[Hai Hani, sedang apa?]
Pesan w******p dari Adam siang itu membuyarkan konsentrasiku yang sedang berselancar di internet mencari informasi peluang usaha.
Karena sedang tak minat mengetik, segera saja kutekan nomor kontaknya untuk melakukan panggilan.
"Hai, Dam. Apa kabar?" tanyaku. Sepertinya sudah beberapa hari kami memang tak saling bertegur sapa lagi. Tepatnya sejak dia mengirimkam video suamiku dengan si gadis belia di kampusnya waktu itu.
"Baik, kamu sendiri?"
"Baik juga, Alhamdulillah. Ada apa, Dam? Tumben chat? Ada yang penting kah?"
"Nggak ada, Han. Cuma pengen tau kabar kamu aja. Bisa ketemu nggak?" tanyanya membuatku sedikit kaget.
"Sekarang?"
"Iya, kalau kamu nggak sibuk sih," ucapnya ragu.
"Gimana ya, Dam, tapi suamiku sedang keluar kota tuh. Atau, gimana kalau kita ketemuan di rumah Bapak aja lagi?" usulku. Tapi sepertinya dia tidak begitu antusias dengan ajakanku.
"Ooh gitu. Kalau gitu lain kali sesempatnya aja, Han. Aku cuma mau kasih info kamu kok. Nanti habis ini aku kirim by WA ya?"
"Info apa, Dam? Kok aku jadi deg-deg an."
"Nggak papa, tenang aja, Han. Cuma soal yang masih ada hubungannya dengan yang kemarin kok. Tapi aku berharap sih masalahmu sama suami kamu sudah selesai."
"Sebenarnya belum sih, Dam. Cuma aku memang nggak lagi fokus mikir ke situ. Pusing aku kalau terus-terusan kepikiran."
"Oooh gitu, baguslah. Jadi kalau gitu aku skip aja ya info ini?" katanya
"Jangan, Dam. Tetep kirim ke aku. Siapa tau bisa kugunakan nanti."
"Oke kalo gitu. Ngomong-ngomong kamu lagi ngapain, Han?"
"Ini, Dam, aku lagi nyari info peluang bisnis. Tapi kok malah jadi bingung ya?"
"Bisnis apaan? Dimana?"
"Lagi cari-cari info di internet."
"Oooh, kamu mau berbisnis gitu?"
"Ya rencananya sih gitu. Tapi apa ya yang kira-kira prospek?"
"Passion kamu apa? Bisnis akan lebih baik lho kalau dijalanin sesuai passion. Biasanya lebih gampang sukses."
"Apa ya? Nggak gitu ngerti juga sih. Aku kayaknya udah nggak pernah lagi mikirin bakat sama minat aku sejak nikah." Aku terkekeh.
"Nggak harus berbakat, Hani. Bisa nanti kerjasama dengan orang yang lebih berbakat. Yang penting sesuai sama minat kamu. Jadi nanti kalau ada hambatan, kamu nggak akan gampang nyerah."
"Ooh gitu ya. Berarti harus kugali lagi nih dan kupikirkan mateng-mateng dulu. Soalnya tadi juga bingung, banyak banget tawaran bisnis di internet tuh."
"Kalo kamu cari infonya di internet harus ekstra hati-hati dan teliti, Han."
"Maksudnya? Banyak penipuan gitu ya?"
"Nggak gitu juga sih. Cuma karena dunia maya, jadi ya agak lebih rawan, soalnya kita kan nggak saling kenal, ya kan? Makanya yang tadi aku bilang harus ekstra teliti. Pastikan dulu kebenarannya, baru putuskan."
"Mmm ya, paham, Pak Adam. Terima kasih banyak infonya," ucapku bercanda. Adam pun segera terkekeh senang. Sepertinya kami berdua sama-sama menikmati obrolan kami barusan.
