Share

Ancaman

“Apa Anda suami pasien?” tanya seorang perawat menghampiri Frank.

“Saya pelayannya,” jawab Frank.

Menilik dari ekspresi perawat tersebut, sepertinya ada sesuatu yang mengkhawatirkan. “Ada apa, Sus?”

“Pasien harus dioperasi, Pak. Keadaannya sangat tidak memungkinkan untuk melakukan persalinan secara normal,” ucap perawat tersebut dengan wajah serius.

“Lakukan saja, Sus.” Tanpa banyak berpikir Frank langsung menyetujui.

“Tapi kami harus meminta tanda tangan keluarga atau suami.” Perawat berkata dengan tegas.

Jawaban itu semakin membuat Frank gusar. Ia tidak tahu Jam sudah sampai di mana sekarang. Belum tentu juga lelaki itu akan tiba di sini dalam waktu singkat mengingat hujan sudah mulai turun di luar.

“Apa tidak bisa diwakilkan?” Frank menaikkan sebelah alis. Mencoba untuk membuat negosiasi.

Sang perawat tersenyum. “Prosedur rumah sakit seperti itu, Pak.”

 “Tapi, ini masalah nyawa.” Frank masih mencoba untuk meluluhkan perawat tersebut. Wajahnya terlihat serius sekali.

“Maaf, Pak.” Perawat tersebut menunduk dengan sopan. Seolah mengatakan kalau ia hanya menjalankan tugas.

“Arghh!” Frank berseru kesal sambil memukul dinding.

Akhirnya, Frank kembali ke meja resepsionis untuk meminjam telepon. Beruntung, telepon pertamanya langsung diangkat oleh Jam.

“Aku sedang menuju ke sana,” ucap Jam sebelum Frank bersuara.

“Baguslah. Tapi, istrimu harus dioperasi.” Frank langsung mengatakan tujuannya tanpa berbasa-basi.

Hening sejenak. Jam tidak bersuara. Entah apa yang dipikirkan oleh lelaki itu, padahal istrinya sedang mempertaruhkan nyawa di dalam ruangan sana.

“Jam!” seru Frank tidak sabar. Giginya bergemeletuk, pertanda kalau dia sedang kesal. “Mereka butuh tanda tanganmu.”

“Berikan teleponnya!” perintah Jam.

Frank mengulurkan gagang telepon pada perawat yang tadi menghampirinya. Perawat tersebut menerima gagang telepon dan langsung menempelkan ke telinga.

“Tolong lakukan operasi pada istri saya dengan atau tanpa tanda tangan dari saya. Selamatkan mereka.”

Perawat tampak ragu karena itu berarti ia melanggar aturan. “Ta-tapi, Pak ....”

“Lakukan atau saya tuntut kalian semua kalau sampai terjadi apa-apa dengan mereka,” ancam Jam, “jangankan menuntut seorang perawat sepertimu, menuntut rumah sakit tempat kalian bekerja juga bisa kulakukan.”

Dengan nyali yang sedikit menciut, perawat masih mencoba untuk memberikan pemahaman pada keluarga pasiennya ini. “Saya hanya ....”

“Jam Adrion. Katakan nama itu pada mereka. Tentu kalian tahu siapa dia. Kabar baiknya, kalian sedang berurusan dengan keselamatan istrinya sekarang. Lakukan yang kuminta atau terima sendiri risikonya.” Lagi-lagi Jam memotong kalimat lawan bicaranya.

Mendengar nama itu membuat sang perawat ketakutan. Pasiennya kali ini tentu bukan orang biasa. Ia tak ingin mengambil risiko untuk itu. Akhirnya, dengan berat hati ia mengangguk. “Ba-baik, Pak. Nanti segera lengkapi proses administrasi begitu Bapak sudah sampai.”

“Iya,” jawab Jam pendek. Tangannya langsung menekan salah satu tombol di ponsel.

Telepon ditutup. Tangan sang perawat tampak bergetar. Sepertinya ancaman barusan benar-benar memengaruhi psikologisnya.

“Kami akan segera melaksanakan operasi.” Perawat memberi tahu Frank.

Frank yang mendengar kabar baik itu langsung semringah. Ia tidak peduli apa yang sudah dikatakan Jam sampai membuat perawat ini ketakutan. Yang pasti, sekarang Aleda akan mendapatkan penanganan yang semestinya.

“Terima kasih, Sus,” sahut Frank dengan wajah berbinar.

Tanpa banyak bicara, perawat itu hanya mengangguk dan kembali ke ruangan. Mungkin ia akan berbohong dan mengatakan kalau suami pasien sudah menandatangani surat persetujuan. Atau mungkin akan mengatakan hal yang sebenarnya bahwa ia baru saja mendapatkan ancaman. Apa pun itu, Frank juga tidak peduli. Sekarang tidak ada yang lebih baik dibanding keselamatan Aleda dan bayinya.

Tidak lama kemudian, Aleda dibawa keluar oleh beberapa orang tenaga kesehatan. Brankar didorong dengan cepat menuju ke ruang operasi. Frank juga mengikuti pergerakan orang-orang itu.

“Bertahanlah, Aleda! Jam sedang menuju ke sini,” ujar Frank sambil terus berjalan dengan cepat.

Di sisa-sisa kesadaran, Aleda masih sempat tersenyum. Ia merasa bahagia mendengar nama Jam. Meski sebenarnya akan lebih bahagia lagi kalau suaminya itu ada di sini.

Tidak lama, semua orang menghilang di balik pintu ruang operasi. Tinggal tersisa Frank seorang diri yang duduk di kursi bercat biru. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding dan memejamkan mata. Keadaan ini benar-benar membuat kepalanya berdenyut.

“Frank!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status