Hari ini aku berniat mengunjungi orang tuaku, sekaligus ingin menemui Adam. Berharap ada informasi dari pria itu yang akan mengungkapkan fakta tentang mas Reyfan.
Pagi sekali aku sudah bangkit dari pembaringan karena ternyata mataku tak bisa diajak kompromi untuk beristirahat barang sejenak hingga pagi tiba.
Mbok Jum, asisten rumah tangga kami menyambutku dengan suka cita di dapur sambil sesekali berdendang.
"Masih terlalu pagi, Bu, kok sudah bangun?" sapanya.
"Nggak bisa tidur Mbok, gerah," ucapku sekenanya. Mbok Jum nampak hanya menganggukkan-anggukkkan kepalanya. "Oya, Mbok lanjut bereskan cucian saja di belakang ya, biar aku yang siapkan sarapan," kataku. Simbok menurut dan segera berlalu dari sampingku.
Berkutat dengan bahan-bahan bakal sarapan, pikiranku kembali melayang ke obrolan pesanku dengan suamiku kemarin siang. Nampaknya otakku sudah benar-benar teracuni dengan kecurigaan. Dan kukira ini tak bisa terus dibiarkan. Bahwa kenyataannya ada kejanggalan dengan penjelasannya tentang pesan w******p itu, aku sangat mengerti.
Aku bukan tak menyadari hal itu, tapi mungkin suamiku yang terlalu menganggapku bodoh. Seorang teman meminjam ponsel untuk mengirimkan pesan pada adiknya dengan kalimat mesra seperti itu, sepertinya mustahil. Tapi sudahlah, semuanya memang tak perlu dipertanyakan. Cukup dicari tahu saja kebenarannya. Karena semakin aku bertanya padanya, maka dia hanya akan lebih rapat menutupi semua yang sedang disembunyikannya.
'Cup'
Aku kaget ketika tiba-tiba sebuah kecupan hangat mendarat sempurna di pipi kiriku disertai elusan lembut di bagian pinggang. Saat kumenoleh, Mas Reyfan telah berdiri didekatku dengan senyum manisnya. Aku gagal mengingat kapan terakhir kali dia tersenyum seindah itu padaku.
"Rajin banget, sepagi ini sudah di dapur?" ucapnya yang terdengar lebih mirip seperti sebuah godaan di telingaku. Aku mencoba mengubah senyum kecutku menjadi sedikit lebih manis. Entah berhasil atau tidak, tapi dia tiba-tiba bergeser ke belakangku, memeluk pinggangku dan menyenderkan kepalanya di pundakku. Sejujurnya, aku ingin sekali menolak sentuhannya, tapi bagaimanapun dia adalah suamiku. Dan aku sama sekali belum yakin dengan apa yang dilakukannya di belakangku.
"Ada apa kok tiba-tiba jadi manja?" tanyaku keheranan sambil tetap membiarkan tubuhnya menempel lekat padaku. Ini memang benar-benar di luar kebiasaannya yang cuek, cenderung agak kaku dan tidak romantis.
"Sudah mandi?"
Dia tak menjawab pertanyaanku, tapi justru balik memberikan pertanyaan padaku. Aku menggeleng.
"Mau mandi sama sama?" tanyanya lagi.
Sontak dahiku berkerut. Ini hal aneh lainnya lagi yang dia lakukan sepagian ini. Tapi berdiri di dekatnya, bisa kurasakan hawa panas tubuhnya yang sedang penuh hasrat.
"Aku mau bikin sarapan, Mas. Mandi duluan sana, malu nanti mbok Jum lihat." Usahaku mencoba untuk menghindar sepertinya berhasil. Kulihat wajahnya nampak sedikit kecewa, walaupun akhirnya meninggalkanku juga sendirian di dapur. Lega bercampur penasaran, kenapa sikapnya jadi aneh seperti itu? Sifat kakunya yang selama ini terlanjur kulekatkan padanya seperti lenyap begitu saja ditelan bumi.
.
.
.
[Dam, kamu di rumah?]
Aku menulis pesan pada Adam setelah beberapa menit yang lalu tiba di rumah orang tuaku.
[Masih di rumah, Han. Sebentar lagi ke kantor. Ada apa?]