Saat aku memutuskan sambungan telepon dengan Adam, tiba-tiba aku baru ingat, sepertinya membicarakan rencana bisnis dengan Adam adalah ide yang bagus. Aku lupa kalau Adam itu pengusaha muda yang sukses sekarang. Dia berhasil membangun perusahaan start up digital marketing usai kuliah S1nya. Dan sekarang dia memimpin perusahaannya sendiri sambil melanjutkan kuliah S2. Mungkin sebaiknya kapan-kapan aku harus menemui Adam untuk berkonsultasi saja.
Ponselku berbunyi beberapa kali, tanda Adam sudah mengirimkan pesan. Saat kubuka, ternyata dia mengirimkan beberapa gambar seperti sebuah dokumen dengan disertai notif pesan padaku.
[Han, aku berhasil mendapat informasi tentang gadis itu. Semoga bisa membantumu.]
Ada 3 buah foto yang dia kirimkan. Itu seperti data pribadi seorang mahasiswa. Di dalamnya berisi foto close up, nama, tempat tanggal lahir, alamat, jurusan, fakultas dan semacamnya.
Dari data tersebut aku segera tahu bahwa gadis itu memang benar-benar masih sangat muda. Dia baru menginjak tahun ke 2 di kampus itu. Sungguh tak kusangka suamiku ternyata menyenangi gadis muda seperti ini.
Lama kutertegun membaca data demi data di dalam gambar yang dikirimkan Adam. Dan hei, bagaimana mungkin aku sampai melewatkan sesuatu yang sungguh sangat mencengangkan ini?
Di dalam kolom isian alamat domisili gadis itu ternyata tertulis alamat yang begitu familiar bagiku. Jl Cempaka no. 25, benarkah penglihatanku? Refleks ku kucek kedua mataku, mencoba meyakinkan diriku apakah tulisan yang kubaca ini benar adanya.
Tapi sejauh ini sepertinya tidak ada yang salah dengan pandanganku. Berkali-kali memang hanya tulisan itu yang terbaca. Benarkah ini? Gadis itu tinggal disana? Di Jl Cempaka no. 25? Tapi bukankah itu adalah rumah Mbak Ratri, kakak iparku yang juga merupakan kakak kandungnya Mas Reyfan?
Entah sudah berapa bulan aku tak mengunjungi rumah ini, aku lupa. Tapi, aku memang tidak begitu dekat dengan Mbak Ratri. Padahal, dia adalah satu satunya satu-satunya kakak ipar yang kupunya. Mas Reyfan adalah anak kedua dari 3 bersaudara, Mbak Ratri, dia, dan satu lagi adik lelakinya, Irwan. Irwan sendiri masih duduk di bangku kuliah. Dengan Irwan, aku pun tak dekat, mungkin karena dia laki-laki. Sementara dengan Mbak Ratri, dari awal pernikahanku dengan Mas Reyfan, kutahu dia sosok yang sedikit tertutup. Dulu ketika masih sama-sama sering berkunjung ke rumah orang tua Mas Reyfan, kami masih agak lumayan sering ngobrol walaupun hanya basa-basi. Tapi setelah satu tahun kemudian suami mbak Ratri pergi dan kakak iparku itu menjanda, kami jarang berinteraksi. Mbak Ratri pun seperti menjadi lebih tertutup dari sebelumnya. Kami jarang bertemu lagi di rumah mertuaku. Kuingat terakhir kali aku berkunjung ke rumah ini setahun yang lalu saat Mas Reyfan mengajakku mengan
"Jadi ini Mas yang kamu bilang ke Bali?" Mataku tajam menatap bergantian dua insan yang terlihat sedang sangat salah tingkah di depanku itu. Benar-benar tak kusangka kejadiannya akan sedramatis ini. Aku bahkan tak mengira akan memergoki suamiku berjalan bersama dengan gadis itu secepat ini. "Han, aku bisa jelaskan," Mas Reyfan bergerak maju mendekatiku. Sementara si gadis nampak terdiam mematung di tempatnya. Wajahnya menunduk lesu seperti seekor cacing yang takut akan diinjak. "Ya sudah, ayo jelaskan!" tantangku. "Ini ... ini nggak seperti yang kamu lihat, Han. Kita bisa duduk dulu kan, kita bicarakan baik-baik," bujuknya. "Bicara aja langsung sekarang! Aku sudah selesai dengan kakakmu, aku sudah mau pulang." Aku menoleh ke arah mbak Ratri yang juga masih mematung di tempatnya semula. Jelas sekali wajah wanita itu menyiratkan kecemasan. "Nggak nyangka ya Mas, kelakuan kamu di belakang aku ternyata kayak gini." Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil ber
