Share

Bab 03. Kehamilan Ku

 Saat tersadar kulihat Ibu dan Ayah duduk dan menangis. Diusapnya rambutku dengan lembut. Ku lihat Mas Raja tepat berada di belakang mereka. 

     "Kamu kenapa toh nduk, buat kami khawatir saja," ucap Ayah merasa cemas. "Ya sudah, Ayah dan Ibu keluar dulu ya!" pamit mereka dan segera beranjak melangkah meninggalkan aku dan Mas Raja di dalam kamar. 

      Seketika Mas Raja duduk mendekati ku dan dengan ragu di raihnya jemariku. Seketika di kecupnya dengan lembut. 

     "Van maaf kalau Mas sudah membuatmu jadi begini. Sekarang terserah kamu mau menjauhi Mas atau apa pun yang bisa membuat hatimu tenang dan mulai saat ini juga Mas gak akan mengganggu lagi kehidupan mu. Tapi sebelum Mas pergi, tolong jawab pertanyaan Mas. Kenapa sebegitu besar rasa bencimu selama ini terhadap Mas?" ujarnya sambil terus menatap mataku. 

     "Pergilah Mas, tolong biarkan aku sendiri disini. Tak ada yang perlu di jawab lagi. Setelah apa yang ku dapatkan hari ini sudah membuatku sakit. Jadi takkan mungkin untuk kedua kali kurasakan hal yang sama." ucapku lirih tanpa mau menoleh kearahnya. 

     "Tapi apa tak sebaiknya Vania berikan  kesempatan sekali saja untuk membuktikan kesungguhan Mas ini!"

     "Sudah ku katakan berulang kali, aku tak ingin ada lagi ikatan antara aku dan-" tiba-tiba ucapan ku terhenti karena Mas Raja memotongnya dengan satu kata. 

    "Cukup!"

     Aku pun terdiam dan menangis sesunggukan. Betapa sakitnya hati ku ini, sakit sekali. Bagaimana mungkin aku menerima cintanya, sementara dirinya dan juga adiknya sudah menghancurkan impian dan masa depanku.

     "Baik, Mas akan menjauh dari hidup mu. Tapi ada satu syarat!" ucapnya sambil berbisik. 

     "Aku tak butuh syarat darimu Mas. Pergilah!" ucapku lantang. 

     "Baiklah, kalau kamu tidak mau memenuhi syarat Mas ini, maaf beribu maaf. Sampai matipun Mas gak akan pergi menjauh!"

      "Sebenarnya apa sih mau kamu Mas? Tak cukupkah kalian dua bersaudara menyakitiku dan menghancurkan masa depan ku!"

     "Tidak Vania, syarat ini tidak terlalu berat kok buatmu." tuturnya. 

     Setelah cukup lama berfikir, aku pun menanyakan syarat apa yang di inginkan oleh Mas Raja. 

     "Vin, jika kamu hamil tolong jangan gugurkan kandunganmu itu ya. Dalam satu bulan kedepan, Mas akan  terus memantaumu. Kalau memang terbukti kamu hamil, mau tidak mau kamu harus menikah dengan Mas. Tapi jika tidak, Mas akan pergi dari hidupmu selama-lamanya. Bagaimana Vania?"

     Mendengar persyaratannya itu ada sedikit rasa lega. Aku berkeyakinan kalau untuk hamil itu rasanya tak mungkin. Setahu aku, orang yang melakukannya hanya sekali saja itu mustahil. Setidaknya harus berkali-kali. 

      "Baik, aku setuju dengan syarat itu. Setidaknya aku bisa lepas dari jerat keluarga kalian," ucapku ketus.

     "Baiklah Mas pamit pulang dulu ya, kamu harus banyak istirahat." ucapnya dan kemudian dikecupnya keningku dengan lembut. Mendapatkan perlakuan yang seperti itu membuatku refleks mendorong tubuhnya untuk menjauh. 

      "Pergilah!" bentakku. Seketika Mas Raja melangkah meninggalkan aku yang masih merasakan puncak kekesalan. 

     "Ada apa sih Van, kok bicara kasar seperti itu pada Raja. Dia itu pemuda baik lho!" cerca Ibu protes melihat aku mengusir Mas Raja. 

     "Apaan sih bu, baik dari mana. Kakak beradik sama saja!" jawabku membela diri. 

     "Van, mungkin Gilang itu bukan jodohmu. Lagian gagalnya pernikahan mu itu memang murni kesalahan mu kan?"

    "Sudahlh bu, Vania mau istirahat." ucapku dan kemudian membalikkan tubuhku dan membelakangi Ibu yang masih berdiri terpaku memandangiku.

