Share

Siapa yang Menelepon?

Arizona, 1985

“Tolong angkat teleponnya, Jam.” Seorang wanita dengan perut besar tampak khawatir. Wajahnya sudah pucat pasi. Sementara sebelah tangan sibuk mengelus perut. Bulatan besar itu seolah siap mengeluarkan isinya kapan saja.

Gagang telepon di tangannya hanya mengeluarkan suara deringan. Namun, suara lelaki yang sejak tadi diharapkannya sama sekali tidak terdengar. Ia semakin panik karena kontraksi di perutnya terasa semakin hebat. Untuk kesekian kali, ia mencoba untuk menelepon ulang nomor yang sama. Meski harapannya sudah semakin mengecil sekarang.

Titik-titik keringat mulai bermunculan di kening ibu hamil. “Jam, kau di mana? Rasa sakit ini benar-benar menyiksaku sekarang.”

Ruangan besar itu terasa sunyi. Di atas kursi, sang ibu hamil sudah terduduk dengan lemas. Bahkan tenaganya pun sudah tidak cukup kuat untuk memanggil pelayan. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah. Namun, mulutnya tak henti-henti menyebut nama Jam.

Di luar suasana terasa gelap. Matahari tertutup oleh awan kelabu. Tidak lama lagi pasti akan turun hujan lebat yang mungkin disertai oleh angin kencang. Suasana yang benar-benar mencekam bagi seorang ibu yang sedang berjuang untuk bertahan hidup demi anaknya.

“Aleda!” teriak seseorang dari pintu ruang tamu.

“Fra-nk, to-long a-ku.” Aleda berusaha meminta pertolongan meski dengan terbata-bata.

Lelaki bernama Frank itu berlari sekuat tenaga menyeberangi ruangan. “Kita ke rumah sakit sekarang,” ujarnya.

Dengan susah payah, Aleda mencoba untuk berdiri. Frank membantu memapahnya menuju mobil. Perjalanan yang hanya beberapa meter itu terasa jauh sekali. Belum lagi ditambah dengan suara rintihan Aleda yang semakin menyayat hati. Bobot badan Aleda yang naik hampir 15 kilogram semenjak hamil membuat lelaki tambun itu sedikit kesulitan.

Beruntungnya, mereka berhasil mencapai mobil. Tanpa banyak kata, Frank langsung tancap gas. Ia tak lagi memikirkan langit yang gelap dan mungkin sebentar lagi akan turun badai. Satu-satunya yang ada dalam pikiran sekarang adalah menyelamatkan dua nyawa di sampingnya ini.

“Bertahanlah!” ucap Frank. Tangannya masih lihai memainkan kemudi. Mobil yang mereka naiki sudah meluncur di jalan raya.

“Tolong telepon Jam.” Aleda meminta dengan suara lirih.

Di tengah rasa sakit yang  hampir meremukkan tubuh, Aleda masih sempat memikirkan Jam. Ia masih berharap kalau suaminya itu akan datang dan menemaninya. Untuk sekadar mengucapkan bahwa semua akan baik-baik saja. Karena sekarang pikirannya sudah sangat kalut tidak karuan. Bahkan bayang-bayang kematian seperti sudah di depan mata.

Dengan cepat Frank mengangguk. “Aku akan segera meneleponnya ketika kita sudah sampai nanti.”

Jalanan terasa lengang.Rumah sakit yang harusnya ditempuh dalam waktu setengah jam, sekarang bisa ditempuh hanya dalam waktu kurang dari 10 menit. Frank benar-benar sopir yang bisa diandalkan dalam kondisi seperti ini.

Sampai di rumah sakit, Frank langsung keluar dari mobil. Tenaga medis yang kebetulan sedang berjaga langsung bergegas menghampiri Frank. Mereka berusaha untuk mengeluarkan Aleda dari mobil dan membaringkan di brankar. 

“Bapak silakan tunggu di sini.” Seorang tenaga medis menahan langkah Frank agar tidak ikut masuk ke ruangan.

Setelah pintu ruangan tertutup, Frank langsung menjatuhkan diri di kursi tunggu. Segera ia teringat untuk menelepon Jam. Akhirnya, ia menghampiri meja resepsionis untuk meminjam telepon.

“Permisi, Miss. Boleh saya pinjam telepon?” tanyanya dengan sopan pada seorang wanita muda yang duduk di balik meja.

“Silakan,” jawab wanita itu dengan sopan juga.

“Terima kasih.” Frank mengambil alih telepon.

Dengan cepat, Frank menekan nomor telepon Jam. Terdengar deringan pertanda telepon sudah masuk. Namun, sama seperti Aleda tadi, Frank juga tidak mendapatkan jawaban.

“Sial! Di mana orang ini sebenarnya!” seru Frank dengan kesal.

Untuk kedua kalinya, Frank mencoba. Tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah sembari berharap kalau telepon akan segera bersambut.

***

Di lain ruangan

“Teleponmu sejak tadi bunyi. Coba angkat dulu.”

Lelaki berkemeja rapi itu beranjak ke meja dan menekan salah satu tombol untuk menjawab telepon. “Halo,” ucapnya sembari menempelkan telepon ke telinga.

Hening. Tidak ada suara di ruangan itu. Namun, lelaki berkemeja rapi tampak mengerutkan kening. Sepertinya lawan bicara di kejauhan sana sedang mengabarkan sesuatu yang menggelisahkan.

Sebentar saja percakapan itu. Tidak lama telepon ditutup.

“Aku harus pergi sekarang.” Sang lelaki menyambar kunci mobil di atas meja dan bersiap untuk pergi.

“Siapa yang menelepon?”Lawan bicaranya ikut panik melihat gerakan yang terburu-buru.

“Frank,” jawabnya dengan cepat sembari menutup pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status