[Uang semesteran udah aku transfer ya, Sayang.]
Itu bunyi pesan w******p yang baru saja aku terima dari nomer HP Mas Reyfan, suamiku. Uang semesteran? Kapan aku pernah bilang butuh uang buat semesteran? Sedangkan anak kami saja, Keenan, usianya baru 3 tahun dan belum bersekolah.
Sayang? Kapan juga suamiku itu pernah memanggilku dengan sebutan manis seperti itu? Panggilannya untukku kan 'Mama', dan itu pun lebih karena membiasakan panggilan untuk anak kami.
Saat kami sedang berdua saja, dia bahkan hanya memanggilku 'Hani'. Bagus sih kalau itu Bahasa Inggris, jika terdengar di telinga orang maka seolah-olah dia sedang memanggilku 'Sayang'. Tapi sayangnya, itu namaku, Hanifa Larasati. Jadi, siapa itu yang sedang dia kirimi pesan sebenarnya?
Hanya sepersekian detik aku memandangi pesan dengan dahi berkerut sebelum kemudian tulisan itu mendadak hilang dari layar ponselku. Aku kaget bukan kepalang, kenapa pesannya dihapus? Tapi karena sudah terlanjur penasaran, akhirnya kuberanikan diri untuk mengetikkan sesuatu padanya.
[Uang semesteran apa ya, Mas?]
Dari status akunnya, Mas Reyfan terlihat masih online. Tapi pesan yang kukirim barusan tak jua dibacanya. Baru sekitar 3 menit berikutnya dia terlihat sedang menuliskan sesuatu.
[Itu Han, tadi ponsel Mas dipinjem sama temen buat kirim pesan ke adiknya. Ponsel dia ketinggalan di rumah.]
[Oooh gitu ya?]
[Iya, ngomong-ngomong, uang bulanan kamu masih kan?]
Dia tiba-tiba bertanya, yang justru membuatku semakin curiga. Tumben dia nanyain uang bulananku. Biasanya juga langsung dia kasihkan tunai tanpa basa-basi. Entah apakah itu cukup atau kurang. Dia bahkan tidak pernah bertanya. Mendadak aku merasa seperti ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh suamiku itu. Tapi apa?
.
.
.
Sore harinya saat mas Reyfan pulang dari kantor, aku berniat memeriksa isi ponselnya. Meskipun hal itu adalah sesuatu yang jarang kulakukan selama hampir 5 tahun hidup bersamanya.
Saat Mas Reyfan sedang mandi, kuputuskan untuk mengambil ponselnya yang seperti biasa diletakkan di atas nakas kamar kami. Perlahan mulai kunyalakan ponsel itu, tapi sebuah notifiķasi yang muncul membuatku kaget.
[Masukkan PIN]
Apa? Jadi dia mengunci ponselnya? Sejak kapan ya? Sayangnya, aku tak bisa menemukan jawaban dari pertanyaanku itu. Tentu saja tidak, karena selama ini aku tak pernah iseng membuka-buka ponselnya. Apakah biasanya juga dia mengunci ponselnya sebelum kudapati pesan aneh yang nyasar ke nomerku tadi siang? Segala prasangka buruk tiba-tiba saja menggelayuti pikiranku. Jika kutanyakan padanya berapa PIN ponselnya, dia pasti akan curiga dan pasti akan lebih sulit untukku menyelidiki kebenarannya.
Dengan kecurigaan yang menggunung, alhasil aku tak bisa memejamkan mata malam itu. Sampai hampir jam 12 malam, aku hanya bisa kelap-kelip memandangi langit-langit kamar. Sementara itu, mas Reyfan sudah terlelap sedari 2 jam yang lalu. Sedikit putus asa karena tak jua bisa memikirkan langkah selanjutnya yang bisa kulakukan, iseng kutulis sebuah status di akun w******p ku. 'Semoga saja tidak' dan langsung ku post.
Setelah itu, aku memejamkan mata mencoba menenangkan pikiran agar segera bisa terlelap. Namun aku terkejut ketika tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku.
[Han, belum tidur?]
Sebuah pesan dari seorang teman lama sontak membuatku terkejut.