 ****

      Satu bulan kemudian.

      Aku lupa kalau sudah satu minggu tidak datang bulan. Padahal satu minggu yang lalu itu jadwal datang menstruasi. Karena terlalu sibuk dengan pekerjaan ku yang bekerja di sebuah butik ternama di kota dimana aku tinggal. 

      Pagi itu perutku terasa diaduk-aduk. Mendapatkan bau masakan Ibu, rasanya perut ku ingin mengeluarkan isi yang ada di dalamnya. 

      Uwek ... uwek, cukup lama aku di kamar mandi. Karena terus muntah-muntah, hingga membuat tubuhku lemas tak bertenaga. 

       Tok tok tok. "Van ... Vania, kamu kenapa nak! Apa kamu sakit?" teriak ibu sambil terus mengetuk daun pintu kamar mandi. 

      "Tidak apa-apa kok bu, mungkin Vania lagi masuk angin. Pusing banget kepala Nia nih bu," aku pun melangkah keluar dari kamar mandi. Saat didepan Ibu aku jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri. 

       Setelah tersadar aku dikejutkan dengan keberadaan seorang dokter yang sedang memeriksa keadaan ku. Beberapa menit kemudian, pernyataan bu dokter mengejutkanku dan seisi rumah ini. Saat itu Ayah yang mendengar bahwa aku sedang hamil langsung jatuh tersungkur kelantai dan terus memegang dadanya yang sebelah kiri. 

      "Aya ... hhh!" teriak Ibu. Karena saat itu bu dokter masih berada di sini, beliau pun memeriksa keadaan Ayah.

      Bu dokter mengatakan kalau Ayah memiliki riwayat sakit jantung. Tapi kami masih diberikan keberuntungan. Ayah masih diberikan keselamatan. Saran bu dokter, jangan ada lagi berita atau apapun yang membuatnya terkejut atau membuat dirinya terbebani. Karena untuk kedua kalinya kalau hal ini terjadi, otomatis akan membuatnya tak bisa seberuntung seperti saat sekarang ini. Kulihat Ibu terus menangis dan terisak. Seketika aku baru teringat dengan perjanjian antara aku dan Mas Raja. Oh Tuhan, sungguh tak bisa kubayangkan bagaimana bisa aku menjadi istri seorang pria yang sangat ku benci. Di tengah lamunanku, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sentuhan tangan Ibu yang mengelus pundakku. 

      "Siapa Ayah dari calon cucu Ibu itu Van. Tolong jangan buat Ibu kehilangan orang yang paling Ibu sayangi hiks hiks hiks. Kamu tau Van, sewaktu kamu pergi disaat hari pernikahan mu yang tinggal beberapa hari itu, Ayah dan Ibu seperti orang yang terasing di kampung ini. Mereka mengatakan bahwa anak Ibu tak tahu diri, banyak sekali hinaan dari mereka. Saat itu kami masih bisa menahan gejolak dihati. Tapi untuk kali ini, tolong nak jangan buat kami terluka lagi," tuturnya dan memohon kesediaan ku mengatakan sejujurnya siapa laki-laki itu. Karena desakan dari Ibu, akhirnya ku ceritakan perihal yang terjadi padaku selama ini. Seketika Ibu yang tadinya bersikap lembut menjadi emosi mendengar penuturan ku.Tak terfikir olehnya kalau anaknya ini sudah mengalami kisah tragis. Kemudian Ibu menyarankan diriku untuk memberitahukan kepada Mas Raja tentang kehamilan ku ini. Secara tak langsung Ibu mengizinkan jika aku harus menjadi salah satu bagian dari keluarga penghianat itu. 

     "Tidak bu, aku tak menginginkan anak ini!" ketusku. 

     "Jangan gila kamu Van, lihat perempuan di luar sana. Banyak dari mereka susah memiliki keturunan. Tapi kamu malah sebaliknya. Sampai kapan pun Ibu tak redho. Bayi itu cucu Ibu!"

       Seketika aku dan Ibu terdiam sejenak. "Sudahlah bu, Vania mau keluar sebentar." ucapku dan kemudian meraih kunci motor matic yang terletak di meja. 

      Dilain sisi setelah mengetahui kalau Vania sudah melajukan motor dan menjauh, Ibu dengan semangat menghubungi Raja. Beberapa detik menunggu, akhirnya panggilan dijawab. 