[Aku sedang di rumah bapak. Apa bisa kita ketemu sebentar?]
[Boleh. Nanti aku mampir sekalian jalan. Tunggu ya?]
Dan beberapa menit kemudian sebuah mobil SUV berwarna silver berhenti tepat di depan rumah orang tuaku. Adam turun dan dengan ramah menyapaku serta ibu yang sedang menyuapi Keenan semangkuk puding.
"Masuk, Dam," kataku. "Bu, nitip Keenan sebentar ya, Hani ada urusan sedikit sama Adam." Ibu segera mengangguk walaupun dahinya terlihat sedikit berkerut memandang kami.
"Gimana ya, Dam, ngomongnya ...." Mendadak aku bingung harus bicara apa setelah berhadapan dengan pria ini. Bukan karena grogi, tapi mungkin akan lebih mudah bagiku jika yang ada di hadapanku ini adalah seorang perempuan.
"Ada apa, Han? Bicaralah, santai saja. Ini tentang suamimu 'kan?" Dia nampaknya tahu kesulitanku. Dan sepertinya dia juga paham kecanggunganku berbicara mengenai rumah tanggaku padanya.
"Maaf sebelumnya ya, Dam. Tapi aku tidak tahu harus bicara pada siapa. Kebetulan semalam kamu memberiku sebuah petunjuk. Makanya aku hanya kepikiran untuk meminta bantuan padamu."
"Nggak apa-apa, Han. Kamu santai saja. Kalau aku bisa bantu Insya Allah nanti kubantu. Dan aku janji akan menyimpannya untuk diriku sendiri." Adam menautkan kedua jarinya di depanku, membuatku sedikit lega.
"Baiklah kalau begitu, aku percaya padamu. Jadi gini, Dam. Aku curiga mas Reyfan ada main di belakangku. Dan waktu kamu bilang bahwa dia sering ke kampusmu, aku jadi semakin yakin dengan kecurigaanku. Apa kamu tau siapa yang ditemui suamiku di kampusmu?"
"Kamu sudah membicarakan itu ke suamimu belum? Maksudku, masalah kecurigaanmu itu, kenapa tidak kau tanyakan langsung ke suamimu, Han?" tanya Adam. Aku menggeleng.
"Aku tidak mau dia tahu, Dam. Karena kupikir kalau dia tau aku mencurigainya dia justru malah akan semakin menutupi semuanya." Kulihat pria itu nampak mengangguk setuju.
"Jadi kamu ingin tau siapa yang dia temui?" tanyanya padaku. Aku mengangguk pasti.
"Sebenarnya, jujur aku tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga kamu, Han. Tapi melihatnya beberapa kali membuatku nggak enak banget kalau nggak ngomong sama kamu." Adam nampak menghela napas panjang.
"Jadi dia siapa?" tanyaku semakin penasaran.
"Seorang mahasiswi S1. Setauku sih jurusan akuntansi."
"Apa kamu mengenalnya?"
"Nggak, Han. Hanya sebatas tau saja. Tapi kalau kamu ingin kesana untuk melihatnya sendiri, akan kubantu." Aku terdiam menimbang sarannya.
"Kalau sementara ini aku hanya butuh bantuan kamu untuk mengambilkan foto atau bukti apapun saat mereka sedang bersama, bisa?" pintaku penuh harap. Aku berharap itu nanti akan bisa kujadikan bukti nyata perselingkuhan suamiku dengan gadis itu.
"Akan kuusahakan sebisaku, Han."
Sebenarnya, jujur saja aku masih takut mendapati kenyataaan bahwa perselingkuhan suamiku itu benar adanya. Bagaimana kalau Mas Reyfan benar-benar menyelingkuhiku dengan wanita lain? sudah jelas aku tidak akan bisa lagi hidup bersamanya. Bagiku pengkhianatan itu tidak akan pernah termaafkan. Tapi, kekhawatiranku justru pada bagaimana kondisiku setelah lepas dari mas Reyfan nanti?