Aku dan Adam adalah teman satu SMA dan rumah orang tuanya juga satu kompleks dengan tempat tinggal orang tuaku. Tapi selama aku mengenalnya, belum pernah sekalipun kami bertegur sapa lewat dunia maya. Kami sama-sama menyimpan nomer kontak pun, itu karena dulunya kami pernah berada dalam satu organisasi kepemudaan di daerah kami.
[Belum, Dam.]
Aku menjawab cukup singkat. Bingung juga harus mengobrol apa dengannya. Selain juga karena aku tak biasa melakukan chat dengan lawan jenis setelah menikah, kecuali hanya dengan suamiku.
[Kamu nggak ada rencana pulang ke rumah orang tua kamu dalam waktu dekat, Han?]
Ini lebih aneh lagi. Kenapa dia tiba-tiba bertanya hal yang bernada perhatian seperti itu?
[Belum ada Dam, bapak ibuku sehat kan?]
[Alhamdulillah, sepertinya sehat. Tadi sore aku ketemu mereka jalan-jalan di depan kompleks.]
[Syukurlah kalau gitu.]
[Oya, Han. Suamimu sekarang ambil kuliah lagi ya?]
Setelah tak ada chat beberapa menit, lagi-lagi pertanyaannya membuatku kaget. Kenapa mendadak perasaanku mengatakan jika dia sebenarnya ingin mengatakan sesuatu padaku?
[Setauku nggak tuh, Dam. Ada apa memangnya?]
[Oooh, nggak sih. Nggak ada apa-apa.]
Mendengar jawaban 'tidak' nya itu aku justru semakin curiga. Aku yakin ada sesuatu yang dia ketahui tentang suamiku.
[Dam, pliss katakan ada apa? Jika kamu mengetahui sesuatu, tolong kasih tau aja.]
Aku begitu yakin Adam memang mengetahui sesuatu. Lama dia tidak membalas pesan dariku, hingga akhirnya beberapa menit kemudian kulihat dia mulai mengetikkan sesuatu lagi.
[Nggak ada apa-apa kok, Han, aku kira suami kamu kuliah lagi, soalnya beberapa kali aku lihat dia di kampusku. Mungkin sedang ada urusan, atau aku saja yang salah lihat.]
Ya Tuhan, adakah semua ini ada hubungannya dengan isi pesan yang dikirimkan mas Reyfan padaku tadi siang? Tidak, aku yakin Adam tidak salah lihat. Naluriku berkata itu memang benar suamiku. Kemudian aku berpikir aku harus menemui Adam secepatnya. Mungkin dia bisa membantuku mengungkap rahasia yang sedang disembunyikan suamiku saat ini.
Hari ini aku berniat mengunjungi orang tuaku, sekaligus ingin menemui Adam. Berharap ada informasi dari pria itu yang akan mengungkapkan fakta tentang mas Reyfan. Pagi sekali aku sudah bangkit dari pembaringan karena ternyata mataku tak bisa diajak kompromi untuk beristirahat barang sejenak hingga pagi tiba. Mbok Jum, asisten rumah tangga kami menyambutku dengan suka cita di dapur sambil sesekali berdendang. "Masih terlalu pagi, Bu, kok sudah bangun?" sapanya. "Nggak bisa tidur Mbok, gerah," ucapku sekenanya. Mbok Jum nampak hanya menganggukkan-anggukkkan kepalanya. "Oya, Mbok lanjut bereskan cucian saja di belakang ya, biar aku yang siapkan sarapan," kataku. Simbok menurut dan segera berlalu dari sampingku. Berkutat dengan bahan-bahan bakal sarapan, pikiranku kembali melayang ke obrolan pesanku dengan suamiku kemarin siang. Nampaknya otakku sudah benar-benar teracuni dengan kecurigaan. Dan kukira ini tak bisa terus dibiarkan. Bahwa kenyataannya ada kejanggala