       "Halo nak Raja, kamu bisa datang kerumah Ibu sekarang juga. Iya ada hal penting yang ingin Ibu sampaikan. Baiklah, cepat ya?!" ucap Ibu dan kemudian mengakhiri panggilannya.

      Setengah jam kemudian sampailah Raja di rumah Ibu. Terlihat sekali wajah bahagia. Tentu saja hal itu membuat Raja merasa heran.

     "Sini Raja, duduklah. Maaf ya Ibu sudah merepotkan kamu!"

      "Ada apa ya bu," tanya Raja penasaran. 

     "Begini nak Raja, maaf kalau Ibu harus bertanya seperti ini kepadamu. Hum ... Apa nak Raja dan Vania memiliki hubungan khusus?" 

     "Ya bu, Raja sangat menyintainya. Tapi Vania sedikit pun tak mau membalas cinta saya." ucapnya tertunduk. 

     "Kamu tahu tidak kalau Vania sedang  hamil. Apa benar bayi yang dikandungnya itu adalah anakmu?" 

      "Apa, Vania hamil?" teriak Raja yang terkejut mendengar pengakuan dari sang Ibu. 

      "Hust ...." dengan refleks tangan Ibu menutup rapat mulut Raja dengan cepat. "Jangan terlalu kuat bicaranya. Ntar tetangga dengar."

      Seketika hati Raja kembali berseri, setelah sekian lama menanti akhirnya dirinya mendapatkan kabar baik dari kekasih hatinya, Vania. 

      "Dimana Vania sekarang bu," tanya Raja pada Ibu. 

      "Dia ke pasar katanya mau beli buah. Akhir-akhir ini Vania jarang makan dan muntah mulu." ucap Ibu menjelaskan keadaan Vania di masa kehamilannya tersebut. 

      Akhirnya sampai juga aku di depan rumah. Melihat moge terparkir di pekarangan rumah aku cuma bisa menerka-nerka siapa gerangan orang yang bertamu di rumah orang tua ku. 

        Sesampainya di dalam rumah, aku terkejut tak pernah menyangka kalau Ibu dengan cepat memberitahukan perihal kehamilan ku ini. Tanpa mempedulikan kehadirannya aku masuk kedapur. Ternyata Mas Raja menghampiri ku, dengan cepat ku melangkah mencoba menghindar darinya. Dengan cepat pula tangannya mencekal lenganku. 

      "Aw, sakit Mas!" ucapku sedikit berbisik, karena memang aku tak ingin Ayah dan Ibu mendengar pertengkaran kami. 

      "Aku menagih janji darimu. Setelah mengetahui bahwasanya kamu sedang hamil, benarkan itu sayang?" ucapnya dan mencoba mengecup perutku yang masih rata. Dengan segera aku menghindar. 

      "Aku bukan termasuk manusia yang mudah ingkar janji, baiklah aku bersedia menjadi istri mu." ucapku ketus. Mas Raja pun mengucapkan terima kasih kepada ku. Tanpa mempedulikan aku tetap acuh. 

  Beberapa hari kemudian

      Setelah di sepakati akhirnya pernikahan kami diselenggarakan. Dengan semangat Mas Raja mengikrarkan ijab qabul dan di akhiri dengan kata sah. Tak terkira perasaan bahagianya saat itu, dan tak ku sadari sedari tadi ternyata Gilang hadir bersama putra dan istrinya itu. 

       Setelah acara selesai aku digiring oleh Mas Raja ke peranduan. Di ranjang pengantin ini kulihat kelopak bunga mawar bertebaran di atas ranjang. Dengan perlahan tubuhku di cumbuinya, hingga malam ini diriku di buatnya melayang-layang. 

       Karena kondisi ku yang saat ini sedang mengandung, hingga membuat  diriku bak bagaikan ratu dalam istananya. Ternyata begitu besar rasa sayang dan cinta Mas Raja kepadaku. 

      Siang itu saat aku bersantai di bangku taman tepatnya di halaman rumah tiba-tiba gawaiku berdering. Saat ku lihat nomor baru yang tertera. Aku pun mengabaikannya. Panggilan itu terus berlanjut hingga berulang kali. 

       "Halo," sapaku. 

       "Halo Vania, ini Gilang. Bagaimana kabar mu" tanya Gilang.

       "Maaf anda salah sambung!" ucapku ketus. Seketika ku matikan panggilan. 

       Siang itu saat tertidur betapa terkejutnya diriku ini. Ntah dari mana dirinya bisa masuk ke dalam kamar ku. Dengan bibir yang tersenyum dihampirinya aku, dengan posisi perut  yang mulai membesar aku merasa kewalahan untuk menghindar. 

     

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status