Tiba-tiba muncul penyesalan dalam hatiku telah melepas segala atributku sebagai wanita karir yang mandiri sebelum menikah dan memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk suamiku. Tetapi karena semuanya sudah terlanjur seperti ini, apa boleh buat. Harus ada cara lain agar jika terjadi sesuatu yang buruk pada rumah tanggaku nanti, nasibku tidak akan menjadi buruk juga. Aku harus memikirkan semuanya dengan matang. Tidak boleh ada yang salah.
.
.
.
"Ibu sudah dengar semuanya, Han. Kenapa kamu nggak ceritakan semua itu sama ibu?" Raut muka ibu nampak sangat sedih saat menanyaiku keadaaan yang tengah terjadi dalam rumah tanggaku. Beliau ternyata sengaja mencuri dengar pembicaraanku dengan Adam beberapa saat yang lalu.
"Bu, bukan Hani nggak mau cerita, tapi ini semua belum pasti. Hani harus menyelidikinya dulu."
"Lalu bagaimana kalau itu benar? Memangnya kamu sudah siap berpisah dari Reyfan? Kalian sudah punya Keenan. Apa kamu yakin kamu mau bercerai dari Reyfan?"
"Itu juga yang sedang Hani pikirkan, Bu. Hani cuma bisa berharap semuanya tidak seburuk itu. Tapi, yang Hani sesali adalah kebodohan Hani. Hani tidak pernah memikirkan hal sejauh ini. Sekarang bahkan Hani tak punya apa-apa meskipun hidup dalam gelimangan harta milik Mas Reyfan, Bu."
"Jadi apa rencanamu sekarang, Nak?"
"Hani akan memastikan dulu ini benar atau tidak. Jika memang benar, Hani harus bersiap-siap meninggalkan mas Reyfan. Tapi sebelum itu, ada banyak hal yang harus Hani lakukan terlebih dulu, Bu."
"Itu berarti tidak akan ada maaf untuk suamimu, Han?"
"Bagi Hani, tidak ada kata maaf untuk sebuah pengkhianatan, Bu."
Hari itu, rencana besarku dimulai. Kutitipkan Keenan di rumah Ibu, sementara aku menyambangi sebuah klinik kecantikan yang lumayan terkenal di kotaku. Merawat diriku adalah hal yang selama ini jarang ada di pikiranku. Betapa bodohnya karena aku merasa cukup hanya dengan menyuguhkan diriku yang apa adanya pada suamiku yang setiap hari berkeliaran di luaran sana, dimana banyak wajah-wajah cantik yang lebih mengundang seleranya.
Ku daftarkan diriku untuk mengikuti sebuah program cantik sehat yang diadakan di klinik tersebut dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk lebih memperhatikan penampilan mulai detik ini. Mungkin aku terlambat untuk menyelamatkan mata dan hati suamiku dari wanita lain. Tapi aku tak boleh terlambat untuk menyelamatkan masa depanku dan anak semata wayangku.
[Mas, sedang apa?] Sesampainya di rumah sore itu, kutuliskan pesan ke ponsel suamiku. Hal kedua yang juga jarang kulakukan selama ini. Aku mengiriminya pesan basa-basi di sela kesibukan kantornya. [Masih di kantor, Han. Ada apa?] [Hari ini Mas pulang jam berapa? Makan malam di rumah kan?] [Iya, agak maleman mungkin, jam 6 an.] Kalimatnya masih sedikit agak kaku. Mungkin dia sedikit aneh karena tiba-tiba aku mengiriminya pesan tidak biasa. [Mas pengen dimasakin apa untuk makan malam nanti?] [Apa aja, Han. Yang penting enak.] [Mau rendang kesukaan Mas?] [Boleh.] [Oke, nanti aku masakin special buat Mas. Jangan telat ya Sayang pulangnya. Love you.] [Iya, Sayang. Love you, too.] Aku tersenyum mendengar jawaban terakhirnya. Itu pertama kalinya dia menuliskan pesan dengan kata-kata 'Sayang' dan 'Cinta' padaku semenjak kami menikah. Dan mulai sekarang, aku akan membiasakan itu semua. . . . Aku sedang membantu Mbok Jum menyia