[Mas, sedang apa?] Sesampainya di rumah sore itu, kutuliskan pesan ke ponsel suamiku. Hal kedua yang juga jarang kulakukan selama ini. Aku mengiriminya pesan basa-basi di sela kesibukan kantornya. [Masih di kantor, Han. Ada apa?] [Hari ini Mas pulang jam berapa? Makan malam di rumah kan?] [Iya, agak maleman mungkin, jam 6 an.] Kalimatnya masih sedikit agak kaku. Mungkin dia sedikit aneh karena tiba-tiba aku mengiriminya pesan tidak biasa. [Mas pengen dimasakin apa untuk makan malam nanti?] [Apa aja, Han. Yang penting enak.] [Mau rendang kesukaan Mas?] [Boleh.] [Oke, nanti aku masakin special buat Mas. Jangan telat ya Sayang pulangnya. Love you.] [Iya, Sayang. Love you, too.] Aku tersenyum mendengar jawaban terakhirnya. Itu pertama kalinya dia menuliskan pesan dengan kata-kata 'Sayang' dan 'Cinta' padaku semenjak kami menikah. Dan mulai sekarang, aku akan membiasakan itu semua. . . . Aku sedang membantu Mbok Jum menyia
Minggu pagi, kulihat dia bangun lebih awal. Saat aku mulai membuka mata, dia sudah rapi dengan pakaian olahraga dan sneakernya. "Mau kemana, Mas?" tanyaku dengan suara masih serak khas bangun tidur. "Jogging. Mau ikut?" tanyanya sambil merapikan rambut tebal dan hitamnya. "Nggak ah. Belum shalat subuh," sahutku cepat, lalu segera bangkit dan menuju kamar mandi. Mungkin ini keberuntunganku, karena usai shalat subuh ternyata kulihat ponsel mas Reyfan tergeletak begitu saja di atas nakas. Aku berjingkat mendekat, tiba-tiba timbul keinginan untuk memeriksa apakah ponsel itu masih diberi PIN atau tidak. Perlahan kuraih benda pipih itu dan lagi-lagi aku harus kecewa karna ternyata ponselnya masih dikunci. Dengan dahi berkerut, aku berusaha menebak sebenarnya berapa PIN yang dipakainya. Tapi nyatanya tak ada satu hal pun yang terlintas di kepalaku saat ini. Karena jengkel, akhirnya kuletakkan kembali ponsel tersebut di tempatnya semula. Namun baru saja ingin kulang
Aku menepikan mobil hati-hati di pinggir jalan yang tak terlalu ramai dan memarkirkannya mobil dengan sempurna. Pak Hasan, lelaki paruh baya yang sejak 5 hari yang lalu menjadi trainer menyetirku mengacungkan 2 jempolnya ke arahku. "Good job, Bu Hani!" ucapnya. "Saya sudah siap diajak plesiran keliling Jawa nih kalau kayak gini. Tinggal nunggu Surat Ijin Mengemudinya jadi aja, Bu. Siap tancap gas!" lanjutnya terkekeh. Aku pun tersenyum puas. Aku memang berlatih sangat keras beberapa hari ini demi mencapai tujuanku, melepaskan ketergantungan dari suami tercintaku yang sudah mulai berulah. "Terima kasih ya, Pak," kataku tulus pada trainer senior di sebuah lembaga kursus mengemudi itu. "Jadi hari ini terakhir saya ketemu Pak Hasan dong ya?" candaku padanya. "Ya jangan terakhir lah, Bu. Kesannya kok jadi kayak saya mau meninggal saja," orang tua itu terkekeh. "O iya ya." Kutepuk dahiku dan ikut meramaikan kekehannya. "Kalau gitu gimana kalau kita mak
[Hai Hani, sedang apa?] Pesan w******p dari Adam siang itu membuyarkan konsentrasiku yang sedang berselancar di internet mencari informasi peluang usaha. Karena sedang tak minat mengetik, segera saja kutekan nomor kontaknya untuk melakukan panggilan. "Hai, Dam. Apa kabar?" tanyaku. Sepertinya sudah beberapa hari kami memang tak saling bertegur sapa lagi. Tepatnya sejak dia mengirimkam video suamiku dengan si gadis belia di kampusnya waktu itu. "Baik, kamu sendiri?" "Baik juga, Alhamdulillah. Ada apa, Dam? Tumben chat? Ada yang penting kah?" "Nggak ada, Han. Cuma pengen tau kabar kamu aja. Bisa ketemu nggak?" tanyanya membuatku sedikit kaget. "Sekarang?" "Iya, kalau kamu nggak sibuk sih," ucapnya ragu. "Gimana ya, Dam, tapi suamiku sedang keluar kota tuh. Atau, gimana kalau kita ketemuan di rumah Bapak aja lagi?" usulku. Tapi sepertinya dia tidak begitu antusias dengan ajakanku. "Ooh gitu. Kalau gitu lain kali sesempatnya aja, Han. Aku cuma mau
