Share

Spat

Banyak orang yang menyukai pagi, karena itu berarti kita akan mengawali hari yang indah dengan penuh semangat dan keceriaan. Tapi itu tidak berlaku pada Serena hari ini. Baginya hari ini adalah hari yang terburuk sepanjang hidupnya. Kini cewek itu tengah berdiri di depan cermin sambil mengepang rambutnya lalu melepaskannya lagi.

"Rambut gue bagusnya diikat kayak gimana, ya? Kuncir ekor kuda udah sering, kalau digerai nanti kepanasan."

"Dek, kamu masih belum selesai?" tanya Satria, Kakak pertamanya, sambil berjalan masuk ke dalam kamar Serena.

"Belum, bang. Aku masih bingung mau kuncir rambut jenis apa buat hari ini."

Dorion, kakak keduanya sekaligus saudara kembar Satria, berdiri menatap adiknya itu dari ambang pintu kamar Serena sambil berkacak pinggang. "Biar simple dikuncir dua aja. Ribet amat sih jadi orang."

"Astaga, bang Dorion. Adiknya lagi bimbang malah dijudesin kayak gitu."

"Bimbang apanya? Biasanya kamu main kuncir ngasal aja tuh. Tumben sekarang peduli banget sama penampilan sendiri," celetuk Satria yang tengah duduk di tempat tidur Serena. "Jangan-jangan kamu lagi suka sama seseorang ya?" Kalau iya siapa orangnya? Bang Satria mau cek latar belakang dan bibit bobot keluarganya. Bisa-bisanya cowok ingusan itu mencuri hati adik kesayangan Bang Satria ini."

"Apaan sih, bang? Aku itu enggak ada waktu buat jatuh cinta."

Dorion berjalan mendekati Serena lalu berdiri tepat di belakangnya sambil memegang sisir dan menyisir rambut Serena dengan lembut. "Padahal bentar lagi kamu bakal telat malah ngoceh berdua sama Satria."

"Biarin aja sih, Rion. Baru aja gue mau kepoin orang yang disukai sama Adik gue yang satu ini," jawab Satria.

"Kan aku udah bilang kalau aku lagi gak suka sama siapa-siapa, bang Satria," ujar Serena dengan nada kesal.

"Nah udah selesai." Dorion menaruh sisir milik adiknya kembali ke tempat asalnya.

Serena yang berdiri di depan kaca daritadi langsung memandang pantulan dirinya dari kaca tersebut dengan serius. "Kok dikuncir dua sih kak? Kan aku jadi kelihatan kayak anak SD nyasar. Padahal kan kakak udah tahu kalau aku itu pendek."

"Siapa yang berani bilang kamu anak SD nyasar, sih? Si buaya narsis itu? Kayaknya udah lama Abang gak silahturahmi sama dia," sindir Satria jengkel.

"Silahturahmi atau adu bogem mentah kayak dua tahun lalu," goda Serena mengingatkan Satria tentang hal yang dilakukannya dua tahun yang lalu.

"Udah-udah berisik banget sih kalian," ucap Dorion menghentikan percakapan antara Serena dan Satria. Serena menghela napas, cowok itu membalikkan tubuh Serena dengan setengah memaksa.

"Ica, lihat muka Abang." Suara Dorion yang terdengar keras namun lembut, jenis suara protektif seorang kakak pada adik kesayangannya. "Dek, kamu itu harus selalu percaya diri. Buat apa sih kamu harus selalu peduli sama ucapan orang-orang. Yang paling penting itu kamu nyaman sama diri kamu sendiri."

"Tapi aku itu terlalu..."

"Apa? Kamu mau bilang kalau kamu terlalu pendek lagi? Kalau orang-orang bilang kamu jelek karena kamu pendek. Berarti mata mereka yang buta. Justru karena badan kamu pendek kamu malah jadi kelihatan manis."

Dorion melanjutkan perkataannya lagi sambil menatap Satria," Lo bisa gak jangan main bar-bar hajar anak orang. Santai aja, kita berdua bisa ngurus anak itu diam-diam. Gue udah memikirkan sepuluh cara untuk menghancurkan si Buaya Narsis itu."

Tidak mau berlama-lama membahas masalah ini, Serena langsung menyambar tasnya, lantas menggandeng tangan kedua kakaknya itu keluar kamar.

"Yuk, kita berangkat, nanti telat lagi." Serena tersenyum manis yang sontak membuat Satria dan Dorion ikut tersenyum.

Mereka bertiga pun turun ke lantai bawah bersama. Namun, saat sudah berada di bagasi, Dorion segera kembali lagi masuk ke dalam rumah karena lupa membawa kunci mobilnya. Beberapa menit kemudian ia kembali sambil membawa sepotong roti.

"Nih, roti buat sarapan. Kamu sih terlalu lama ngaca di kamar kan jadi lupa buat sarapan. Nanti kalau kamu pingsan, gimana?" Dorion memberikan roti itu pada Serena.