Minggu pagi, kulihat dia bangun lebih awal. Saat aku mulai membuka mata, dia sudah rapi dengan pakaian olahraga dan sneakernya. "Mau kemana, Mas?" tanyaku dengan suara masih serak khas bangun tidur. "Jogging. Mau ikut?" tanyanya sambil merapikan rambut tebal dan hitamnya. "Nggak ah. Belum shalat subuh," sahutku cepat, lalu segera bangkit dan menuju kamar mandi. Mungkin ini keberuntunganku, karena usai shalat subuh ternyata kulihat ponsel mas Reyfan tergeletak begitu saja di atas nakas. Aku berjingkat mendekat, tiba-tiba timbul keinginan untuk memeriksa apakah ponsel itu masih diberi PIN atau tidak. Perlahan kuraih benda pipih itu dan lagi-lagi aku harus kecewa karna ternyata ponselnya masih dikunci. Dengan dahi berkerut, aku berusaha menebak sebenarnya berapa PIN yang dipakainya. Tapi nyatanya tak ada satu hal pun yang terlintas di kepalaku saat ini. Karena jengkel, akhirnya kuletakkan kembali ponsel tersebut di tempatnya semula. Namun baru saja ingin kulang
Aku menepikan mobil hati-hati di pinggir jalan yang tak terlalu ramai dan memarkirkannya mobil dengan sempurna. Pak Hasan, lelaki paruh baya yang sejak 5 hari yang lalu menjadi trainer menyetirku mengacungkan 2 jempolnya ke arahku. "Good job, Bu Hani!" ucapnya. "Saya sudah siap diajak plesiran keliling Jawa nih kalau kayak gini. Tinggal nunggu Surat Ijin Mengemudinya jadi aja, Bu. Siap tancap gas!" lanjutnya terkekeh. Aku pun tersenyum puas. Aku memang berlatih sangat keras beberapa hari ini demi mencapai tujuanku, melepaskan ketergantungan dari suami tercintaku yang sudah mulai berulah. "Terima kasih ya, Pak," kataku tulus pada trainer senior di sebuah lembaga kursus mengemudi itu. "Jadi hari ini terakhir saya ketemu Pak Hasan dong ya?" candaku padanya. "Ya jangan terakhir lah, Bu. Kesannya kok jadi kayak saya mau meninggal saja," orang tua itu terkekeh. "O iya ya." Kutepuk dahiku dan ikut meramaikan kekehannya. "Kalau gitu gimana kalau kita mak
[Hai Hani, sedang apa?] Pesan w******p dari Adam siang itu membuyarkan konsentrasiku yang sedang berselancar di internet mencari informasi peluang usaha. Karena sedang tak minat mengetik, segera saja kutekan nomor kontaknya untuk melakukan panggilan. "Hai, Dam. Apa kabar?" tanyaku. Sepertinya sudah beberapa hari kami memang tak saling bertegur sapa lagi. Tepatnya sejak dia mengirimkam video suamiku dengan si gadis belia di kampusnya waktu itu. "Baik, kamu sendiri?" "Baik juga, Alhamdulillah. Ada apa, Dam? Tumben chat? Ada yang penting kah?" "Nggak ada, Han. Cuma pengen tau kabar kamu aja. Bisa ketemu nggak?" tanyanya membuatku sedikit kaget. "Sekarang?" "Iya, kalau kamu nggak sibuk sih," ucapnya ragu. "Gimana ya, Dam, tapi suamiku sedang keluar kota tuh. Atau, gimana kalau kita ketemuan di rumah Bapak aja lagi?" usulku. Tapi sepertinya dia tidak begitu antusias dengan ajakanku. "Ooh gitu. Kalau gitu lain kali sesempatnya aja, Han. Aku cuma mau
Entah sudah berapa bulan aku tak mengunjungi rumah ini, aku lupa. Tapi, aku memang tidak begitu dekat dengan Mbak Ratri. Padahal, dia adalah satu satunya satu-satunya kakak ipar yang kupunya. Mas Reyfan adalah anak kedua dari 3 bersaudara, Mbak Ratri, dia, dan satu lagi adik lelakinya, Irwan. Irwan sendiri masih duduk di bangku kuliah. Dengan Irwan, aku pun tak dekat, mungkin karena dia laki-laki. Sementara dengan Mbak Ratri, dari awal pernikahanku dengan Mas Reyfan, kutahu dia sosok yang sedikit tertutup. Dulu ketika masih sama-sama sering berkunjung ke rumah orang tua Mas Reyfan, kami masih agak lumayan sering ngobrol walaupun hanya basa-basi. Tapi setelah satu tahun kemudian suami mbak Ratri pergi dan kakak iparku itu menjanda, kami jarang berinteraksi. Mbak Ratri pun seperti menjadi lebih tertutup dari sebelumnya. Kami jarang bertemu lagi di rumah mertuaku. Kuingat terakhir kali aku berkunjung ke rumah ini setahun yang lalu saat Mas Reyfan mengajakku mengan
