Share

Bab 07. Terungkap Sudah

   Malam itu saat mata ini terpejam, betapa terkejutnya diriku setelah merasakan sesuatu yang menyentuh area sensitif ku. Saat mata ini terbuka ternyata kulihat tepat di hadapanku wajah seseorang yang tak lagi asing bagiku. Ya wajah Gilang yang tengah tersenyum dan dengan cepat dilumatnya bibirku dengan bringas. Aku yang belum sempat melawan terpaksa harus menerima semua cumbuan dan aksi-aksinya yang memancing birahiku. Sungguh kelihaiannya membuatku tak mampu membendung hasratku yang ingin segera menuntaskannya. 

   Cukup lama kami melakukan hal itu, hingga akhirnya kami sama-sama merasakan puncak kenikmatan. 

   Aku tersadar dengan kegilaan ini. Ku tatap wajah Gilang dengan tajam. Gilang mencoba meraih tangan ku, dengan cepat ku tepis. 

   "Pergilah Mas!" tegasku. 

   "Maaf Van, aku--" 

   "Sudah cukup, jangan berkata-kata apa-apa lagi!" sahutku tegas. "Aku mohon pergilah dan ini yang terakhir kamu mendekati ku!" ketusku. 

   Karena tak ingin ada keributan Gilang pun bergegas melangkah pergi. Aku yang frustrasi dibuatnya. Sungguh aku sangat berdosa, akupun menangis sesunggukan. 

   Hari sudah mulai siang, akupun berniat menghapus rekaman yang dicctv. Walaupun cuma di ruang tengah tapi aku tak ingin Mas Raja tahu kehadiran Gilang diketahuinya. 

   Setelah selesai membereskan semua rekaman aku mulai beraktivitas seperti biasa. Karena melihat kemurunganku, bi Jum pun bertanya ada apa dengan ku. 

   "Ada apa Non, kok bibi lihat dari tadi wajahnya murung terus?" tanya bi Jum. 

   "Tidak ada apa-apa bi," jawabku.

   "Ya sudah, kalau ada apa-apa beritahu saya ya Non. Saya tak ingin tuan marah pada saya, yang membiarkan istrinya murung terus!" ucap bi Jum bercanda. 

   Mendengar penuturan bi Jum, aku pun tersenyum. Aku tak sadar ternyata dirinya benar-benar memperhatikan aku. 

   "Ya sudah saya permisi dulu ya Non!" ucapnya kembali. 

   "Ya bi," sahutku. 

   Akupun beraktivitas seperti biasa. 

   ...

   Satu bulan kemudian. 

   Tibalah kepulangan Mas Raja, tentu membuat ku bahagia. Tapi ntah mengapa aku merasa perbedaan dengan sikap suamiku ini. Biasa kalau keluar kota cuma satu minggu sikapnya selalu hangat, tapi tidak untuk kali ini. Dingin. 

   Tapi aku tepis segala kecurigaan, mungkin dirinya lelah. Aku pun mencairkan suasana hati ku dengan bermanja padanya. Sungguh diluar dugaanku, Mas Raja selalu menolak halus kemanjaanku. Apa yang terjadi padamu Mas? 

   Setelah selesai membersihkan diri, kami berkumpul diruangan keluarga. Aku pun mencoba memberanikan diri bertanya apa yang terjadi padanya hingga sikapnya seperti itu. 

   "Ada masalah ya Mas di kantor, sepertinya--" ucapan ku terputus karena tiba-tiba dirinya memotong ucapan ku. 

   "Tak ada apa-apa. Mas hanya lelah," cetusnya. 

   "Oh, adik kirain!" 

   "Tak usah berfikir yang aneh-aneh!" sahutnya kembali. 

   Akupun terdiam seribu bahasa. Masih saja dirinya sibuk dengan gawainya, padahal dahulu sebelum kepergiannya Mas Raja tak begitu menyukai dunia maya, tapi entahlah sungguh perubahan sikap yang pastinya membuat ku curiga. 

   Merasa di acuhkan, akupun beranjak pergi meninggalkan dirinya. Sakit rasanya diperlakukan seperti ini. Ku tidurkan putraku ke dalam box tempatnya tidur. Karena masih kesal akupun mencoba pejamkan mata, mengingat perubahan sikap Mas Raja hingga membuat ku susah untuk memejamkan mata. Tak terasa mengalir bulir bening di pipiku. 

   Tak berapa lama kemudian masuklah Mas Raja dan menghampiri ku. Dirinya tahu kekecewaan yang kurasakan, kemudian Mas Raja meminta maaf dengan suara lembut dibisikkan ke telingaku sesuatu yang membuat ku terdiam. 

   "Dik, maaf Mas sudah menyakiti hatimu. Sudah jangan menangis lagi!" bisiknya. 

   "Siapa lagi yang menangis, adik ngantuk!" sahutku.