Entah sudah berapa bulan aku tak mengunjungi rumah ini, aku lupa. Tapi, aku memang tidak begitu dekat dengan Mbak Ratri. Padahal, dia adalah satu satunya satu-satunya kakak ipar yang kupunya. Mas Reyfan adalah anak kedua dari 3 bersaudara, Mbak Ratri, dia, dan satu lagi adik lelakinya, Irwan. Irwan sendiri masih duduk di bangku kuliah. Dengan Irwan, aku pun tak dekat, mungkin karena dia laki-laki. Sementara dengan Mbak Ratri, dari awal pernikahanku dengan Mas Reyfan, kutahu dia sosok yang sedikit tertutup. Dulu ketika masih sama-sama sering berkunjung ke rumah orang tua Mas Reyfan, kami masih agak lumayan sering ngobrol walaupun hanya basa-basi. Tapi setelah satu tahun kemudian suami mbak Ratri pergi dan kakak iparku itu menjanda, kami jarang berinteraksi. Mbak Ratri pun seperti menjadi lebih tertutup dari sebelumnya. Kami jarang bertemu lagi di rumah mertuaku. Kuingat terakhir kali aku berkunjung ke rumah ini setahun yang lalu saat Mas Reyfan mengajakku mengan
"Jadi ini Mas yang kamu bilang ke Bali?" Mataku tajam menatap bergantian dua insan yang terlihat sedang sangat salah tingkah di depanku itu. Benar-benar tak kusangka kejadiannya akan sedramatis ini. Aku bahkan tak mengira akan memergoki suamiku berjalan bersama dengan gadis itu secepat ini. "Han, aku bisa jelaskan," Mas Reyfan bergerak maju mendekatiku. Sementara si gadis nampak terdiam mematung di tempatnya. Wajahnya menunduk lesu seperti seekor cacing yang takut akan diinjak. "Ya sudah, ayo jelaskan!" tantangku. "Ini ... ini nggak seperti yang kamu lihat, Han. Kita bisa duduk dulu kan, kita bicarakan baik-baik," bujuknya. "Bicara aja langsung sekarang! Aku sudah selesai dengan kakakmu, aku sudah mau pulang." Aku menoleh ke arah mbak Ratri yang juga masih mematung di tempatnya semula. Jelas sekali wajah wanita itu menyiratkan kecemasan. "Nggak nyangka ya Mas, kelakuan kamu di belakang aku ternyata kayak gini." Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil ber
Kami berdua duduk berhadapan di meja dapur. Ini sudah lewat dari tengah malam, tapi demi mendengar tawaran janjinya yang akan menuruti semua keinginanku jika aku mau memaafkannya, mendadak aku jadi antusias untuk segera membahasnya. Setelah menyeduh dua cangkir kopi beberapa menit yang lalu, kini kami menikmati aroma wangi kopi masing-masing yang merebak dari kedua cangkir di hadapan kami. "Jadi, apa yang kamu inginkan, Han?" Dia memulai pembicaraan. "Kamu masih ingat kan kemarin waktu kita packing pakaianmu saat kamu bilang mau ke Bali, Mas?" tanyaku mengingatkan. "Iya ingat." Dia mengangguk. "Aku mau memulai usaha. Kamu harus siapkan modal buat aku." "Sudah kamu hitung berapa yang kamu butuhkan?" "Siapkan saja 150 juta." "Apa? Itu besar sekali, Han. Tabunganku nggak ada segitu. Kamu tau sendiri kan kemarin habis dipakai beli mobil kamu." "Memangnya berapa sisa tabungan kamu, Mas?" "Paling tinggal 50 juta aja," "Boleh aku liat?