"Jadi ini Mas yang kamu bilang ke Bali?" Mataku tajam menatap bergantian dua insan yang terlihat sedang sangat salah tingkah di depanku itu. Benar-benar tak kusangka kejadiannya akan sedramatis ini. Aku bahkan tak mengira akan memergoki suamiku berjalan bersama dengan gadis itu secepat ini. "Han, aku bisa jelaskan," Mas Reyfan bergerak maju mendekatiku. Sementara si gadis nampak terdiam mematung di tempatnya. Wajahnya menunduk lesu seperti seekor cacing yang takut akan diinjak. "Ya sudah, ayo jelaskan!" tantangku. "Ini ... ini nggak seperti yang kamu lihat, Han. Kita bisa duduk dulu kan, kita bicarakan baik-baik," bujuknya. "Bicara aja langsung sekarang! Aku sudah selesai dengan kakakmu, aku sudah mau pulang." Aku menoleh ke arah mbak Ratri yang juga masih mematung di tempatnya semula. Jelas sekali wajah wanita itu menyiratkan kecemasan. "Nggak nyangka ya Mas, kelakuan kamu di belakang aku ternyata kayak gini." Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil ber
Kami berdua duduk berhadapan di meja dapur. Ini sudah lewat dari tengah malam, tapi demi mendengar tawaran janjinya yang akan menuruti semua keinginanku jika aku mau memaafkannya, mendadak aku jadi antusias untuk segera membahasnya. Setelah menyeduh dua cangkir kopi beberapa menit yang lalu, kini kami menikmati aroma wangi kopi masing-masing yang merebak dari kedua cangkir di hadapan kami. "Jadi, apa yang kamu inginkan, Han?" Dia memulai pembicaraan. "Kamu masih ingat kan kemarin waktu kita packing pakaianmu saat kamu bilang mau ke Bali, Mas?" tanyaku mengingatkan. "Iya ingat." Dia mengangguk. "Aku mau memulai usaha. Kamu harus siapkan modal buat aku." "Sudah kamu hitung berapa yang kamu butuhkan?" "Siapkan saja 150 juta." "Apa? Itu besar sekali, Han. Tabunganku nggak ada segitu. Kamu tau sendiri kan kemarin habis dipakai beli mobil kamu." "Memangnya berapa sisa tabungan kamu, Mas?" "Paling tinggal 50 juta aja," "Boleh aku liat?
"Ma, Papa! Papa!" teriak Keenan sambil berlari-lari kecil ke dalam rumah. Aku yang sedang ngobrol dengan Mbok Jum di ruang tamu segera menoleh. Benar saja, mobil Mas Reyfan sudah terparkir di garasi. Keasikan ngobrol, kami sampai tidak menyadari ada suara mobil yang datang. "Mana, Sayang?" tanyaku pada bocah lelaki berumur 3 tahun itu dengan wajah cerah. Keenan segera menunjuk-nunjukkan tangannya ke arah luar. Mbok Jum dengan cekatan segera keluar menghampiri Mas Reyfan dan membawakan tas kerjanya. Kugandeng bocah kecilku menyambut kedatangan papanya di pintu. "Assalamu'alaikum. Hai, Sayang," sapanya sambil mencium pipiku, lalu meraih Keenan ke dalam gendongannya dan langsung menciumi putranya itu dengan gemas. Begitulah kehidupan kami 2 minggu setelah percakapanku dengan Mas Reyfan di dapur membicarakan soal kesepakatan dan janjinya itu. Aku berusaha bersikap wajar mulai hari itu, dan dia pun lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah setelah pulang dari kan