suara langkah kaki yang kuat dan tergesa semakin mendekat. Anne baru saja memikirkan Luciano, dan dalam sekejap pintu dibanting terbuka lalu wajah murka pria itu muncul dan
Anne sudah mengembalikan ketenangannya dari ketakutan dan emosinya yang campur aduk karena kegugurannya. Ia mencoba menekan rasa pusing yang masih tersisa saat bangun terduduk. Mengambil gelas air putih di nalas dan meneguknya hingga setengah. Pintu ruangannya bergeser terbuka ketika ia meletakkan gelas di nakas, dan melihat Reene melangkah masuk. Senyum wanita itu tak bisa disembunyikan di raut wajahnya. Atau memang wanita itu tak bersusah payah menutupi kebahagiaan atas kehilangannya. "Aku tahu kau yang melakukannya," desis Anne tajam begitu Reene berhenti tepat di samping ranjang pasiennya. Senyum Reene mengembang, kedua tangan bersilang dada dengan sikap angkuh yang begitu kental. "Aku hanya memberimu apa yang kau inginkan. Tidak sulit untuk mengucapkan terima kasih, Anne. Hanya perlu mengatakannya saja," ucapnya dengan ringan dan penuh ketenangan. Ya, memang ialah yang mengganti vitamin kehamilan Anne dengan obat penggugur kandungan. Kandungan Anne masih sangat muda dan renta
Dalam satu jam, mobil yang ditumpangi Anne berhenti di depan teras rumah Luciano. Pengawal yang duduk di depan bergegas turun lebih dulu untuk membukakan pintu wanita itu. "Tuan menunggu Anda di lantai dua," ucap pengawal itu dengan nadanya yang datar. Napas Anne tertahan, menatap pintu utama yang terbuka lebar dan ia bisa melihat kedua kaki tanga. Ia menelan ludahnya. Menelan ketakutannya sebelum mendesah singkat dan mulai mengangkat kakinya. Kedua kakinya terayun menyeberangi ruang tamu yang luas dan langkahnya kembali terhenti ketika sampai di depan anak tangga. Berusaha menetralisir ketakutan di dadanya ketika mengingat ancaman Luciano dan peringatan Reene. "Apa Anda baik-baik saja, Nyonya," ucap salah satu penjaga di samping tangga. Membuyarkan lamunan Anne Anne tersentak pelan. Menggeleng dengan cepat dan mulai menggerakkan kedua kakinya menaiki anak tangga. Dengan jantung yang berdebar-debar. Di sisi lain, Reene menyaksikan kegugupan Anne dengan senyum yang mengembang sang
Anne muntah di wastafel, dengan air mata yang mengalir di pipi. Mencuci mukanya dengan air dingin, berkali-kali dan berharap itu bisa membersihkannya dari rasa kotor yang memenuhi wajahnya. Tetapi tetap saja semua itu tak membuat rasa jijik di dada terhadap dirinya sendiri berhenti. Kepalanya menoleh keluar pintu kamar mandi. Melihat Luciano bangkit berdiri sambil menaikkan celana pria itu dengan seringai gelap yang tersungging untuknya. Sekaligus kepuasan yang begitu besar. Kemudian berbalik dan berjalan ke arah tangga. Tubuh Anne jatuh terduduk di lantai. Ia benar-benar tak tahan menghadapi situasinya. Seolah dihajar habis-habisan untuk menyerah dan pasrah di bawah kaki pria itu. Dan ia hampir menyerah. Tetapi kebenciannya terhadap Luciano mendorongnya untuk tetap bertahan. Anne menghapus air matanya. Menarik napasnya dalam-dalamnya dan menguatkan hati. Tidak ada siapa pun yang akan menolongnya jika bukan dirinya sendiri. Baiklah, Luciano bisa melakukan apa pun pada dirinya. Pria
Luciano menggedor meja di hadapannya dengan kedua kepala tangannya. Buju-buku jari pria itu memutih saking kuatnya cengkeraman tersebut. Menunjukkan kemarahannya terhadap Anne benar-benar tak bisa ditahannya. Wanita itu telah merampok segala emosi di dadanya. Kesabarannya benar-benar raib dan kepalanya terasa berdenyut memikirkan bagaimana lagi cara menaklukkan wanita yang satu itu. Faraz hanya terduduk di kursi yang ada di depan meja tempat Luciano berdiri. Matanya melirik barang-barang yang jatuh ke lantai. Hanya mengamati dengan keseriusan yang terlalu dalam karena rasa laparnya. Ia baru saja memasukkan dua suap nasi ke mulut ketika Luciano muncul membopong Anne dengan handuk di wajah wanita itu. Faraz pikir itu adalah sebuah kecelakaan, karena Luciano tampak begitu khawatir. Sebelumnya, Faraz tak pernah melihat Luciano sepanik itu. Luciano sangat pandai mengendalikan emosi pria itu. Terlihat begitu tenang dan datar. Setenang air danau dalam situasi genting apa pun. Saking datar