Kami berdua duduk berhadapan di meja dapur. Ini sudah lewat dari tengah malam, tapi demi mendengar tawaran janjinya yang akan menuruti semua keinginanku jika aku mau memaafkannya, mendadak aku jadi antusias untuk segera membahasnya. Setelah menyeduh dua cangkir kopi beberapa menit yang lalu, kini kami menikmati aroma wangi kopi masing-masing yang merebak dari kedua cangkir di hadapan kami. "Jadi, apa yang kamu inginkan, Han?" Dia memulai pembicaraan. "Kamu masih ingat kan kemarin waktu kita packing pakaianmu saat kamu bilang mau ke Bali, Mas?" tanyaku mengingatkan. "Iya ingat." Dia mengangguk. "Aku mau memulai usaha. Kamu harus siapkan modal buat aku." "Sudah kamu hitung berapa yang kamu butuhkan?" "Siapkan saja 150 juta." "Apa? Itu besar sekali, Han. Tabunganku nggak ada segitu. Kamu tau sendiri kan kemarin habis dipakai beli mobil kamu." "Memangnya berapa sisa tabungan kamu, Mas?" "Paling tinggal 50 juta aja," "Boleh aku liat?
"Ma, Papa! Papa!" teriak Keenan sambil berlari-lari kecil ke dalam rumah. Aku yang sedang ngobrol dengan Mbok Jum di ruang tamu segera menoleh. Benar saja, mobil Mas Reyfan sudah terparkir di garasi. Keasikan ngobrol, kami sampai tidak menyadari ada suara mobil yang datang. "Mana, Sayang?" tanyaku pada bocah lelaki berumur 3 tahun itu dengan wajah cerah. Keenan segera menunjuk-nunjukkan tangannya ke arah luar. Mbok Jum dengan cekatan segera keluar menghampiri Mas Reyfan dan membawakan tas kerjanya. Kugandeng bocah kecilku menyambut kedatangan papanya di pintu. "Assalamu'alaikum. Hai, Sayang," sapanya sambil mencium pipiku, lalu meraih Keenan ke dalam gendongannya dan langsung menciumi putranya itu dengan gemas. Begitulah kehidupan kami 2 minggu setelah percakapanku dengan Mas Reyfan di dapur membicarakan soal kesepakatan dan janjinya itu. Aku berusaha bersikap wajar mulai hari itu, dan dia pun lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah setelah pulang dari kan
"Mbok Juuum ... !" teriak Mas Reyfan sambil menuruni tangga ke lantai bawah. Dia bergerak cepat menuruni tangga sambil sebelah tangannya membenarkan letak dasinya. "Ya, Pak?" Mbok Jum yang sedang membantuku menyiapkan sarapan tergopoh-gopoh menghampirinya. "Mbok liat kunci mobil nggak?" tanyanya panik. Astaga!!! Jantungku rasanya mau copot mendengar itu. Bagaimana aku bisa salah taruh kunci? Harusnya kutaruh kembali di atas nakas tadi malam. Duuuh, bagaimana ini? Jantungku sontak berdegup kencang sementara keringat dingin sepertinya sudah mulai membasahi tengkukku. "Nggak liat tuh Pak. Apa biasanya ndak di kamar Bapak?" Mbok Jum balik tanya. Untuk menghindari kecurigaan, aku segera berjalan menghampiri Mas Reyfan. "Nyari apa sih Mas? Kok teriak-teriak gitu?" "Itu ... kunci mobil. Dimana ya kok ngga ada?" "Kan biasanya di kamar. Di atas nakas," kataku meyakinkan. "Iyaa, seingatku juga kemarin aku taruh di sana, tapi nggak ada." "Yakin?