"Iya, bang Dorion. Makasih." Serena segera masuk ke mobil sambil melahap roti yang diberikan Dorion itu.

***

Jeremy yang memakai seragam batik berwarna biru dengan celana panjang berwarna putih tengah berlari kencang ke arah kelasnya. Sebentar lagi bel masuk sekolah akan berbunyi. Untung saja saat ia sudah sampai di dalam kelasnya bel masuk baru berbunyi. Jeremy menghela napas lega.

Biasanya wali kelas ataupun guru mata pelajaran yang bersangkutan akan masuk ke kelas mereka tepat setelah bel masuk berbunyi. Namun, kali ini malah tidak ada satupun guru yang masuk ke kelas mereka. Melihat tidak ada guru masuk, Jeremy segera berjalan ke arah tempat duduk Serena.

"Ica, lo gimana sih?" omel Jeremy dengan napas yang masih tersengal.

"Hah? Gimana apanya? Kalau ngomong yang jelas dong!" jawab Serena yang masih fokus membaca buku manga favoritnya.

Jeremy yang kesal karena Serena yang tidak melihat ke arahnya saat ia tengah berbicara. Tanpa pikir panjang Jeremy langsung mengambil buku manga yang dibaca Serena. Otomatis Serena melihat ke arahnya dengan tatapan sinis.

"Kenapa lo tadi pagi kagak bangunin gue? Kalau lo gak mau berangkat sama gue , setidaknya lo bangunin gue dong. Gara-gara lo, gue jadi telat kan," kata Jeremy yang terus menerus menyalahkan Serena.

"Lah kok karena gue? Salah lo sendirilah. Lo itu udah gede masa masih harus dibangunin," bela Serena yang tidak terima dengan tuduhan yang dilontarkan oleh Jeremy.

"Dasar cebol nyebelin banget sih lo! Hampir aja gue telat karena lo. Kalau gue sampai telat terus reputasi gue sebagai Ketua OSIS jadi jelek gimana?" ucap Jeremy yang masih tetap bersikeras.

"Eh, buaya! Lo gak usah cari masalah ya. Ngapain gue peduli sama reputasi elo," balas Serena yang juga tidak mau kalah.

Bagi Serena itu adalah hal yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa orang itu tiba-tiba menyalahkannya atas kesalahan yang sangatlah tidak masuk akal. Emosinya sudah memuncak saat berdebat dengan Jeremy sehingga tanpa menggunakan rasionalitasnya ia langsung memukul Jeremy.

"Pantesan aja lo masih jomlo sampai sekarang. Udah cebol, galak lagi," hujat Jeremy.

Serena yang sudah puas memukuli orang itu pun terdia seribu bahasa seperti biasanya. Dari dulu jika Jeremy memulai perdebatan, maka ia akan ikut berdebat sebentar dengan orang itu lalu setelah meresa sudah cukup ia akan langsung berhenti dan terdiam seperti sekarang. Darrel yang melihat hal itu dengan cepat membawa Jeremy kembali ke tempat duduknya.

"Lo napa lagi sih, Jer? Ini tuh masih pagi dan lo udah cari masalah aja sama si Serena," ujar Darrel.

"Dianya yang rese tahu gak? Pantesan aja masih jomlo sampai sekarang. Pasti cowok-cowok yang lain pada takut pas mau deketin dia," kata Jeremy yang masih kesal.

"Stop! Gue gak setuju sama pernyataan lo yang satu. Asalkan lo tahu setiap hari pasti ada banyak surat cinta di kolong meja Serena. Bahkan jika Serena pernah absen sekalipun, tapi hebatnya surat cinta buat dia gak pernah absen sama sekali," ujar Darrel dengan serius.

"Kembali ke topik awal. Gue rasa lo harus minta maaf sama Serena deh," ucap Darrel memberikan saran.

"Idih, kenapa gue yang harus minta maaf sama dia? Kan dia yang salah duluan bukan gue."

"Jer, gue tahu kalau lo berdua udah sahabatan dari kecil. Tapi gue gak pernah nyangka kalau lo bakal ribut sama Serena karena hal sesepele ini. Lagipula Serena bukan mama lo ataupun istri lo. Jadi dia itu gak punya kewajiban buat bangunin lo," nasihat Darrel.

"Gue-,"

"Selamat pagi, anak-anak. Silahkan buka buku Matematikanya halaman dua puluh tujuh. Kerjakan bagian A dan B. Jangan lupa pakai cara. Semangat anak-anak," kata Pak Ahmad yang bau saja masuk ke kelas mereka.

Jeremy yang tadinya ingin menyelesaikan kata-katanya segera mengeluarkan buku Matematikanya dan mulai mengerjakan tugas yang diberikan Pak Ahmad. Ia masih berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan oleh Darrel barusan. Meskipun ia sangat egois dan selalu bersikap kekanak-kanakan, ia juga bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status