   "Dik!" panggilnya lagi. 

   "Ada apa Mas?" sahutku datar. 

   "Sini donk duduk ada yang ingin mas bicarakan!" ucapnya lagi. 

   Aku pun menuruti permintaannya, dengan rasa penasaran ku tatap matanya dengan tajam. 

   "Jangan pandang Mas seperti itulah sayang!" protesnya. 

   "Ada apa sih Mas, dari awal kamu pulang sudah buat adik penasaran seperti ini. Sudahlah katakan apa yang mau di katakan!" ketusku. 

   "Begini dik, sebenarnya--" ucapnya terhenti seketika. 

   "Itukan, kamu memang suka buat istrimu ini mati penasaran!" sahutku kesal. 

    Kemudian Mas Raja tertunduk, entah mengapa sikapnya jadi seperti ini. 

    "Dik, sebenarnya Mas sudah menikah lagi. Dan kemarin Mas disana cuma melangsungkan pernikahan dan istri Mas sekarang ingin kamu tahu statusnya sekarang sebagai istri Mas juga dan dia ingin bertemu dengan mu." tuturnya dan tertunduk tak berani menatap kearahku. 

   "Banci kamu Mas!" ketusku. 

   Mendengar ucapan ku seketika matanya memandang mataku dengan lantang. 

   "Kenapa, kau tak terima kusebut seperti itu!" 

   Plak.

   Satu tamparan mendarat ke pipiku hingga kurasakan perih. 

   "Kenapa tak kau bunuh saja aku, biar kau puas!" cercaku.

   "Jangan begitulah dik, Mas mencintai kalian berdua. Tolong mengertilah!" 

   "Apa mengerti?" cibirku. "Gila kau ya Mas, dahulu kau yang mengemis padaku dan kau rusak aku dan sekarang kau perlihatkan sifat aslimu. Hum, ternyata memang benar kalian bersaudara tak memiliki akhlak. Munafik!" sahutku geram. 

   Mas Raja masih tetap terdiam membisu. Karena memang dirinya bersalah, tak mampu lagi dirinya untuk melawan ucapanku. 

   "Ceraikan aku segera!" pintaku tegas. 

   "T--tidak dik, Mas takkan menceraikan mu sampai kapan pun!" ucapnya memelas. 

   "Terserah, jika kau tak mau menceraikan aku, aku yang akan mengurus perceraian kita!" ketusku dan berlalu dari hadapannya. Dengan hati sakit dan kesal aku menuju ruangan dimana aku sering duduk bersantai. Tiba-tiba bi Jum datang menghampiri. 

   Di peluknya aku dengan erat, dirinya pun ikut menangis sesunggukan. Ternyata bi Jum mendengar pertengkaran kami. Sakitnya hatiku juga dirasakan olehnya. 

   "Sabar Non," ucapnya sedih. 

   "Bi, hiks hiks hiks." tangisku pecah. 

   "Tega dia bi, aku yang sudah setia harus dibuatnya begini. Apakah ini hukuman untukku ya bi?" isakku. 

   "Hust, jangan bicara seperti itu Non." 

   Tiba-tiba Mas Raja keluar dan menghampiri kami. Kemudian bi Jum beranjak dari duduknya dan melangkah meninggalkan kami. 

   "Maaf dik, tolong maafkan Mas!" ucapnya dan dia menyimpuhkan tubuhnya dihadapanku dan di coba meraih tanganku, seketika dengan kasar kutepis. 

   "Pergi kau dari sini, aku muak melihat wajah munafik mu itu!" ucapku kasar. Aku sudah tak peduli lagi dengan dosa yang sudah berkata kasar pada seorang suami. 

   Tak juga beranjak pergi, akhirnya aku yang pergi meninggalkan dirinya dan masuk kembali kedalam kamar dan kukunci pintu dengan serapat mungkin. Akupun menangis sesunggukan, dan seketika mendengar anakku menangis air mata ini juga tak mau berhenti mengalir. 

   "Kalaupun Tuhan sudah menghendaki jodoh kita sampai disini, aku ikhlas Mas!" bisikku ditengah isak tangisku. Pantas saja selama dirinya disana hatiku gelisah, fikiranku tak lepas darinya. Ternyata inilah kebenarannya. 

   Kemudian pintu diketuk, kudengar suara bi Jum memanggil. "Non, Non Vania!" 

   "Ya bi," jawabku. 

   "Keluar Non, ada Nyonya besar datang!" teriaknya. 

   Mendengar ucapan bi Jum yang mengatakan kalau Mama mertuaku datang tentu membuat ku heran. Sebenarnya ada apa ini, apa sebenarnya yang mereka rahasiakan dariku. Kemudian dengan berat ku melangkah menghampiri keberadaan mereka. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lia Yulianti
sayangnya episode nya sedikit padahal seri ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status