Aku kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu. Kembali kuingat-ingat lagi pesan Adam sebelum aku meninggalkan cafe tadi. Dia bilang, aku tidak boleh gugup, bersikap tenang seolah tak tau apa-apa. Jangan sampai membicarakan masalah ponsel itu. karena jika mas Reyfan tahu ponsel itu aku yang bawa, maka rencana untuk melaporkan kasus itu bisa jadi berantakan. Sebelum aku memarkirkan mobilku di garasi, sempat kulihat mobil mas Reyfan terparkir di jalan depan rumah kami. Dengan tenang, kuayunkan langkah menuju ke dalam. Di ruang tengah, Mas Reyfan sedang berdiri mondar-mandir dengan gelisah di depan mbok Jum yang sedang duduk di sofa memangku Keenan. "Ada apa, Mas?" tanyaku saat akhirnya aku mencapai tempatnya berdiri. Mimik mukaku kubuat senatural mungkin. "Han, kamu nggak buka mobilku semalam kan?" Mas Reyfan menatapku tajam.Sudah kuduga, sepertinya dia sudah tahu bahwa ponselnya hilang. Dan sekarang dia sedang kebingungan mencarinya. "Buka mobil? Memangnya
"Han, kenalin ini Kompol Daniel Devanno. Beliau dari Satuan Reskrim," kata Adam padaku saat memperkenalkan seseorang yang katanya sahabatnya itu. Dan dia, si Daniel itu, ternyata adalah lelaki yang aku jumpai diparkiran tadi. Jadi, lelaki tadi adalah seorang polisi? Aku bangkit dari dudukku saat lelaki itu mengulurkan tangannya hendak menyalamiku. Rasanya aku seperti kehilangan muka saat dia menatapku sangat lekat dengan kedua matanya. Ternyata mata yang tadi sempat membuatku penasaran, yang ditutupinya dengan kacamata itu, memiliki sorot yang begitu tajam hingga seolah jantungku berhenti berdetak seketika saat telapak tangannya berhasil mendarat di telapak tanganku. Pemandangan yang terjadi selanjutnya adalah bahwa tangan kokoh itu kini seperti tangan raksasa yang akan meremukkan tulang-tulang tanganku yang kecil. Mendadak aku bergidik ngeri saat dalam beberapa detik tangan itu tak jua dilepaskannya dariku. Kurasa sepertinya dia memang berniat ingin meremukkan tulangku karen
"Di luar ada polisi yang mencari Bapak," kata Mbok Jum memberi tahu. Mas Reyfan dan aku saling berpandangan, dan aku yakin aku tak salah lihat kalau wajah suamiku saat ini berubah pucat. Tak berapa lama kemudian kami bertiga menuruni tangga menuju lantai bawah berurutan dengan saling membisu. Kami seperti larut dalam pikiran masing-masing. Dan saat sampai di ruang tamu, aku melihatnya. Daniel, si manusia tanpa senyum itu, sedang berdiri di sana berbicara dengan tiga orang berseragam polisi lengkap. Sementara dia sendiri, masih mengenakan blue jeans dan atasan kaosnya yang sore tadi dia kenakan, hanya saja telah terbungkus rapat dengan jaket warna hitam. "Selamat Malam, Pak Reyfan. Saya Daniel Devanno dari Polresta. Kakak Anda, ibu Tantri Kusuma, beberapa saat yang lalu telah tertangkap tangan tengah melakukan kagiatan prostitusi. Dan anda diduga terlibat dalam kasus ini. Untuk itu, Anda harus ikut dengan kami untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di kantor."